Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengantisipasi Turbulensi Ekonomi Dunia

Ungkapan “Winter is coming” itu yang digunakan Jokowi itu dikutip dari episode pertama pada musim pertama film seri Game of Thrones (GoT) yang dirilis tahun 2011. Game of Throne merupakan film seri televisi yang memecahkan rekor paling banyak ditonton sepanjang masa.

Saya berpendapat bahwa pidato itu adalah salah satu pidato terbaik Presiden Jokowi. Presiden berusaha menggambarkan banyaknya masalah perekonomian yang akan dihadapi dunia dengan memilih perumpamaan dari kutipan dialog film seri yang saat itu tengah populer secara global.

Pidato tersebut berhasil mendapatkan perhatian internasional, baik ilustrasi maupun pentingnya konten yang disampaikan Presiden Jokowi. Jika Anda masih ingat pidato Jokowi yang disampaikan hampir empat tahun yang lalu tersebut, maka Presiden Jokowi berhasil menyampaikan pesan yang penting dengan metode yang menarik dan mudah diingat banyak orang.

Frasa ‘winter is coming’ kemudian diulang oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya ketika membuka 1st Finance Ministers & Central Bank Governors Meeting dalam rangkaian acara G-20 pada 17 Februari 2022 di Jakarta, tepat seminggu sebelum Rusia melakukan invasi ke Ukraina. Pidato tersebut kembali menyoroti kondisi ekonomi dunia yang terguncang dan pandemi Covid-19 yang masih belum berakhir.

Ungkapan "Winter is coming" sendiri memiliki makna yang mendalam bagi seluruh dunia untuk mempersiapkan diri menghadapi keadaan buruk yang akan datang. Dalam serial Game of Thrones diceritakan bahwa pada benua fiksi bernama Westeros musim dingin dapat berlangsung dalam waktu yang sangat lama tanpa dapat diprediksi kapan akan berakhir. Musim dingin dianalogikan sebagai suatu keadaan yang buruk, yang setiap orang harus bersiap untuk menghadapinya dalam jangka waktu yang panjang.

Krisis pangan dan energi, serta inflasi tinggi

Saat ini "musim dingin" yang berat sepertinya telah benar–benar datang. Ekonomi dunia telah mulai memasuki turbulensi yang penuh dengan ketidakpastian. Krisis energi dan bahan pangan yang melanda dunia saat ini akibat konflik Rusia – Ukraina, serta berbagai macam perang dagang komoditas menandakan "musim dingin" telah datang.

Pekan lalu, Bloomberg merilis laporan bahwa tingkat inflasi di Amerika Serikat (AS) telah mencapai level 9,1 persen year on year (yoy) yang merupakan tingkat inflasi tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Pada sebulan terakhir saja, tingkat inflasi di AS tercatat naik sebesar 1,32 persen dari bulan sebelumnya.

Kenaikan tingkat inflasi bulanan pada bulan lalu itu juga merupakan kenaikan level inflasi yang tertinggi sejak tahun 2005. Untuk menekan inflasi yang terus meningkat, The Fed kemudian menaikkan tingkat suku bunga secara agresif. Saat ini pada Juli 2022, tingkat suku bunga The Fed telah berada pada level 1,5 - 1,75 persen, padahal pada Februari 2022 tingkat suku bunga The Fed masih berada pada level 0,25 persen.

Sepertinya tingkat suku bunga The Fed masih akan terus mengalami reli pada akhir Juli 2022 sebanyak 0,75 basis point ke level 2,25 – 2,5 persen untuk meredam inflasi yang terus meningkat.

Aksi menaikkan suku bunga The Fed tentu menyebabkan penguatan nilai dollar AS terhadap mata uang negara lain. Pada Juli 2022 ini rupiah telah melemah terhadap dollar AS sebesar 3,98 persen year on year. Euro dan poundsterling bahkan mencatatkan pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS yang lebih tinggi dari level 17,5 persen year on year.

Sejumlah bank sentral di berbagai negara mau tidak mau kemudian merespon kebijakan The Fed tersebut dengan ikut menaikkan tingkat suku bunga untuk menjaga valuasi mata uangnya. Bank Indonesia (BI) sampai 21 Juli 2022 memilih untuk tetap menahan tingkat suku bunga BI-7 day Repo Rate pada level 3,5 persen. Praktis sejak Februari 2021, BI belum pernah sekalipun menaikkan tingkat suku bunga acuan. Walaupun tingkat suku bunga acuan kita sudah lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi kita yang sebesar 4,35 persen year on year menurut BPS pada Juni 2022.

Anda tentu sudah tahu hukumnya, menaikkan tingkat suku bunga berarti memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan menurunkan daya beli masyarakat. Jadi pilihan hari ini begitu sulit, seperti makan buah simalakama. Masing–masing negara harus memilih dengan bijak, mana yang lebih penting dalam menghadapi turbulensi ekonomi dunia ini: menahan laju inflasi atau mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.

Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM dan listrik non-subsidi pada Juli 2022 ini tentu juga akan mendorong inflasi kita semakin tinggi. Maka inflasi dan kenaikan harga berbagai komoditas di dalam negeri tentu merupakan badai nyata yang sedang berlangsung dan akan kita hadapi sampai beberapa waktu ke depan.

BI bukan tidak mungkin akan dihadapkan pada pilihan menaikkan suku bunga dalam beberapa waktu ke depan jika tekanan inflasi semakin tinggi dan valuasi nilai tukar rupiah semakin melemah. Maka kita semua pun juga harus mempersiapkan diri menyambut "musim dingin" yang telah datang.

Strategi pegang uang tunai

Dalam situasi krisis yang penuh ketidakpastian, ungkapan cash is the king sering dianggap sebagai strategi keuangan yang tepat. Aset yang paling baik dan aman dalam kondisi krisis adalah aset yang memiliki likuiditas yang tinggi. Selain lebih aman, aset dengan likuiditas tinggi memiliki fleksibilitas yang terkadang dibutuhkan untuk secara cepat menangkap kesempatan yang tiba-tiba muncul pada kondisi krisis.

Masyarakat juga perlu mengelola keuangannya dengan lebih baik dan bijak pada periode turbulensi ekonomi ini. Investasi maupun kegiatan ekonomi lainnya yang dibiayai dari hutang harus benar–benar dihitung produktivitasnya. Momen sebelum krisis merupakan saat yang tepat untuk mengurangi hutang. Volatilitas tingkat suku bunga dan kenaikan tingkat inflasi yang terus terjadi bukan tidak mungkin akan menimbulkan peningkatan nilai kewajiban di kemudian hari.

Maka pada kondisi ini segala risiko yang mungkin timbul dalam manajemen keuangan kita harus dikelola dengan baik. Jangan sampai ketika sudah jatuh, masih harus tertimpa tangga.

John F Kennedy dalam pidatonya di Indianapolis tahun 1959 pernah mengutip sebuah filosofi Tiongkok yang menarik. Konon anda mesti menuliskan dua buah karakter yaitu ‘wei’ dan ‘ji’ untuk membentuk sebuah kata ‘weiji’ yang dalam Bahasa Mandarin berarti krisis.

‘Wei’ berarti bahaya, sedangkan ‘ji’ berarti kesempatan. Sudah menjadi kodratnya bahwa di tiap krisis terdapat juga kesempatan. Maka sekali-kali tidak ada salahnya kalau kita seperti JFK, tetap optimis menyambut krisis.

https://money.kompas.com/read/2022/07/25/165803126/mengantisipasi-turbulensi-ekonomi-dunia

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke