Oleh: Alifia Riski Monika dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Masih jelas terekam dalam ingatan kita saat inflasi Amerika Serikat menyentuh angka 9,1 persen. Nasib buruk yang menimpa negeri paman sam ini disebabkan permintaan yang tinggi.
Hal tersebut juga dipengaruhi oleh pengeluaran besar-besaran senilai lima triliun dolar untuk melindungi rumah tangga dan bisnis dari goncangan ekonomi akibat pandemi. Sayang, usahanya ini tak hanya berdampak bagi negaranya sendiri, melainkan juga negara lainnya.
Faktor-faktor penyebab inflasi lainnya juga dibahas Joice Tauris Santi, Certified Financial Planner dan Jurnalis Kompas.id, dalam siniar CUAN bertajuk “Apakah Kripto Alat Hedging Melawan Inflasi?” hanya di Spotify
Inflasi merupakan perubahan nilai tukar secara drastis. Inflasi terjadi karena banyaknya uang beredar di masyarakat tak diimbangi dengan kemampuan membeli dan ketersediaan barangnya.
Badan Pusat Statistika mencatat, jika harga barang dan jasa di dalam negeri meningkat, inflasi mengalami kenaikan. Inflasi juga bisa diartikan sebagai penurunan nilai uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum.
“Apakah inflasi buruk? Nggak juga, inflasi biasa-biasa saja (karena) merupakan pendorong ekonomi supaya bisa berkembang,” ujar Joice.
Beberapa minggu yang lalu, dunia dihebohkan oleh lonjakan inflasi yang dialami oleh Amerika Serikat. Negara adidaya tersebut memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian negara lain.
“Faktor yang membuat suatu negara terjadi inflasi adalah permintaan yang tinggi tapi supply nya rendah. Contoh pas lebaran. Kelapa butuh banyak, cuma yang menyuplai jumlahnya sedikit. Tidak seimbang penawaran dan permintaan. Biaya produksinya juga nggak nutup. Dampaknya inflasi tinggi, penurunan daya beli,” jelas Joice.
Meskipun begitu, inflasi tak berpengaruh pada harga Bitcoin. Itu sebabnya, banyak investor aset digital yang mulai beralih ke bitcoin sebagai alat lindung (hedging) nilai terhadap inflasi.
Joice mangatakan inflasi membuat orang mencari alat tukar uang yang nilainya meningkat, contohnya Bitcoin. Inflasi juga bisa memengaruhi keputusan investor saat melakukan investasi.
“Misal, dapet cuan setahun lima persen tapi inflasi tujuh persen, berarti kita nggak cuan, rugi dua persen. Kita butuh cuannya itu seapes-apesnya sama dengan inflasi,” ujarnya.
Bisakah Kripto Melawan Inflasi?
Joice menuturkan jika kripto bisa saja menjadi salah satu alat melawan inflasi. Hanya saja, kita harus cermat akan aset kripto seperti apa yang bisa mengalahkan inflasi.
Sebelum itu, cari tahu terlebih dahulu pengembalian jangka panjangnya.
Aset yang memiliki daya beli jangka panjang juga harus memiliki nilai yang bertambah dan stabil. Salah satu dampak inflasi adalah kelangkaan aset karena permintaan yang tinggi tak diimbangi dengan ketersediaan barang.
Aset kripto yang memenuhi faktor kelangkaan, akses, dan daya tahan jual, salah satunya adalah bitcoin.
“Aset kripto kan banyak banget, jadi harus benar-benar menyeleksi mana yang bisa dijadikan alat hedging. Kalo udah punya, tentu bisa menjadi alat melawan inflasi,” tutur Joice.
Investasi pada fase fluktuasi tinggi harus diimbangi dengan horizon jangka panjang. Ketika nilainya turun, kita masih punya waktu untuk memulihkannya. Joice juga berpesan jika jangan terburu-buru dalam investasi.
“Jangan lupa pake uang dingin, biar nggak pusing,” tutupnya.
Simak obrolan bersama Joice Tauris Santi, Certified Financial Planner dan Jurnalis Kompas.id dalam siniar Cari Untung Bareng Teman (CUAN) episode “Apakah Kripto Alat Hedging Melawan Inflasi?” hanya di Spotify.
https://money.kompas.com/read/2022/08/24/160000126/kripto-dan-bayang-bayang-inflasi