Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menata Ulang Komunikasi Pemasaran untuk Konsumen Muslim

Yang cukup mengejutkan, Ogilvy Noor beroperasi di Dubai, Pakistan, Malaysia dan Inggris – bukan di Indonesia.

Padahal Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia (World Population Review, 2022).

Menurut Hasil Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Indonesia adalah 270.203.917 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2021). Dari jumlah tersebut sebanyak 86,88 persen beragama Islam (Kusnandar, 2021).

Dengan jumlah tersebut, maka ekonomi berbasis syariah memiliki potensi yang besar dalam kontribusinya pada ekonomi nasional.

Setelah reformasi, ‘gairah beragama’ umat Islam di Indonesia semakin terlihat dan nyata. Terlihat dengan semakin banyaknya atribut pemasaran dan kegiatan ekonomi yang berbasiskan syariah atau prinsip Islam.

Sebenarnya kebangkitan kelompok Islam di Indonesia telah lahir sejak awal tahun 1980-an. Namun di masa Orde Baru, gerakan kelompok ini sangatlah dibatasi dan diawasi.

Pengalaman sosio-historis inilah yang kemudian menyebabkan reformasi menjadi titik lontar gerakan kelompok Islam – ditandai dengan munculnya banyak partai politik berbasis Islam.

Yuswohadi (2014) menyebutkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir pasar Muslim di Indonesia telah mengalami revolusi dengan terjadinya pergeseran perilaku secara mendasar.

Dalam konteks global, Temporal (2011) juga mengatakan hal senada bahwa umat Muslim dunia akan memilih yang “halal” dan menghindari lawannya yang “haram”.

Dalam aktivitas komunikasi pemasaran, kelompok Islam inilah yang kemudian dikelola sebagai konsumen Muslim – yang memiliki ciri-ciri khusus dalam hal komunikasi dan juga media yang digunakan.

Jauh sebelum maraknya produk-produk syariah, Indonesia telah memulai konsep perekonomian Islam dengan mulai berdirinya bank syariah pertama di Indonesia, Bank Muamalat, pada 1 November 1991 Masehi atau 24 Rabiul Akhir 1412 Hijriah (Bank Muamalat, 2016).

Pendirian Bank Muamalat diinisiasi oleh Majelis Ulama Indonesia dan Pemerintah Indonesia.

Beroperasinya Bank Muamalat pada tahun 1992 menjadi sebuah jawaban awal atas kegelisahan umat Islam tentang masalah dan hukum riba dalam bunga perbankan konvensional.

Industri perbankan dianggap memainkan peranan penting sebagai fasilitator aktivitas ekonomi Islam dan ekosistem industri halal (BSI - Bank Syariah Indonesia, 2022).

Walaupun secara aset baru mencapai 5 persen dari total pasar perbankan, namun sejak tahun 1991 pertumbuhan bank syariah mencapai 40 persen setiap tahunnya – melebihi pertumbuhan perbankan konvensional yang masih di bawah 20 persen (Yuswohadi, Madyani, Herdiansyah, & Alim, 2014).

Sebelum di-merger menjadi BSI – Bank Syariah Indonesia pada tahun 2021, tercatat terdapat empat bank pemerintah yang berlabelkan syariah, yaitu Bank Mandiri Syariah, Bank BNI syariah, Bank BRI Syariah dan Bank Bukopin Syariah.

Kelahiran perbankan syariah tidak bisa dipungkiri menjadi pencetus menggeliatnya industri syariah di Indonesia.

Kehadiran perbankan syariah menjadi modal dan fondasi bagi pertumbuhan korporasi yang menghasilkan produk-produk syariah.

Saat sebuah produk syariah berkembang menjadi merek (brand) maka saat itulah diperlukan sebuah kajian tentang Islamic Branding – merek yang ditujukan untuk konsumen Muslim dan kegiatannya berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah.

Saat ini di Indonesia, secara nyata telah terdapat pasar substansial yang menginginkan produk, layanan, merek serta komunikasi yang berlandaskan syariat Islam.

Temporal (2011) menyebutkan bahwa siapapun yang masuk dalam pasar syariah haruslah memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dan ramah terhadap konsumen Muslim.

Pemasaran Islam dan komunikasi pemasaran Islam

Kartajaya dan Sula (2006) mengatakan bahwa pemasaran Islam (atau juga disebut dengan pemasaran syariah) merupakan sebuah disiplin bisnis tentang seluruh proses, mulai dari penciptaan, penawaran, hingga proses perubahan nilai (value) yang tidak boleh bertentangan dengan akan serta prinsip-prinsip muamalah yang Islami.

Kegiatan ini memiliki empat karakteristik, yaitu: (1) Teistis (rabbaniyyah); (2) Etis (akhlaqiyyah); (3) Realistis (al-waqiyyah); dan (4) Humanistis (insaniyyah).

Empat karakter tersebut juga harus diimplementasikan dalam bauran pemasaran (marketing mix) termasuk elemen promosi – yang kemudian berkembang dengan sebutan komunikasi pemasaran (marketing communications).

Dalam kegiatan pemasaran Islam, pada umumnya merek telah melakukan STP (Segmentasi – Targeting – Positioning) secara jelas.

Beberapa merek secara sabar membangun merek mereka melalui komunitas – sebuah proses membangun merek yang membutuhkan waktu panjang dan tenaga tidak sedikit.

Mereka masuk dalam komunitas tertentu, membangun komunikasi dengan anggotanya, sehingga mereka juga secara bertahap dapat dipercaya oleh pemimpin (pemuka agama) kelompok tersebut. Kerja keras ini kemudian berbuah menjadi loyalitas dan bahkan militansi.

Namun demikian, beberapa merek mengambil jalan pintas dengan membubuhkan label HALAL di belakang nama produk mereka, sebut saja menjadi jihab halal, diterjen halal, sampai dengan kulkas halal.

Pelabelan halal tersebut secara tidak langsung membuat konsumen berpikir, ‘Apakah produk lainnya tidak halal?”

Selain memang menyasar konsumen Muslim, pelabelan halal bertujuan menaikkan posisi tawar merek tersebut pada kategori sejenis.

Neng Dara Affiah, dosen sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengkritisi sertifikasi halal untuk produk-produk non makanan dan minuman sebagai bentuk kapitalisasi agama (Wijaya, 2019).

Secara nilai kapital, Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan Republik Indonesia) menyebutkan bahwa data Global Islamic Economy Report 2020/2021 yang menunjukkan nilai 2,02 triliun dollar AS pengeluaran konsumen Muslim Indonesia untuk tiga kategori: (1) Makanan dan minuman halal; (2) farmasi dan kosmetik halal; dan (3) pariwisata ramah Muslim dan gaya hidup halal (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2021).

Jika melihat berbagai fenomena di atas, muncul sebuah pertanyaan besar, bagaimana model komunikasi pemasaran yang tepat untuk konsumen muslim Indonesia?

Pertanyaan tersebut muncul dikarenakan saat ini, ekosistem industri halal baru menyentuh pada level konsep pemasaran Islam dan belum menyentuh kajian komunikasi pemasaran.

Bahkan dengan maraknya penggunaan media sosial, model komunikasi pemasaran tradisional yang awalnya didominasi oleh periklanan mulai berubah bentuk.

Untuk itulah dibutuhkan sebuah riset yang komprehensif yang dapat membuat pemodelan komunikasi pemasaran sesuai dengan karakterisik konsumen Muslim di Indonesia.

https://money.kompas.com/read/2022/08/24/063614126/menata-ulang-komunikasi-pemasaran-untuk-konsumen-muslim

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke