Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tren Kolusi Kalangan Pengusaha

Kolapsnya narasi kebangsaan dan jiwa pebisnis untuk menjadikan dunia usaha sebagai langgam penopang kelanjutan daya tahan manusia, justru menjadi motif utama yang paling destruktif belakangan ini.

Lalu lahirlah pertanyaan sederhana, bagaimana menciptakan situasi dunia usaha di Indonesia agar bebas dari praktik suap-menyuap?

Hal terpenting, bagaimana pemerintah memperbaiki birokrasi dalam mengatur dunia usaha. Birokrasi yang rumit dan berbelit-belit adalah faktor yang paling berkontribusi melanggengkan praktik suap-menyuap.

Pertalian pengusaha dan kekuasaan politik melahirkan mutualisme kepentingan sektoral yang menyempit dari publik.

Alih-alih ingin menopang hajat masyarakat, mereka sebenarnya sedang membangun ekosistem yang kedap kritik.

Posisi ini bukan berarti masyarakat tidak peka, tetapi persengkokolan rente membuat antibodi mereka sulit disentuh masyarakat.

Daya tekan dan praktik yang sering berubah-ubah, membuat pengusaha sering mendapatkan keuntungan lebih saat mereka dilindungi oleh sosok kuat.

Paham klasik, sebagaimana dilontarkan Epikuros ada benarnya, mendominasi wacana alam pikiran bahwa satu-satunya cara untuk tetap diakui eksistensinya dalam dunia materialisme adalah dengan cara sebanyak mungkin menumpuk harta.

Kelangkaan minyak goreng dimotivasi oleh perilaku pemburuan keuntungan yang tak wajar. Situasi sulit adalah peluang keuntungan yang biasanya tidak diikutkan oleh hati nurani. Pengusaha semacam ini tidak bekerja dengan konsepsi sederhana.

Apalagi kebutuhan itu berisfat urgen bagi masyarakat, kelangsungan praktik nakal pengusaha bertalian dengan porsi keuntungan dalam suatu ikatan kartel.

Pengaruh orang penting dari bangunan kaum Oligarki telah ikut membesarkan ceruk praktik nakal pengusaha.

Pertemuan kepentingan itu merupakan simbiosis yang saling menguntungkan. Oligarki membutuhkan dukungan di tingkat lokal karena sangat penting untuk memenangi politik elektoral.

Desentralisasi yang mendelegasikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah menempatkan posisi elite lokal menjadi sangat penting bagi kepentingan oligarki.

Misalnya, konsesi untuk mendapatkan kuasa pertambangan atau pembukaan lahan bagi perkebunan sawit.

Oligarki telah terbentuk dan dibesarkan oleh Orde Baru yang merentang dari Istana hingga ke tingkat daerah (Hadiz & Robison, 2004).

Selama ini oligarki predator hidup dari praktik mencari rente, mendapatkan fasilitas dan proteksi negara serta berbagai macam korupsi.

Ketika Soeharto tumbang, sesungguhnya yang pergi hanya Soeharto, sementara oligarki masih tetap utuh.

Di sisi lain, elite politik lokal membutuhkan dukungan dari oligarki untuk memastikan kepentingan mereka tidak terganggu.

Elite politik lokal di Indonesia sangat tergantung pada anggaran publik yang diatur dengan sangat ketat pascareformasi.

Penguasaan elite lokal atas politik tidak akan ada artinya bila mereka dibatasi oleh aturan-aturan yang ketat untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya publik di tingkat lokal yang sangat penting untuk mempertahankan basis dukungan politik.

Mereka tidak segan bekerjasama dengan pebisnis untuk meningkatkan pundi-pundi. Pemberian izin usaha pada perkebunan maupun tambang di sejumlah titik di negeri ini sudah cukup menjadi saksi.

Transparency International dalam penelitiannya pernah menemukan sekitar 3.000 eksekutif perusahaan di 28 negara yang dikategorikan maju secara ekonomi, termasuk Indonesia.

Bahkan, semua negara yang tergabung dalam G-20 dilibatkan dalam survei. Perusahaan di negara ini dikategorikan paling sering melakukan praktik suap demi kelancaran bisnisnya.

Sektor terkorup juga datang berkaitan dengan pekerjaan umum dan konstruksi.

Usaha memutus ”rantai” kolusi antara kepentingan pengusaha dan kewenangan yang melekat pada pejabat publik harus disikat.

Terutama pada sektor penegakan hukum jika terjadi praktik suap-menyuap oleh pengusaha terhadap pejabat publik mana pun.

Akan sangat sulit memberantas praktik ini jika penegak hukum cenderung memperlemah upaya penegakan hukum, melemahkan dakwaan, tuntutan, dan pada akhirnya berbuah vonis ringan atau bahkan bebas dari tuntutan hukum.

Sebuah fakta kooptasi dan penghisapan negara oleh elite kapital berhasil dipetakan oleh survei Business Environment and Enterprise Performance Survey (BEEPS) yang dilakukan Bank Dunia dan European Bank for Reconstruction and Development (EBRD).

Survei BEEPS membagi relasi perusahaan dan negara dalam tiga bentuk. Pertama, state capture atau pemberian suap kepada pejabat publik/pengambil keputusan untuk memengaruhi pembuatan UU dan peraturan.

Kedua, influence, yakni kapasitas perusahaan dalam memengaruhi proses pembuatan kebijakan tanpa harus membayar suap. Sebab pemilik perusahaan adalah tokoh politik atau “interaksi” yang cukup dekat dengan pejabat.

Ketiga, korupsi administratif berupa sogokan kepada pejabat atau penegak hukum agar tidak melaksanakan aturan sebagaimana mestinya.

Untuk mengukur state capture dilihat dari sisi “dampak”dan “perilaku”.

Ada enam komponen yang membentuk indeks tinggi rendahnya state capture: (1) jual beli keputusan di parlemen untuk kepentingan perusahaan, (2) jual beli keputusan presiden, (3) korupsi di Bank Sentral, (4) jual beli keputusan pengadilan dalam kasus kriminal, (5) jual beli keputusan pengadilan dalam kasus perdagangan, serta (6) sumbangan untuk partai dan kampanye politik.

Invetasi pengusaha sudah sering menyasar pada pembiayaan partai politik untuk memantapkan usaha dan perizinan.

Thomas Ferguson dalam Investment Theory of Party Competition (1995) menyatakan bahwa dalam sistem politik yang digerakkan oleh uang (money-driven political system), kebijakan politik tak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elite bisnis dan investor.

Dalam hubungan dyadic dengan DPR, birokrat memerankan diri sebagai klien untuk mendapat persetujuan atas suatu kebijakan atau alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan.

Partai adalah produsen utama pejabat publik, mulai dari presiden hingga bupati.

Secara ketatanegaraan, kewenangan DPR dalam menentukan pejabat dan kebijakan publik juga semakin besar sehingga terjadi legislative heavy.

Sehingga tidak jarang, pejabat publik di lembaga lain tidak bisa berdaya mengikuti budaya culas yang merugikan publik ini.

Kekacauan praktik pengusaha yang memanfaatkan sumber daya lain di luar kapasitas perannya dapat memungkinkan menurunkan persepsi publik.

Masyarakat akan mengira pengusaha yang sukses adalah hasil dari silang kepentingan dengan elite kekuasaan.

Masalah segelintir oknum dapat merusak marwah kaum pengusaha yang dari awal satu napas dengan konsep dasar kemajuan pembangunan negeri ini.

Sehingga persepsi bahwa siapa pun yang ingin mendapat akses sumber daya politik maupun ekonomi harus melayani sang patron.

Praktik busuk inilah yang terjadi di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan kita. Terjadi lingkaran korupsi yang melibatkan anggota DPR dan birokrat sebagai patron dengan pengusaha sebagai klien.

https://money.kompas.com/read/2022/06/14/140127226/tren-kolusi-kalangan-pengusaha

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke