Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Politik Desentralisasi dan Transisi Energi Kita

Seperti halnya dengan banyak proses pembangunan di Indonesia, realisasi target energi negara sebagian besar berada di tangan instansi pemerintah di tingkat nasional dan daerah.

Pasalnya, pemerintah pusat dan daerah sama-sama memiliki peran sentral dalam keputusan energi di masing-masing provinsi dan kabupaten serta membuka jalan bagi pengembangan energi terbarukan dengan memfasilitasi berbagai proses seperti penerbitan izin usaha dan izin terkait lainnya serta memfasilitasi pembebasan lahan.

Maka, untuk memastikan pencapaian target transisi energi di tingkat daerah, pemerintah juga mengamanatkan pemerintah provinsi menyusun dan melaksanakan Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

Aturan mainya, pengembangan RUED di tingkat provinsi harus dilakukan melalui proses multistakeholder, seperti instansi pemerintah, pemerintah kabupaten, kelompok masyarakat sipil dan universitas.

Rencana yang disepakati kemudian perlu diformalkan sebagai peraturan provinsi. Dengan demikian, semua pihak dapat bernegosiasi dan membentuk masa depan energi provinsi mereka.

Di sektor energi, desentralisasi mencakup penyerahan kewenangan kepada pemerintah kabupaten untuk menerbitkan izin pertambangan skala kecil atau di bawah 15.000 ha dan konsesi serta izin terkait proyek energi terbarukan.

Lebih jauh, dalam UU Ketenagalistrikan No 30/2009, kewenangan pemerintah provinsi meliputi pemberian konsesi dan izin untuk pembangkitan tenaga listrik antarkabupaten dan kota dalam provinsi dan penetapan harga listrik dari Independent Power Producers (IPP) yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dengan persetujuan DPRD setempat.

Tak heran, kebijakan desentralisasi sektor energi memantik rawannya korupsi dan degradasi lingkungan, sehingga undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah kemudian direvisi dan mengalihkan kembali kewenangan tata kelola energi dari tingkat kabupaten ke tingkat provinsi dan nasional.

Diperkuat beleid teranyar Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja No. 11 Tahun 2020 yang mengalihkan sebagian besar kewenangan pengelolaan energi kembali ke instansi pemerintah pusat.

Kontestasi dalam sistem energi antara pusat dan daerah bakal memicu kemungkinan revisi undang-undang tentang undang-undang otonomi daerah dan energi.

Bercermin pada masa orde baru, tepatnya pada akhir tahun 1990-an yang merupakan gelombang pertama desentralisasi, pemerintah berusaha meliberalisasi sektor ketenagalistrikan melalui penetapan Undang-Undang Ketenagalistrikan No 2 Tahun 2002 yang memungkinkan keterlibatan signifikan sektor swasta.

Namun karena resistensi yang kuat dari berbagai aktor, Mahkamah Agung membatalkan undang-undang tersebut karena melanggar Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan saat ini mempertahankan posisi dominan PLN dalam pembangkitan, transmisi, dan distribusi listrik.

PLN dan anak perusahaannya masih menguasai sebagian besar pembangkit listrik di negara ini atau sekitar 77 persen, dengan sisanya berasal dari pembangkit listrik swasta (PPU) dan IPP (IRENA, 2017).

Keteguhan posisi dominan PLN dan keengganannya untuk menjauhi batu bara sering kali menciptakan hambatan kebijakan di tingkat nasional untuk dekarbonisasi sistem energi.

Inilah yang menyebabkan batubara akan tetap dominan hingga tahun 2025 dengan proyeksi porsi 30ri total energi nasional, meskipun kita tahu Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan yang melimpah.

Revisi undang-undang otonomi daerah dan peraturan lainnya semakin mempersempit kemampuan pemerintah provinsi untuk mendukung pengembangan energi terbarukan.

Peraturan tentang anggaran pemerintah, misalnya, telah membatasi kemampuan pemerintah kabupaten dan provinsi untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur energi terbarukan.

Perubahan kerangka peraturan yang terus menerus juga menghasilkan ketidakpastian peraturan, sehingga meningkatkan waktu dan sumber daya yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan lokal untuk memahami implikasi peraturan baru dan untuk mematuhinya.

Untuk itu, sebagai bentuk langkah antisipasi tarik ulur perubahan regulasi, banyak dari pemerintah provinsi pada akhirnya membentuk skema kerjasama baru untuk proyek energi terbarukan.

Hal ini dikarenakan pemerintah kabupaten tidak lagi memiliki kewenangan diskresi fiskal untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur energi terbarukan.

Bahkan, beberapa kabupaten telah mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di mana mereka dapat secara legal menyisihkan anggaran dan berkolaborasi langsung dengan sektor swasta domestik untuk inisiatif energi terbarukan.

Tak tertinggal di tingkat desa, sejak tahun 2015, pemerintah desa telah menerima transfer fiskal dari pemerintah pusat untuk mendukung pembangunan berbasis masyarakat.

Selain itu, tantangan perencanaan transisi energi daerah akan berbenturan dengan struktur ekonomi masing-masing provinsi dan kabupaten.

Bali, misalnya, tujuan wisata yang dikenal secara global, ekonomi lokal sangat bergantung pada industri pariwisata, pertanian, dan perikanan akan menghadapi tantangan yang berbeda dengan daerah yang bergantung pada industri ekstraktif dan perkebunan kelapa sawit seperti provinsi Kalimantan Selatan.

Di kedua provinsi tersebut, bauran energi saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil, terutama dari batu bara.

Mengingat target Indonesia untuk transisi ke energi rendah karbon, kedua provinsi perlu menjajaki jalur untuk mencapai masa depan energi bersih melalui pengembangan Rencana Energi Daerah (RUED).

Bahkan beberapa pemerintah desa di Bali telah menggunakan dana desa untuk membangun inisiatif energi terbarukan. Namun, efektivitas jangka panjang dari inisiatif ini masih harus dilihat.

Perwakilan pemerintah daerah juga secara strategis menggunakan kebijakan dan peraturan yang berbeda ketika bernegosiasi dengan otoritas provinsi dalam membangun masa depan energi terbarukan mereka.

Berbeda dengan Bali, kepemimpinan politik untuk mengejar masa depan energi yang lebih bersih di wilayah ekonomi ekstraktif seperti Kalimantan Selatan akan menemui kendala besar.

Hal ini disebabkan hubungan yang kuat antara industri ekstraktif, terutama batubara, dan politik lokal di mana banyak politisi, birokrat, dan parlemen lokal terlibat dalam satu atau lain cara dalam industri ini dan memanfaatkan kekuatan politik mereka untuk mempertahankannya.

Banyak dari mereka yang memperoleh kontrak memiliki hubungan politik yang kuat dengan politisi dan birokrat berpengaruh.

Implikasi kebijakan

Kebijakan dan tata kelola transisi energi Indonesia memang sangat kompleks dan dinamis. Sistem pelayanan energi nasional dan penyediaan tenaga listrik masih terkesan monolitik.

Proses perencanaan energi bukan soal perkara teknis, tetapi merupakan proses politik yang melibatkan interaksi multi-skala aktor di tingkat nasional dan daerah di mana masa depan energi dinegosiasikan dan di mana aktor subnasional ikut berusaha untuk mengklaim ruang dan menegaskan peran mereka dalam energi transisi.

Kemampuan daerah untuk memengaruhi lintasan transisi telah dibentuk oleh beberapa faktor yang mencakup kepemimpinan politik, masyarakat sipil, dan keterlibatan pemangku kepentingan yang lebih luas dalam proses, serta struktur ekonomi politik dan hubungan kekuasaan.

Pentingnya pendekatan tata kelola multilevel dalam transisi energi yang memberikan ruang bagi aktor subnasional dalam perencanaan energi regional dan mendorong tindakan lokal untuk mengejar transisi ke energi rendah karbon.

Memang, mewujudkan ambisi transisi energi tidak dapat dicapai hanya melalui top-down pemerintah nasional, tetapi harus didukung oleh partisipasi aktif dari semua tingkat pemerintahan.

Namun, tanpa serangkaian tanggung jawab untuk keberlanjutan atau dukungan politik, pemerintah daerah juga tidak memiliki insentif yang cukup untuk bertindak.

Oleh karena itu, pemerintah nasional perlu menciptakan kerangka peraturan yang efektif untuk mendorong tindakan lokal dan memberikan ruang yang lebih luas untuk partisipasi publik.

Dan mereformasi pasar listrik untuk mendorong keterlibatan perusahaan energi swasta, masyarakat lokal, serta pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan transisi energi yang inklusif dan adil.

Di Indonesia, reformasi undang-undang otonomi daerah dan peraturan terkait diperlukan untuk memberikan kewenangan yang jelas dan bermakna kepada pemerintah daerah dalam tata kelola energi.

Namun, reformasi harus disertai dengan mekanisme akuntabilitas yang jelas dan peningkatan kapasitas teknis dan keuangan.

Kebijakan dan peraturan di level nasional untuk memungkinkan transisi cepat ke energi rendah karbon tetap penting karena beberapa masalah ditangani dengan lebih baik di tingkat nasional.

Peran pemerintah pusat tetap menjadi kunci dalam merancang dan menerapkan kebijakan iklim dan kerangka peraturan yang menyeluruh dan dalam melembagakan komitmen jangka panjang menuju transisi energi rendah karbon, sehingga menciptakan kepastian dalam lingkungan peraturan yang penting bagi transisi energi.

https://money.kompas.com/read/2022/07/01/070000326/politik-desentralisasi-dan-transisi-energi-kita

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke