Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masalah BBM dan Ancaman Stagflasi

Sinyal kenaikan harga BBM terdengar dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat dengar pendapat dengan DPR, Selasa (22/8/22).

"Bapak Presiden sudah beberapa kali di berbagai kesempatan meminta kami di Kemenkeu untuk menghitung terus, seperti jumlah subsidi kemarin ya, terutama dua yang penting. Sebetulnya ada empat, yaitu pertalite, solar, LPG 3 kg dan listrik," kata Sri Mulyani.

Tiga alasan mendasar

Ditengarai ada tiga hal pokok yang membuat pemerintah merancang keputusan menaikkan harga BBM.

Pertama, harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia crude price (ICP) yang masih tinggi.

Harga rata-rata minyak mentah utama pada Juli 2022 dibandingkan Juni 2022 mengalami penurunan dipicu karena produksi minyak mentah global yang meningkat rata-rata 1,32 juta bopd menjadi 99,82 juta bopd pada Juni 2022.

Namun, menurut Pertamina, meski harga minyak mentah global bersifat fluktuatif, tetapi di Indonesia, saat ini, harganya masih cenderung tinggi.

Berdasarkan catatan Pertamina pula, harga rata-rata ICP per Juli 2022 berada di kisaran 106,73 dollar AS per barel atau lebih tinggi 24 persen daripada bulan Januari 2022.

Kendati demikian, Pertamina memastikan, 95 persen dari porsi BBM nasional seperti Pertamax, Pertalite dan Solar tidak ikut mengalami penyesuaian harga.

Sebab harga BBM komersial jenis Pertamina Dex, Dexlite dan Pertamax Turbo masih relatif kompetitif setelah dilakukan penyesuaian harga pada beberapa waktu lalu.

Kedua, tekanan pasar global dan negara-negara produsen. Saat ini hampir lebih dari 50 persen pasokan minyak dunia berada di Timur Tengah dan berpusat di 5 negara, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait dan Qatar.

Negara-negara tersebut cenderung diwarnai oleh tensi geopolitik yang tinggi, pasar global khawatir suplai minyak akan berkurang.

Namun, tak dapat pungkiri perang di Ukraina terus berdampak pada harga minyak mentah global. Invasi Rusia ke Ukraina telah meningkatkan volatilitas pasar minyak global.

Pada awal invasi Rusia ke Ukraina, harga minyak mentah menembus 130 dollar AS per barel pada Maret 2022, tertinggi sejak 2008.

Walau sempat turun menjadi sekitar 100 dollar AS per barel pada April, tetapi harganya naik lagi melampaui 100 dollar AS per barel menyusul kebijakan parsial Uni Eropa (UE) melarang impor minyak Rusia pada bulan Mei.

Sementara banyak lembaga, termasuk Bank Pembangunan Asia, memproyeksikan harga minyak yang jauh lebih tinggi pada 2022, dibandingkan dengan 2021.

Memang, Arab Saudi baru-baru ini setuju untuk meningkatkan pasokan sebesar 200.000 barel per hari, tetapi produsen minyak AS enggan untuk meningkatkan produksi.

Sementara minyak dari Rusia sulit disalurkan ke berbagai negara karena gangguan rantai pasokan dan kenaikan biaya akibat perang yang sedang berkecamuk.

Satu faktor lain yang memengaruhi harga minyak adalah penguatan dolar AS yang mencapai level tertinggi lima minggu terakhir.

Pada satu sisi, tentu saja penguatan dollar AS bisa membatasi kenaikan harga minyak mentah ke titik yang lebih tinggi lagi. Namun, hal itu membuat minyak menjadi lebih mahal bagi pembeli dalam mata uang lain, seperti dalam Rupiah Indonesia.

Dan, alasan pokok yang ketiga adalah faktor internal, yaitu gelembung anggaran subsidi BBM yang nyaris ‘pecah’.

Pemenerintah sepertinya sedang memikul beban subsidi BBM yang nyaris melampuai batas. Pasalnya, saat ini pemerintah harus membayarkan hingga Rp 502 triliun untuk memberikan subsidi BBM dan kompensasi energi bagi masyarakat.

Jika subsidi BBM bisa dipangkas, maka akan dana tersedia untuk menguatkan sektor pendidikan dan kesehatan, membangun infastruktur dan industri sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi, sekaligus memperluas lapangan pekerjaan.

Dampak potensial kenaikan BBM

Hari-hari belakangan ini niat pemerintah menaikkan harga BBM subsidi menjadi sorotan warga. Mereka menilai hal itu akan berdampak pada daya beli rumah tangga atau indeks harga konsumen (IHK), yang pada giliranya dapat melemahkan kondisi perekonomian nasional.

Apalagi masyarakat bawah, selama beberapa bulan terakhir sudah mengalami lonjakan harga bahan pangan karena berbagai alasan. Per Juli 2022, misalnya, inflasi bahan pangan hampir menyentuh 11 persen.

Bahkan, sejumlah ekonom memprediksi andaikata harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan mengurangi belanja konsumtif.

Padahal, selama semester pertama 2022, konsumsi rumah tangga tercatat sebagai motor pertumbuhan ekonomi.

Dampak lanjutannya adalah permintaan di sektor industri manufaktur bisa terpuruk dan serapan tenaga kerja bisa terganggu.

Ancaman bahaya stagflasi

Dengan asumsi seperti di atas, sejumlah ekonom mengatakan bahwa kenaikan harga BBM berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam bahaya stagflasi.

Ekonom yang tergabung dalam tim Investiopedia menyebut stagflasi sebagai siklus ekonomi ditandai dengan pertumbuhan yang lambat dan tingkat pengangguran tinggi disertai dengan inflasi melesat naik.

Menurut mereka, biasanya pembuat kebijakan ekonomi menemukan bahwa kombinasi yang disebut stagflasi itu sangat sulit untuk ditangani, karena upaya untuk memperbaiki salah satu faktor dapat memperburuk faktor lainnya.

Dalam sejarah, stagflasi pernah dianggap mustahil oleh para ekonom. Namun, pada kenyataannya, stagflasi telah berulang kali terjadi di negara maju, seperti Amerika Serikat, sejak krisis minyak tahun 1970-an.

Bahkan, pada pertengahan 2022 ini, banyak ekonom yang mengatakan bahwa Amerika Serikat mungkin akan segera mengalaminya, setidaknya untuk waktu yang singkat.

Kita memang berharap bahwa ancaman stagflasi tidak sampai menimpa Indonesia juga. Namun, kita tak dapat menutup mata bahwa ancaman itu sudah benar-benar ada di hadapan kita, paling tidak dari sisi inflasi.

Sebab Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa inflasi Indonesia selama periode April hingga Juli 2022 berada di atas 3,40 persen, di mana Juli (4,94 persen), Juni (4,35 persen), Mei (3,55 persen) dan April (3,47 persen).

Angka tersebut jauh lebih tinggi dari periode April hingga Juli 2021 dimana Juli (1,52 persen), Juni (1,33), Mei (1,68 persen) dan April (1,42 persen).

Tingkat inflasi Juli 2022 merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2015. Ini mencerminkan betapa telah terjadi lonjakan harga bahan makanan, bahan bakar rumah tangga dan tiket pesawat, serta kenaikan beberapa tarif listrik.

Oleh karena itu, sambil mengacu ke tren harga BBM sekarang, para analis memproyeksi bahwa inflasi Indonesia untuk kuartal ketiga dan keempat akan berkisar antara 5 dan 5,15 persen.

Dari sisi angka pengangguran ancaman memang belum cukup kentara. Sebab, menurut data BPS, penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, naik sebanyak 4,55 juta orang dari Februari 2021.

Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar adalah Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (0,37 persen poin).

Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan terbesar, yaitu Sektor Jasa Lainnya (0,51 persen poin).

Sebanyak 81,33 juta orang (59,97 persen) bekerja pada kegiatan informal, naik 0,35 persen poin dibanding Februari 2021.

Persentase setengah pengangguran turun 0,85 persen poin, sementara persentase pekerja paruh waktu turun sebesar 0,15 persen poin dibandingkan Februari 2021.

Jumlah pekerja komuter pada Februari 2022 sebanyak 7,07 juta orang, jumlah pekerja komuter terus mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2022 sebesar 5,83 persen, turun sebesar 0,43 persen poin dibandingkan dengan Februari 2021.

Terdapat 11,53 juta orang (5,53 persen) penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19. Terdiri dari pengangguran karena COVID-19 (0,96 juta orang), Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena COVID-19 (0,55 juta orang).

Sementara tidak bekerja karena COVID-19 (0,58 juta orang) dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 (9,44 juta orang).

Mengenai pertumbuhan ekonomi, Asian Development Outlook (ADO) 2022 menyebutkan bahwa perkiraan 2022 untuk Asia Tenggara sedikit ditingkatkan dari 4,9 persen menjadi 5,0 persen karena permintaan domestik diuntungkan dari pencabutan pembatasan mobilitas COVID-19 yang berkelanjutan dan pembukaan kembali perbatasan di beberapa ekonomi di subkawasan.

ADO secara khusus menyebutkan bahwa PDB Indonesia diperkirakan bertumbuh sebesar 5,0 persen pada tahun 2022 dan 5,2 persen pada tahun 2023.

Jadi, berdasarkan data-data di atas, pada satu sisi kita dapat menyimpulkan bahwa ada potensi ancaman stagflasi. Namun, pada sisi lain, ada potensi juga bahwa Indonesia dapat mencegahnya terjadi.

Optimisme tersebut muncul dari tekad dan kisaran target Bank Indonesia (BI) untuk inflasi headline (indeks harga konsumen/IHK) adalah 2 hingga 4 persen.

Namun BI menyatakan preferensi untuk menentukan laju pengetatan moneter dengan melihat tingkat inflasi inti yang berada di bawah perkiraan BI, yaitu 2,99 persen.

Meski IHK sedikit di atas prediksi, yaitu (4,94 persen), pasokan pangan hingga akhir tahun diperkirakan akan meningkat dan inflasi pangan akan mereda.

Belajar dari pengalaman Amerika Serikat, misalnya, pemerintah tampaknya sepakat bahwa stagflasi dapat dicegah melalui kebijakan suku bunga BI.

Namun BI sudah beriktiar bahwa kebijakan suku bunga tidak dilakukan mengacu ke IHK melainkan didasarkan pada inflasi inti dan pertumbuhan ekonomi.

Terlepas dari apa pun kebijakan moneter yang akan diambil pemerintah, sebagai warga negara, kita juga diharapkan ikut ambil bagian dari solusi dari masalah BBM yang sedang terjadi.

Artinya, selain menaruh harapan dan mendesak pemerintah untuk berhati-hati membuat keputusan berkenaan dengan BBM, kita pun perlu membiasakan diri untuk menghemat penggunaan BBM, dan ikut mengembangkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), baik secara personal, mapun dalam komunitas masing-masing.

Dengan demikian, setiap kita telah menjadi bagian dari solusi atas krisis BBM sekaligus peredam ancaman inflasi atau pun stagflasi yang membututinya. 

https://money.kompas.com/read/2022/08/25/164336426/masalah-bbm-dan-ancaman-stagflasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke