Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketidaksempurnaan Ekonomi Pasar dan Oligarki Pemburu Rente

Entah kebetulan atau tidak, Joan Robinson (wanita Inggris-istri profesor yang sempat ditolak melanjutkan kuliah di bidang ekonomi) dan Edward Chamberlin (Amerika) sama-sama menerbitkan buku bernada sama tahun itu.

Para ekonom menyebut mereka dengan istilah duo Cambridge. Joan dari Cambridge University, pengikut Keynes dan Alfred Marshal, sementara Edward dari Cambridge, Massachusetts, Harvad University.

Joan menerbitkan buku "Economics of Imperfect Competition" dan Chamberlin menerbitkan buku "Theory of Monopolistic Competition."

Nada dari kedua buku tersebut sama, walaupun pendekatanya berbeda. Keduanya sama-sama melihat gejala monopoli yang terjadi di pasar bebas.

Perusahaan-perusahaan besar berusaha memproduksi nyaris semua barang di dalam satu bidang, tanpa peduli apakah persaingannya sehat atau monopolistik, seperti perusahaan Cocacola yang memproduksi sangat banyak merek di bidang minuman atau Unilever di bidang kebutuhan sehari-hari (durable goods), misalnya.

Joan Robinson tidak terlalu menekankan penggunaan pendekatan matematik di dalam ilmu ekonomi yang ia terapkan, sementara Edward Chamberlin sebaliknya.

Hal itu sangat bisa dipahami karena keduanya berkiblat ke dua tokoh yang berbeda. John Stuar Mill membawa ilmu ekonomi ala Adam Smith ke arah Ekonomi Politik (political economy), sementara William Stanley Jevon membawanya ke ilmu ekonomi newtonian (matematik).

Dua tokoh acuan tersebut membedakan pendekatan kedua ekonom itu. Sampai sekarang, kedua pendekatan ini masih eksis (dulunya ilmu ekonomi memang disebut Political Economy, Alfred Marshal membakukannya menjadi Ilmu Ekonomi/economics)

Jadi sebelum John Maynard Keynes secara resmi mematangkan alirannya, memang sudah muncul beberapa sanggahan atas konsep persaingan sempurna (Pareto's Curve/Vilfredo Pareto) yang berawal dari hipotesis "Natural Liberty" ala Adam Smith dan "Property Right" ala John Locke. Alias, kesempurnaan ekonomi pasar bukanlah sesempurna yang dibayangkan.

Bahkan di Amerika, Alexander Hamilton adalah kritikus mumpuni atas konsep-konsep Adam Smith.

Ia mengkritik peran minimal pemerintah yang diperkenalkan Adam Smith di dalam buku "Wealth of Nation" tahun 1776 dan memproposisikan peran-peran pemerintah yang semestinya layak diambil untuk membantu memajukan perekonomian Negeri Paman Sam.

Dan memang, Amerika di awal kelahirannya bukanlah "Champion of Globalisation" dan "free trade," tapi justru sangat proteksionis, yang menjadi salah satu sebab terjadinya perang sipil (Civil War).

Amerika Utara ketika itu baru memulai proses industrialisasi di mana industri manufaktur (yang masih rentan/infant industry) membutuhkan proteksi via pengenaan tarif impor atas produk-produk dari Inggris.

Sementara Amerika Selatan berbasis agrikultur (terutama coton) yang hasilnya diekspor ke Inggris.

Amerika Selatan menolak pengenaan tarif impor, karena berisiko Inggris akan membalas tarif yang sama kepada produk-produk agrikultur dari Amerika Selatan.

Dan karena berbasis agrikultur pula Amerika Selatan pro terhadap perbudakan (budak-budak kerja di sektor agrikultur), yang menjadi sebab lain dari perang sipil.

Selain Alexander Hamilton, ada ekonom John Rae, Friederick List, dan Hendry C Carey, yang bahkan memberi nama lain kepada "free trade" versi Adam Smith sebagai "imprealism free trade" alias perdagangan bebas adalah kolonialisme ekonomi, dengan membuktikan kelakuan Inggris semasa era Merkantilisme.

Inggris menekan Ireland dan India untuk tidak memproduksi produk-produk yang sudah diproduksi oleh Inggris.

Raja Inggris melarang penjualan mesin-mesin ke luar negeri yang akan menyebabkan negara lain bisa memproduksi barang yang sama dengan Inggris.

Pendek kata, di pasar bebas sekalipun, persaingan memang tidak pernah sempurna. Para pendukung pasar bebas seperti Milton Friedman mengakui bahwa pasar bebas tidak sepenuhnya bisa mencapai level "Full Employment."

Untuk itu, Friedman memperkenalkan istilah "Natural Unemployment" sebagai justifikasinya. Pembenarannya mirip dengan gaya bung Karno atas peristiwa 1965, "Ah biasa itu dalam revolusi" alias "ah biasa itu dalam pasar bebas." Kurang lebih begitulah.

Sementara pengikut John Maynard Keynes (Keynesian) berpendapat, jika pasar hanya bisa menyerap 7.000 tenaga kerja dari 10.000 tenaga kerja yang ada, maka tak ada salahnya pemerintah berusaha mencari cara agar yang 3.000 (natural unemployment) bisa mendapat pekerjaan, atau minimal 1.000-2.000 tenaga kerja terserap.

Atas ide itu, New Dealer (penggagas dan pendukung kebijakan New Deal) di era Franklin Delano Rosevel (FDR) menggagas banyak proyeks pekerjaan publik untuk menyerap 25 persen pengangguran di Amerika akibat Great Depression 1929.

Di Indonesia, ketidaksempurnaan persaingan bebas di bidang ekonomi dan besarnya biaya kontestasi politik melahirkan patologi ekonomi tersendiri, yaitu oligarki.

Pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru, sebagaimana ditulis oleh Jefrey Winter, memang mengalami transisi model oligarki dari "sultanic oligarch" yang berhasil dijinakan Soeharto ke model "ruling oligarch" yang berkeliaran sesuka hati di dalam sistem ekonomi politik nasional.

Transisi tersebut sebenarnya sangat membahayakan proses demokratisasi di Indonesia karena, sebagaimana ditulis Jefrey Winter, justru menceburkan Indonesia ke dalam "criminal democracy," alias bukan transisi menuju demokrasi sebagaimana yang dipahami di negara-negara demokrasi liberal-elektoral di barat.

Jefrey Winter menuliskan pandangannya di dalam buku "Oligarch" yang terbit di tahun 2011, dengan berpatokan pada perkembangan ekonomi politik Indonesia dari Soeharto, Gus Dur, Habibie, Megawati, dan SBY.

Namun tahun 2018 di saat John West menerbitkan buku "Asian Century on the Knife Edge, " justru melihat perkembangan oligarki di Indonesia semakin menjadi-jadi.

Kini, kata John West, demokrasi Indonesia hanya tersisa sebagai "demokrasi dari beberapa, untuk beberapa, dan oleh beberapa", bukan "dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat", sebagaimana adigium demokrasi pada umumnya.

Selanjutnya, di bawah agenda setting oligarkis seperti itu akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi/oligarki), terutama yang mampu menjamin ketersediaan dana bagi para punggawa kekuasaan yang ingin mengongkosi kontestasi demokrasi yang super mahal.

Sudah bisa dipastikan, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the have) dengan kalangan papa (the have no) alias minimnya pemerataan di satu sisi, tapi membahagian pada punggawa kuasa dan para oligarki pencari rente di sisi lain.

Hasil dari ketidaksempurnaan pasar yang dieksploitasi oleh para pencari rente dan elite kekuasaan tersebut adalah disparitas pendapatan yang menyakitkan.

Kian hari, daftar 50 orang terkaya Indonesia berlomba menambah hartanya untuk mengejar peringkat tertinggi versi majalah Forbes, misalnya.

Kecepatan penambahan harta mereka berlipat dibanding peningkatan gaji pekerja atau standar hidup rakyat kebanyakan.

Mereka seolah-olah berlompa mengokupasi kavling demi kavling kekayaan nasional Indonesia atas nama prestise dan kebanggaan diri, bersamaan dengan elite-elite kekuasaan yang kian cenderung berposisi sebagai penjaga pertumbuhan harta kekayaan para oligar demi lancarnya pembiayaan politik di satu sisi dan konstribusi pada pendapatan negara di sisi lain, yang notabene disalurkan secara tidak adil di sisi lain.

Namun lucunya, pemerintah cenderung berwatak "sosialis" di saat para pembesar bisnis mulai mengalami "gagal pasar," dan sangat "liberal kapitalis" kepada rakyat di saat yang sama, dengan melepas kran-kran proteksi pada bidang dan produk yang semestinya diproteksi atas nama kepentingan publik.

Skandal BLBI adalah salah satu contoh betapa "sosialis"-nya pemerintah kepada para pembesar bisnis, atau penanaman modal negara pada BUMN dari tahun ke tahun yang nominalnya hampir selalu lebih besar ketimbang kontribusi langsung BUMN pada pendapatan negara.

Atau alokasi dana PEN yang angkanya jauh lebih besar untuk para pengusaha ketimbang untuk rakyat, mengalokasikan ratusan triliun rupiah untuk ambisi megalomaniak ibu kota baru ketimbang mengurusi perut rakyat.

Lalu, perundangan-perundangan baru yang cenderung menaikan rasa percaya diri para pembesar bisnis ketimbang kepercayaan diri rakyat kebanyakan, dan seterusnya.

https://money.kompas.com/read/2022/06/08/155807126/ketidaksempurnaan-ekonomi-pasar-dan-oligarki-pemburu-rente

Terkini Lainnya

Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

Work Smart
Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

Whats New
Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

Whats New
Tiket Kereta Go Show adalah Apa? Ini Pengertian dan Cara Belinya

Tiket Kereta Go Show adalah Apa? Ini Pengertian dan Cara Belinya

Whats New
OJK Bagikan Tips Kelola Keuangan Buat Ibu-ibu di Tengah Tren Pelemahan Rupiah

OJK Bagikan Tips Kelola Keuangan Buat Ibu-ibu di Tengah Tren Pelemahan Rupiah

Whats New
Pj Gubernur Jateng Apresiasi Mentan Amran yang Gerak Cepat Atasi Permasalahan Petani

Pj Gubernur Jateng Apresiasi Mentan Amran yang Gerak Cepat Atasi Permasalahan Petani

Whats New
LPEI dan Diaspora Indonesia Kerja Sama Buka Akses Pasar UKM Indonesia ke Kanada

LPEI dan Diaspora Indonesia Kerja Sama Buka Akses Pasar UKM Indonesia ke Kanada

Whats New
Unilever Tarik Es Krim Magnum Almond di Inggris, Bagaimana dengan Indonesia?

Unilever Tarik Es Krim Magnum Almond di Inggris, Bagaimana dengan Indonesia?

Whats New
Simak 5 Cara Merapikan Kondisi Keuangan Setelah Libur Lebaran

Simak 5 Cara Merapikan Kondisi Keuangan Setelah Libur Lebaran

Earn Smart
Studi Kelayakan Kereta Cepat ke Surabaya Digarap China, KAI: Kita Enggak Ikut

Studi Kelayakan Kereta Cepat ke Surabaya Digarap China, KAI: Kita Enggak Ikut

Whats New
Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Bisa Berimbas ke Harga Barang Elektronik

Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Bisa Berimbas ke Harga Barang Elektronik

Whats New
Pendaftaran UM-PTKIN 2024 Sudah Dibuka, Ini Link, Jadwal, hingga Alurnya

Pendaftaran UM-PTKIN 2024 Sudah Dibuka, Ini Link, Jadwal, hingga Alurnya

Whats New
Rincian Harga Emas di Pegadaian Hari Ini 23 April 2024

Rincian Harga Emas di Pegadaian Hari Ini 23 April 2024

Spend Smart
Pembentukan Badan Penerimaan Negara Masuk Dokumen Rencana Kerja Pemerintah 2025

Pembentukan Badan Penerimaan Negara Masuk Dokumen Rencana Kerja Pemerintah 2025

Whats New
Neraca Dagang RI Kembali Surplus, BI: Positif Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi

Neraca Dagang RI Kembali Surplus, BI: Positif Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke