Meskipun sudah mengumumkan permohonan maaf kepada publik, Holywings tetap akan dikenang dengan konten promosinya yang kurang sesuai dengan kepercayaan umat Islam.
Bagaimanapun, bentuk kemarahan publik terhadap Holywings merupakan hal yang lumrah. Selain iklan berorientasi agama tergolong sangat ofensif, bagi sebagian orang cara Holywings memasukkan unsur agama dalam konten promosi dirasa kurang sesuai dengan nilai dan kebenaran yang dipercayai umat Islam.
Karena ‘amat sangat berani’ menjadikan Baginda Nabi Muhammad SAW, sosok insan teragung dalam agama Islam, sebagai materi konten promosi untuk produk yang sejatinya bertentangan dengan syariat Islam.
Etika periklanan
Meminjam teori Subroto (2011) tentang “Etika Periklanan”, iklan Holywings sesungguhnya tidak memenuhi empat poin di mana sebuah iklan dapat dikatakan etis, yakni:
Apa yang dilakukan Holywings mengarah pada kecenderungan untuk mencari profit dengan cepat di tengah roda bisnisnya yang sedang stagnan.
Iklan berorientasi agama secara historis memang ditujukan mendapatkan banyak keuntungan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Konten agama termasuk yang paling cepat menyentuh ‘kulit budaya’ masyarakat, sehingga tidak sulit mendapat banyak jangkauan.
Moral tidak lagi menjadi barang penting bagi merek yang mengiklankannya.
Pada 2018, sempat ada suatu perusahaan bernama Zain yang mendapat sentimen negatif karena melakukan aksi kurang lebih sama.
Dalam video promosi mereka, yang isinya ada seorang anak laki-laki sedang menyanyikan lagu tentang penistaan agama dan kondisi terkini para pengungsi Muslim, dianggap kurang menghargai umat Islam dan hanya mengejar keuntungan pribadi.
Video tersebut terakhir kali sudah disaksikan lebih dari 12 juta kali di YouTube.
Di samping itu, tidak etisnya iklan sesungguhnya menggarisbawahi seperti apa budaya kerja dalam internal perusahaan.
Dunia periklanan atau kreatif menuntut kecepatan yang tinggi dalam mengolah konten, agar tidak kalah cepat dengan kompetitor.
Hal ini sering kali membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya luput dalam mengecek etis atau tidaknya isi konten, apalagi jika tidak didukung dengan pengawasan yang baik.
Pada akhirnya, konten baru tapi formatnya sama seperti dulu, dianggap bukan masalah besar dan dengan mudahnya bisa lolos dari pengawasan. Terlepas dari etis atau tidak materinya, seperti pada kasus Holywings.
Padahal, iklan hakikatnya harus mementingkan konsumen di atas kepentingan profit. Apa pun caranya, masyarakat harus selalu diuntungkan dari segi kultural, bahkan diberikan manfaat secara intelektual.
Mau bagaimanapun, kesan pertama konsumen terhadap bisnis salah satunya ada pada etis atau tidaknya aksi periklanan dari bisnis selama ini.
Dengan begitu, bisnis dengan iklan yang tidak mementingkan konsumen bisa dipastikan tidak akan berumur panjang.
Jika orang-orang sudah menunjukkan ketidaksepakatan terhadap iklan berorientasi agama, maka sudah seharusnya bentuk periklanan seperti itu tidak dipaksakan harus ada, apalagi hanya untuk kepentingan profit dan keberhasilan kegiatan branding (Qureshi, 2021).
Tambah lagi, membuat konten promosi seperti ini sebenarnya sama saja dengan menempatkan konsumen sebagai orang dungu yang mudah dipermainkan – begitu jika merujuk pada ucapan bapak besar periklanan, David Ogilvy.
Pun, kalau bersikukuh tetap menjadikan agama sebagai materi iklan, merek yang mengiklankan harus berhati-hati dalam membuat dan menyebarluaskannya.
Meski sekilas terlihat seolah-olah membuat pergerakan bisnis menjadi kaku dan terbatas, cara seperti ini dapat mempercepat dan memudahkan keterhubungan antara merek dan masyarakat.
Akan lebih baik lagi jika berkomitmen untuk menghapus citra iklan keagamaan sebagai sesuatu yang bersifat propagandis — mengembalikan iklan pada hakikat sejatinya.
Iklan yang tidak melulu menghamba buta pada ‘selera pasar’, melainkan mementingkan sehatnya pertukaran modal ekonomi dengan modal budaya dan sosial.
Iklan yang menjunjung tinggi etika, kebersamaan, semangat, dan sebagainya dengan konsumen.
Iklan yang mampu menempatkan konsumen sebagai mitra sejajar yang hubungan dengannya harus dipertahankan sedemikian rupa sehingga sama-sama mendapatkan kepuasan maksimal.
Mau bagaimanapun, iklan berorientasi agama sejatinya mementingkan kebersamaan, hubungan, dan kemanusiaan di atas segalanya.
Karena, pada hakikatnya, merek tercipta atas dasar persamaan persepsi antara pemiliknya dan target audiens.
Sehingga, iklan berorientasi agama yang bernuansa positif akan menciptakan respons positif atas merek, dan dapat meningkatkan angka penjualan dengan sendirinya.
Dalam konteks ini, iklan “You don’t have to be Jewish” menjadi salah satu contoh yang baik.
Meski mencantumkan agama Yahudi dalam materi promosinya, iklan ini berhasil mendapatkan pujian dan antusiasme dari seluruh masyarakat kota New York — lokasi penargetan iklan tersebut.
Alasannya pun sederhana; karena iklan tersebut tidak menyinggung nilai dan keyakinan New York.
Produk yang dipromosikan, yaitu roti, dikonsumsi oleh seluruh kalangan tanpa terbatas sekat-sekat budaya tertentu.
Selain itu, perdebatan agama pada masa pengiklanan konten promosi tersebut berjalan tidaklah seintens sekarang.
Mau diakui atau tidak, periklanan menjadi sangat efektif dalam menyampaikan pesannya ketika sesuai dengan karakteristik dan preferensi audiens.
Masyarakat juga punya peran penting dalam mengontrol iklan berorientasi agama yang diterbitkan oleh merek-merek.
Selain karena akan menjadi calon konsumen dari produknya merek, dengan cara ini masyarakat dapat memastikan, apakah merek sudah menaati etika periklanan atau belum dalam membuat dan menyebarluaskan konten promosi.
Diakui atau tidak, kontrol paling efektif memang datang dari masyarakat selaku konsumen aktif sekaligus penduduk tetap semesta sosial.
Dengan begitu, merek-merek di masa mendatang dapat lebih berhati-hati tatkala memutuskan untuk menjadikan agama sebagai konten.
Supaya tidak sekadar mementingkan profit untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok, tetapi lebih berfokus pada menjaga keharmonisan dan kebersamaan masyarakat sebagaimana hakikat iklan seharusnya.
https://money.kompas.com/read/2022/06/29/102841826/iklan-berorientasi-agama-dan-pentingnya-etika-periklanan