Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Harga Tiket Pesawat Naik, Apa Kabar Rencana Liberalisasi Penerbangan di ASEAN?

Erick menyatakan, penambahan jumlah pesawat diharapkan dapat menekan harga tiket pesawat komersial. Naiknya harga tiket pesawat selain merugikan masyarakat juga berkontribusi terhadap laju inflasi nasional yang mencapai 4,94 persen secara tahunan hingga Juli 2022.

Karena itu Presiden Jokowi, kata Erik Thohir, meminta agar armada Garuda ditambah. Walau Jokowi  juga mengatakan... “tidak mudah (bisa turunkan harga tiket dengan menambah pesawat) karena harga avtur internasional masih tinggi.” (money.kompas.com, 25 Agustus 2022).

Keputusan untuk menambah armada Garuda bukan tanpa kritik dan keraguan. Saya sendiri berpendapat, menambah armada di tengah kesulitan keuangan perusahaan dan tingginya harga avtur internasional bukan sebuah kebijakan yang tepat.

Logika pemerintah yang menyatakan bahwa dengan menambah armada, Garuda dapat menekan harga tiket komersial, menurut saya juga kurang tepat.

Faktanya, maskapai penerbangan di Indonesia yang mengalami masalah keuangan kronis karena dampak pagebluk Covid-19 hanya Garuda Indonesia. Maskapai di bawah naungan Lion Air Group, misalnya, tidak mengalami masalah serupa.

Kurangnya jumlah pesawat Garuda juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rute penerbangan di Tanah Air. Namun anehnya, harga tiket maskapai selain Garuda juga melambung tinggi.

Dari sini kita dapat berasumsi, bertambah atau tidaknya armada Garuda tidak akan berpengaruh terhadap turunnya harga tiket pesawat secara signifikan.

Harga avtur naik

Naiknya harga avtur internasional, menurut saya, mungkin saja menjadi sebab melonjaknya harga tiket pesawat di dalam negeri. Jika memang tingginya harga avtur internasional menjadi penyebab naiknya harga tiket pesawat, maka rencana penambahan jumlah pesawat Garuda bukanlah formula yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.

Jika kita membandingkan tiket penerbangan internasional dari Jakarta ke Singapura bulan September 2022, Garuda Indonesia menawarkan harga tiket sekali jalan dengan layanan penerbangan langsung kelas ekonomi mulai dari Rp 7 juta.

Sementara maskapai Malaysia Airlines, dengan rute yang sama tetapi harus transit di Kuala Lumpur, menawarkan harga tiket mulai dari Rp 1,5 juta.

KLM, maskapai asal Belanda, bahkan menawarkan harga tiket mulai dari Rp 3 juta, untuk rute yang sama tanpa transit.

Artinya, argumen pemerintah yang menghubungkan tingginya harga tiket pesawat di dalam negeri dengan tingginya harga avtur internasional kurang memiliki relevansi. Boleh jadi, ini merupakan praktik monopoli oleh kelompok tertentu yang hanya fokus menggeruk keuntungan di tengah sulitnya ekonomi masyarakat.

Liberalisasi penerbangan

Jika kita sepakat bahwa naiknya harga tiket pesawat di dalam negeri disebabkan, salah satunya, karena kurangnya armada Garuda Indonesia, maka menghidupkan kembali rencana ratifikasi liberalisasi penerbangan di ASEAN bisa menjadi salah satu alternatif solusi.

Liberalisasi penerbangan di ASEAN merupakan rencana kebijakan yang ramai diperbincangkan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Indonesia dan negara anggota ASEAN disibukkan dengan rencana pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015.

Dalam MEA, salah satu bidang liberalisasi adalah sektor penerbangan. Liberalisasi ini disebut sebagai ASEAN Open Sky Policy (AOSP). Dalam AOSP, terdapat beberapa tahapan menuju liberalisasi penerbangan sempurna yang disebut asas cabotage.

Asas cabotage mengatur pesawat asing yang tergabung dalam AOSP diberi hak melakukan angkutan udara niaga domestik di bandara yang telah ditentukan oleh otoritas setempat di negara mitra dan kembali ke negara asal pesawat.

Kementerian Perhubungan Indonesia di era SBY telah menentukan lima bandara yang diperuntukan buat AOSP yaitu Bandara Soekearno-Hatta (Jakarta), Bandara Sultan Hasanudin (Maros), Bandara Juanda (Surabaya), Bandara I Gusti Ngurah Rai (Bali), dan Bandara Kuala Namu (Medan).

Sedangkan Malaysia hanya menentukan dua bandara, yakni Kuala Lumpur International Airport (Kuala Lumpur) dan Penang International Airport (Penang).

Dalam skema implementasinya, maskapai asing ditunjuk negara mitra, misalnya pemerintah Malaysia menunjuk Malaysia Airlines, dan pemerintah Singapura menunjuk Singapore Airlines. Maka, dua maskapai ini dapat melakukan penerbangan domestik di wilayah Indonesia. Contohnya, penerbangan dari Jakarta ke Bali, dan dari Bali ke Maros, dan seterusnya.

Sama halnya dengan maskapai yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia, misalnya Garuda Indonesia dan Lion Air dapat melakukan penerbangan domestik dari Kuala Lumpur ke Penang, dan sebaliknya.

Asas cabotage AOSP tidak diratifikasi

Asas cabotage AOSP tidak diratifikasi rezim SBY demi melindungi pasar dalam negeri dari ekspansi maskapai asing. Kala itu, di era SBY, industri aviasi sedang berada pada masa kejayaan. Pertumbuhan penumpang pesawat udara sangat signifikan.

Pada tahun 1996, misalnya, sebelum krisis ekonomi Asia melanda Indonesia, penumpang pesawat udara hanya mencapai 13,5 juta, sedangkan pada tahun 2010 melonjak menjadi 31 juta orang. 

Pada era itu terdapat 73 perusahaan penerbangan. Tiga belas di antaranya perusahaan niaga berjadwal, sisanya tidak berjadwal dan kargo.

Oleh karenanya wajar jika pemerintah SBY tidak meratifikasi kebijakan itu guna mengamankan pasar dalam negeri.

Bagaimana dengan situasi sekarang? Jika memang penyebab naiknya harga tiket dalam negeri karena kurangnya armada Garuda Indonesia, maka opsi meratifikasi asas cabotage bisa menjadi salah satu alternatif.

Dengan banyaknya pilihan yang dimiliki masyarakat, saya yakin, Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group akan berpikir berulang kali untuk menaikan harga tiket penerbangan domestik.

Maskapai sekelas Malaysia Airlines saja (bintang 4 versi Skytrax) rela menawarkan harga murah untuk penumpang dari Indonesia ke Singapura.

Bayangkan jika Malaysia Airlines melakukan angkutan penerbangan dari Jakarta ke Bali dengan harga setengah dari harga pasaran sekarang, yakni sekitar Rp 500.000, kita dapat pastikan masyarakat akan berbondong-bondong memilih Malaysia Airlines, dan industri pariwisata di Bali akan berterima kasih kepada Malaysia Airlines.

Keputusan meratifikasi atau menolak asas cabotage AOSP sepenuhnya berada di tangan pemerintah atas masukan berbagai pihak.

Jika pemerintah ingin menekan harga tiket pesawat maka opsi AOSP bisa menjadi salah satu solusi, dan penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp 7,5 triliun untuk Garuda lebih baik dialihkan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau telur ayam yang naik tertinggi sepanjang sejarah.

https://money.kompas.com/read/2022/08/27/150425626/harga-tiket-pesawat-naik-apa-kabar-rencana-liberalisasi-penerbangan-di-asean

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke