Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menumbuhkan Pendidikan Kewirausahaan di Masa Pandemi

Namun efek positifnya masyarakat kecil mulai kreatif. Korban PHK dan ibu rumah tangga semakin gigih dalam berwirausaha.

Meskipun tidak sedikit yang mengalami kegagalan karena minimnya daya tahan dan pengalaman dalam berwirausaha.

Bagi umumnya orang Indonesia, memulai usaha dan menciptakan lapangan kerja sejak dini bukanlah merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan.

Penyebabnya, menurut Agung B. Waluyo, dari Universitas Ciputra Entrepreneurship Center, dipengaruhi oleh dua hal.

Pertama, selama 350 tahun masa penjajahan sebagian besar rakyat Indonesia tidak mendapat pendidikan yang seharusnya. Kedua, pendidikan kita memiliki orientasi membentuk SDM pencari kerja bukan pencipta kerja.

Mind set sebagai pencari kerja semakin meningkatkan tingginya penggangguran di Indonesia. Lulusan Diploma yang mengganggur saat ini 305.261 orang, sedangkan lulusan sarjana juga bertambah menjadi 981.203 orang. Secara keseluruhan porsi pengangguran kaum terdidik 14,3 persen. (Kompas.Id, 13 April 2022).

Padahal menurut penelitian, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya mampu menciptakan sekitar 265.000 lapangan kerja baru.

Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkisar antara 6 persen, maka hanya tersedia sekitar 1.590.000 lapangan kerja baru. Lulusan sarjana setiap tahunnya lebih dari 300.000 orang.

Minimnya entrepreneur

Entrepreneur berasal dari bahasa Perancis yang berarti kontraktor. Asal katanya adalah entrepenant yang berarti giat, mau berusaha, berani, dan penuh petualangan.

Di Indonesia, entrepreneur diterjemahkan sebagai enterprenir, pengusaha dan usahawan. Di lingkungan pemerintahan, digunakan istilah wirausaha.

Tingginya pengangguran dan rendahnya kesejahteraan di Indonesia dipengaruhi oleh kecilnya jumlah enterpreneur.

Menurut David McClelland, suatu negara akan menjadi makmur apabila memiliki entrepreneur sedikitnya sebanyak 2 persen dari jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk sebesar 275 juta, Indonesia membutuhkan 5,5 juta entrepreneur.

Bagaimana menghasilkan wirausaha sebanyak itu? Menurut alm. Ir. Ciputra, sosok entrepreneur adalah seorang yang mampu mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas. Namun kita orang Indonesia tidak perlu memulai dari kotoran dan rongsokan.

Indonesia dianugerahi dengan kelimpahan potensi sumber daya alam seperti energi, aneka komoditas, dan bahan-bahan tambang yang luar biasa.

Tapi produk-produk itu kurang mendapat sentuhan enterpreneursip sehingga tidak menghasilkan nilai tambah yang tinggi.

Saat ini generasi muda kita tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Untuk menghasilkan wirausaha yang handal paling tidak dibutuhkan 3 L yang menentukan, yaitu: Lahir, Lingkungan dan Latihan.

Lahir, seseorang yang lahir dari keluarga wirausaha, sehingga ia mendapat atmosfer entrepreneursip dalam waktu jangka panjang. Ibarat ia sudah lahir di tengah-tengah tumpukan barang dagangan.

Lingkungan, seseorang berada dalam lingkungan entrepreneurship sehingga jiwa wirausahanya muncul, misalnya seorang profesional yang bekerja bertahun-tahun dengan seorang wirausaha.

Latihan, atau pendidikan, upaya yang secara sadar dan terstruktur dilakukan untuk membangun mind set wirausaha.

Pendidikan entrepreneurship

Pendidikan kewirausahaan seringkali dikaitkan dengan kegiatan dagang atau jual beli. Sehingga guru dan kalangan pendidikan ragu-ragu memasukkan unsur wirausaha dalam materi pelajaran.

Hal itu kurang tepat karena enterpreneurship bukan sekadar berdagang untuk menghasilkan keuntungan, namun tujuan utama mengubah mind set, sehingga bisa dikondisikan (by design) melalui pendidikan sejak usia dini.

Melalui pendidikan, seseorang didorong untuk mencari dan menciptakan peluang yang bernilai bagi masyarakat.

Ia ditumbuhkan menjadi seorang inovator yang menemukan solusi bagi masyarakat dan seorang sosok yang berani mengambil risiko secara terukur.

Entrepreneur yang sukses tidak mulai dengan berdagang untuk mendapatkan keuntungan finansial, namun mencari inovasi kreatif bagi masyarakat. Keuntungan finansial adalah produk dari kreativitas.

Dalam pendidikan entrepreneurship siswa tidak sekadar didorong menjadi Business Entrepreneur, namun juga menjadi Government Entrepreneur, semacam Lee Kuan Yew, seorang leader yang menumbuhkan Singapura, atau Sukarno sang Pembebas Indonesia, Academic Entrepreneur, seperti Nicholas Negroponte penggagas One Chils One Laptop dari MIT Amerika Serikat, dan Social Entrepreneur, yang menghimpun dana demi kesejahteraan bersama, semacam Muhamad Yunus, Bunda Teresa atau Romo Y.B Mangunwijaya.

Bagaimana mengimplementasi Quantum Leap Entrepreneurship? Ciputra menawarkan tiga gagasan.

Pertama, untuk pendidikan usia dini, dasar dan menengah, perlu mengintegrasikan nilai-nilai entrepreneurship di dalam kurikulum nasional.

Kurikulum Merdeka bahkan menentukan tema Kewirausahaan menjadi salah satu tema dalam Penguatan Profil Pelajar Pancasila.

Kedua, untuk perguruan tinggi melalui Kampus Merdeka hendaknya menciptakan dan mengembangkan pusat-pusat kewirausahaan (entrepreneurship center).

Ketiga, untuk masyarakat, menciptakan gerakan nasional pelatihan kewirausahaan baik oleh pemerintah maupun masyarakat untuk menjangkau masyarakat luas yang berada di luar bangku sekolah.

https://money.kompas.com/read/2022/08/02/093710026/menumbuhkan-pendidikan-kewirausahaan-di-masa-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke