Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Orientasi Kualitas, Naikkan Modal Inti Koperasi Simpan Pinjam

BPS (2020) mencatat dari sisi jumlah anggota rata-rata terbanyak adalah di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan 10.000-an orang.

Disusul Jawa Tengah, 2000-an anggota, Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Maluku 1000-an anggota. Provinsi lainnya di bawah 1000 anggota.

KSP berdiri dan berkembang massif dan selalu menjadi top of mind masyarakat ketika ditanya apa yang ada di benak mereka tentang koperasi (Survei ICCI, 2020 dan 2022).

Pendirian KSP diatur melalui Permen No. 11 Tahun 2018 tentang Perizinan Usaha Simpan Pinjam.

Dalam aturan itu usaha simpan pinjam dibagi tiga level wilayah operasional: kabupaten/kota, provinsi dan kemudian nasional.

Juga ditentukan modal awal pendirian yang mana skala kabupaten hanya Rp 15 juta. Skala provinsi Rp 75 juta dan nasional Rp 375 juta untuk koperasi primer.

Sedangkan koperasi sekunder mulai dari Rp 50 juta untuk operasional satu daerah. Antardaerah dalam satu provinsi Rp 150 juta. Kemudian antardaerah lintas provinsi sebesar Rp 500 juta.

Permen juga mengatur modal minimal pendirian USP/USPPS, Rp 15 juta untuk primer dan Rp 50 juta untuk sekunder.

Implikasi dari ketentuan modal awal pendirian yang relatif kecil tersebut adalah mudahnya masyarakat dalam mendirikan KSP.

Bayangkan hanya dengan modal Rp 15 juta, kita bisa mendirikan lembaga keuangan. Meskipun skalanya mikro atau bahkan ultra mikro.

Data mencatat ada 17.737 KSP tahun 2020, bertambah 400 unit menjadi 18.156 KSP pada tahun 2021 (Kemenkop UKM, 2021). Ada kemudahan di satu sisi, namun ada tantangan besar di sisi lain.

Tantangan

Berbeda dengan KSP, kita bisa lihat tren yang ada di industri keuangan lain. Pertama BPR/BPRS jumlahnya hanya 1646 unit (2021). Jumlah itu menurun di banding tahun sebelumnya 1669 unit (2020).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan jumlah BPR/BPRS makin menyusut, bukan bertambah.

Hal yang sama terjadi di bank umum, jumlahnya 107 buah (2021) dari tahun sebelumnya ada 109 buah. Lalu perusahaan fintech lending, dari 149 menjadi hanya 103 perusahaan (2021).

Polanya sama, makin mengecil, bukan membesar. Meski jumlahnya sedikit dan mengecil, market size mereka terus membesar.

Sektor keuangan dianggap memiliki risiko tinggi dibanding sektor lainnya. Sektor ini menuntut pengawasan ekstra ketat dengan beragam regulasi dan instrumen pendukung lainnya.

Tujuannya untuk menjaga stabilitas sistem dari berbagai risiko, termasuk risiko fraudulent yang kerap terjadi.

Dengan menyusutkan jumlah, otoritas lebih mudah dalam mengawasi. Lebih baik hanya ada sekian ratus unit, tapi layanannya dapat menjangkau jutaan orang daripada ribuan unit dengan limitasi layanan di sana-sini.

Sebaliknya, hal itu yang saat ini terjadi di koperasi khususnya sektor simpan-pinjam. Jumlahnya banyak, tapi seperti buih di lautan.

Banyak mengalami keterbatasan layanan mulai dari besaran plafon pinjaman, besaran bunga, terbatasnya kantor layanan, tak memiliki teknologi yang relevan dan masih limitasi-limitasi lainnya.

Merger/Akuisisi

Untuk mengonsolidasi industri perbankan dan fintech, OJK menetapkan Capital Adequacy Ratio (CAR).

CAR ditetapkan meningkat/progresif dari tahun ke tahun. Tujuannya agar kapasitas lembaga keuangan itu terus membesar.

Konsekuensinya, bagi pemilik BPR, bank umum atau perusahan fintech, mereka harus menyetor modal tambahan. Bila tidak mampu, mereka memilih opsi yang lain: merger/ akuisisi.

Cara seperti itu dengan sendirinya membuat jumlah perusahaan menyusut, namun masing-masing memiliki rasio kecukupan modal yang tinggi.

Bagi industri keuangan, makin tinggi kecukupan modal sama dengan makin handal dan aman mereka di tengah berbagai turbulensi dan risiko yang mungkin terjadi.

Dalam konteks koperasi, Pemerintah sebenarnya dapat mengadaptasi pendekatan serupa. Tidak mengejar jumlah unit KSP, melainkan meningkatkan kualitas dan skalanya.

UU No. 25 Tahun 1992 telah memberi rambu-rambu tentang mekanisme peleburan atau penggabungan antarkoperasi. Sayangnya di lapangan hal tersebut jarang dan sulit terjadi.

Saya menduga bottle neck penggabungan/peleburan terletak pada level Pengurus daripada anggota sebagai pemilik.

Anggota cenderung lebih sederhana pola pikirnya, bila proposal penggabungan/peleburan itu bagus, pasti mereka setujui.

Misalnya, pascapenggabungan plafon pinjaman naik dari Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta. Jumlah kantor layanan bertambah dan didukung dengan teknologi yang mumpuni. Itu beberapa pull factor dari persepsi anggota.

Namun Pengurus serta Manajemen bisa berpikir lain. Bila dilakukan penggabungan/ peleburan, bagaimana nasib mereka. Yang tentu saja akan terjadi perampingan fungsi dan peran.

Di sinilah bottle neck itu terjadi sehingga penggabungan/peleburan jarang dilakukan sebagai strategi pengembangan perusahaan koperasi.

Riset yang dilakukan Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (2021) menemukan hanya 9,5 persen responden yang pernah melakukan penggabungan/peleburan. Artinya hanya 1 dari 10 koperasi yang pernah melakukannya.

Di antara opsi penggabungan atau peleburan, 68,4 persen responden cenderung memilih opsi penggabungan, sebab mekanisme ini dianggap lebih sederhana.

Menunggu inisiatif penggabungan/peleburan dari koperasi secara sukarela terlihat sulit. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang terukur, membuat penggabungan/peleburan sebagai opsi yang imperatif.

Salah satunya dengan cara menaikkan ketentuan modal inti bagi KSP.

Kebijakan Pembinaan

Pemerintah dalam berbagai pertemuan sering menyinggung soal jumlah koperasi banyak, berbanding terbalik dengan skalanya. Isu skala menjadi masalah sejak dua dekade lalu.

Sekarang adalah momentum yang tepat untuk mengambil kebijakan yang berorientasi pada pembangunan ekosistem koperasi yang lebih kuat, sehat dan handal.

Penerbitan Permen No. 9 Tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi merupakan upaya bagus. Kementerian Koperasi dan UKM membagi koperasi menjadi empat klasifikasi usaha.

KUK 1, yakni koperasi dengan aset mencapai kurang dari sama dengan Rp 2,5 miliar. Kemudian KUK 2 Rp 2,5 miliar sampai dengan Rp 100 miliar, KUK Rp 100 miliar sampai Rp 500 miliar dan KUK 4 di atas Rp 500 miliar.

Tujuannya agar pengawasan lebih efektif dengan memperhatikan skala dan profil risiko tiap koperasi.

Namun patut dicatat bahwa regulasi dan instrumen pengawasan ini bekerja di bagian hilir. Hemat saya, kita juga perlu masuk ke sisi hulu dan tengah, yakni pada isu pendirian dan pengembangan KSP.

Pertama, saya berpendapat perlu sekali untuk menaikkan ketentuan modal awal dan/atau inti KSP. KSP level daerah perlu dinaikkan dari hanya Rp 15 juta menjadi Rp 1 miliar. Kemudian KSP level provinsi menjadi Rp 5 miliar dan nasional menjadi Rp 10 miliar.

Dengan cara begitu pendirian KSP dapat terkendali dan yang berdiri memang benar-benar memiliki modal yang cukup, sehingga lebih profesional.

Bagi komunitas/kelompok yang tidak mampu memenuhi ketentuan tersebut cukup bergabung ke KSP eksisting. Toh maksud tujuannya untuk memperoleh layanan keuangan.

Artinya ketentuan ini sama sekali tidak melanggar hak masyarakat. Sebaliknya secara jangka panjang menguatkan ekosistem bisnis koperasi.

Ketentuan itu berlaku secara umum bagi KSP baru dan juga eksisting. Pemerintah bisa memberikan masa penyesuaian selama dua tahun.

Mereka bisa menambah modal dari Simpanan Pokok/Simpanan Wajib Anggota. Bila tidak mampu, bisa memilih opsi menggabungkan/meleburkan diri ke koperasi lain. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi ketentuan itu, izin operasionalnya dicabut.

Masa transisi selama dua tahun itu sudah cukup untuk menyesuaikan/menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan.

Pemerintah Pusat dan Daerah dapat mendampingi intensif pada kasus di mana KSP memilih opsi penggabungan/peleburan.

Hal itu kemungkinan akan banyak terjadi di daerah-daerah yang memiliki KSP skala mikro/ kecil.

Tambahan insentif dapat diberikan, misalnya, prioritas akses pinjaman ke Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) untuk meningkatkan modal kerja pascapenggabungan.

Likuiditas mereka akan naik yang membuat jangkauan layanan makin luas dan manfaat ke anggota menjadi lebih besar.

Dengan kebijakan pembinaan seperti itu, bisa disimulasikan jumlah KSP akan turun, anggaplah menyusut 50 persen menjadi 9.000 unit.

Kemudian tiga-lima tahun berikutnya naikkan kembali rasio modalnya, menyusut 20 persen, sisanya 6.000 unit. Lalu dengan modal awal yang cukup tinggi, harusnya pertumbuhan KSP hanya di angka 50 unit/tahun.

Yang menarik adalah layanan mereka menjadi lebih prima dengan jangkauan lebih luas.

Ketentuan Rp 15 juta tak akan membawa koperasi simpan-pinjam kita menjadi kuat dan terpercaya. Sebaliknya hanya menjadi olok-olok, lembaga keuangan level RT/ RW.

Bila diteruskan, secara jangka panjang memengaruhi citra terhadap gerakan ini. Koperasi hanya urusan yang kecil-kecil saja.

Konkretnya saya mengusulkan Permen No. 11 Tahun 2018 direvisi. Sebelum itu sebaiknya juga Pemerintah menyiapkan terlebih dahulu “Peta Jalan Pengembangan Koperasi Simpan Pinjam di Indonesia”, agar kebijakan pembinaannya lebih terukur dan komprehensif.

Saya pikir sudah saatnya kita mengarah pada kualitas, bukan kuantitas. Pertumbuhan KSP 400 unit per tahun itu adalah simalakama!

https://money.kompas.com/read/2022/06/30/080000926/orientasi-kualitas-naikkan-modal-inti-koperasi-simpan-pinjam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke