Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Strategi Investor Reksa Dana Pasif

Idealnya memang bisa beli di harga bawah dan jual di harga atas. Namun tidak banyak orang yang bisa menebak kapan harga terbawah dan harga teratas, dan kalaupun bisa, belum tentu konsisten.

Kemudian perubahan ekonomi juga terjadi sangat cepat. Kalau dingat kembali, tahun 2020 dan 2021 yang lalu sebagian dari kota besar di Indonesia masih mengalami lockdown karena pandemi. Jalanan dan mal jadi sepi. Sekarang sudah banyak yang mengeluh jalanan lebih macet, bahkan dibandingkan sebelum pandemi.

Inflasi dan suku bunga juga berubah dengan cepat dan tidak menentu. Harga pertalite dan listrik yang sudah digadang-gadang akan naik, ternyata dibatalkan. Pasar juga sudah mengantisipasi kenaikan BI Rate, namun di luar dugaan, hingga Mei 2022 ini BI Rate masih tidak berubah.

Harga obligasi yang tadinya sempat turun karena khawatir akan kenaikan suku bunga, sekarang malah sudah naik kembali. Demikian pula dengan kinerja reksa dana pendapatan tetap.

Investor yang terlanjur jual waktu obligasi turun dalam kemarin mungkin akhirnya merasa menyesal karena jualnya terlalu cepat. Malah beberapa seri obligasi sekarang sudah di atas harga sebelumnya.

Reksa dana saham juga sama. Setelah liburan panjang pada Mei 2022 lalu, IHSG mengalami penurunan dalam berturut-turut hingga beberapa hari. Sebagian investor yang mungkin “panik” menjualnya pada harga yang rendah. Tidak ada yang menduga bahwa IHSG bisa pulih ke level 7.000 dalam waktu kurang dari 1 bulan.

Tidak semua investor reksa dana timing-nya buruk. Saya yakin ada sebagian juga yang beli pada harga bawah dan menikmati keuntungan pada saat harganya naik. Tetapi mungkin jumlahnya tidak banyak.

Untuk itu, strategi pengelolaan secara aktif mungkin tidak cocok untuk setiap orang. Untuk anda yang pasif, ada satu strategi investasi pasif yang bisa anda terapkan supaya kinerja portofolio investasi dapat “relatif” baik di berbagai situasi ekonomi.

Baik itu “relatif”, sebab keuntungan misalkan 5 persen mungkin dilihat tidak ada apa-apanya bagi investor reksa dana saham yang aktif, tapi bagi investor yang terbiasa dengan deposito, 5 persen itu sudah 2 kali lipat dibandingkan rata-rata bunga deposito di perbankan setelah pajak.

Untuk menjalankan strategi investasi pasif, sebetulnya cukup sederhana. Pertama-tama investor bisa menentukan jumlah dana yang ingin diinvestasikan pada reksa dana.

Kemudian, jika nilainya dibawah Rp 1 M, maka investasi tersebut dapat dibagi dalam 3 kelas aset dengan perincian sebagai berikut

  • Kelas aset profil agresif: Reksa dana saham dan reksa dana campuran yang komposisi dominan di saham
  • Kelas aset profil konservatif: Reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana campuran yang komposisinya dominan di obligasi.
  • Kelas aset penghasilan: reksa dana yang memberikan bagi hasil secara berkala seperti reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana terproteksi

Dengan 3 kelas aset tersebut, maka ketika kondisi ekonomi sedang baik atau harga saham sedang rally, maka bagian yang profil agresif tersebut akan memberikan hasil keuntungan yang baik.

Ketika kondisi ekonomi sedang kurang baik, bahkan ada krisis dan resesi seperti waktu Covid lalu, biasanya bank sentral menurunkan suku bunga dengan agresif sehingga bagian profil konservatif akan memberikan kinerja yang baik.

Ada kalanya juga ketika saham dan obligasi sama-sama lesu. Sehingga hasil investasi baik yang agresif dan konservatif juga kurang baik.

Tidak apa-apa, dalam situasi ini, kelas aset penghasilan seperti reksa dana pendapatan tetap yang ada bagi hasil bulanan atau terproteksi yang ada bagi hasil tiga bulanan akan membuat anda memiliki penghasilan tambahan yang dapat dikonsumsi ataupaun digunakan untuk masuk ke reksa dana pendapatan tetap dan saham yang harganya sedang turun.

Bagaimana dengan komposisinya? Tidak ada aturan baku. Investor dapat mengatur sendiri bobotnya. Hanya saja saran saya, walaupun kecil, bobot di salah kelas aset tersebut adalah minimal 10 persen. Misalkan 10 persen, 40 persen, dan 50 persen. Atau 20 persen, 30 persen, dan 50 persen.

Strategi investasi yang pasif seperti ini tidak akan membuat return-nya maksimal ketika saham sedang rally tinggi. Juga tidak menjamin tidak akan mengalami penurunan dibandingkan pokok investasinya.

Namun alokasi seperti ini akan membuat investor “selalu” merasa nyaman karena dalam setiap situasi, paling tidak ada 1 jenis kelas aset yang dapat membuatnya merasa diuntungkan. Perasaan “nyaman” dan “senang” ini sangat penting dalam investasi jangka panjang.

Tentunya cara ini juga mesti dibarengi dengan memilih reksa dana yang track recordnya baik dan manajer investasinya telah memiliki kinerja historis yang cukup panjang serta kesabaran dari investor untuk tidak terlalu cek saldo tiap hari atau sering membaca berita saham yang berubah dengan cepat dari waktu ke waktu.

Bagaimana jika dana investasi di reksa dana lebih dari Rp 1 M, untuk investor kategori ini, bisa mempertimbangkan untuk menambahkan 1 jenis kelas aset yang baru lagi yaitu reksa dana dengan mata uang USD.

Saat ini di Indonesia ada reksa dana mata uang USD yang berinvestasi di Indonesia, ada pula yang berinvestasi di luar negeri. Keduanya dapat menjadi pilihan dalam kelas aset ini.

Secara historis, mata uang USD menjadi diversifikasi yang cukup baik terhadap kinerja IHSG. Biasanya mata uang USD menguat terhadap mata uang Rp pada tahun-tahun dimana IHSG mengalami penurunan sehingga investor mendapatkan keuntungan dari selisih kurs.

Demikian strategi investor reksa dana yang pasif ini, semoga bisa menjadi salah satu referensi anda dalam pengelolaan dana pribadi.

https://money.kompas.com/read/2022/06/07/133100526/strategi-investor-reksa-dana-pasif

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke