Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berapa Harga Asli Pertalite hingga Elpiji Tanpa Disubsidi?

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah telah mengalokasikan anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 triliun untuk sepanjang 2022, yang mencakup bahan bakar minyak (BBM), elpiji, dan listrik. Subsidi diberikan untuk menahan kenaikan harga di tengah lonjakan harga komoditas energi global.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengungkapkan hitungan harga keekonomian atau harga pasar dari BBM dan elpiji jika tidak disubsidi pemerintah. Penghitungan ini berdasarkan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) yang kini sebesar 105 dollar AS per barrel dan kurs Rp 14.750 per dollar AS.

Untuk harga asli Pertalite atau harga keekonomiannya yakni sebesar Rp 14.450 per liter, namun harga jualnya saat ini hanya sebesar Rp 7.650 per liter. Itu artinya pemerintah harus menanggung selisih biaya Rp 6.800 untuk setiap liter Pertalite.

Sementara pada BBM jenis Solar, harga keekonomiannya saat ini yaitu sebesar Rp 13.950 per liter, tetapi harga jual hanya dipatok sebesar Rp 5.150 per liter. Maka pemerintah harus menyubsidi Rp 8.800 untuk setiap liter Solar.

"Artinya masyarakat dan seluruh perekonomian mendapatkan subsidi 63,1 persen dari harga keekonomiannya (untuk Solar), dan 47,1 persen dari harga keekonomiannya (untuk Pertalite)," ungkapnya dalam dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jumat (26/8/2022) lalu.

Di sisi lain, elpiji 3 kilogram (kg) menjadi komoditas energi yang paling besar disubsidi oleh pemerintah. Harga keekonomian dari elpiji yakni Rp 18.500 per kilogram, namun harga jual yang ditetapkan ke masyarakat hanya sebesar Rp 4.250 per kilogram.

Pemerintah pun menanggung selisih Rp 14.250 untuk setiap kilogram elpiji, atau 77 persen dari harga keekonomian elpiji. Itu artinya, secara total pemerintah menyubsidi Rp 42.750 untuk setiap tabung elpiji 3 kilogram.

"Jadi kalau setiap kali beli Elpiji 3 kilogram, itu mereka mendapatkan subsidi sebesar Rp 42.750," ucap Sri Mulyani.

Bendahara Negara itu pun mengungkapkan, BBM jenis Pertamax yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke atas turut mendapatkan subsidi dari pemerintah. Padahal Pertamax bukan merupakan jenis BBM bersubdisi seperti Pertalite dan Solar.

Menurutnya, subsidi pada Pertamax diberikan karena adanya lonjakan harga minyak mentah melampaui proyeksi APBN 2022. Berdasarkan asumsi APBN yang telah ditetapkan dalam Perpres 98 Tahun 2022, harga rata-rata ICP sebesar 100 dollar AS per barrel, namun realisasinya kini mencapai 105 dollar AS per barrel.

Seiring pula dengan kurs rupiah yang melemah terhadap dollar AS, maka harga keekonomian Pertamax sebesar Rp 17.300 per liter. Namun, saat ini harga jual eceran yang digunakan Pertamina untuk Pertamax hanya sebesar Rp 12.500 per liter.

Artinya ada selisih harga sebesar Rp 4.800 per liter yang ditanggung pemerintah untuk mencegah kenaikan yang tinggi pada Pertamax. Adapun nilai subsidi itu setara 27,7 persen dari harga keekonomian Pertamax.

"Pertamax sekalipun yang di konsumsi oleh mobil-mobil yang biasanya bagus, berarti yang pemiliknya juga mampu, itu setiap liternya mendapat subsidi Rp 4.800," ungkap Sri Mulyani.

Sayangnya, lanjut dia, BBM untuk jenis Pertalite dan Solar, serta Elpiji 3 kilogram yang disubsidi pemerintah dengan sasaran untuk orang miskin, malah lebih malah banyak dinikmati oleh orang kaya.

Konsumsi BBM dan elpiji bersubsidi yang tidak tepat sasaran itu, pada akhirnya akan membuat kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin semakin melebar.

Ia menjelaskan, dengan kuota Pertalite yang ditetapkan sebanyak 23,05 juta KL senilai Rp 93,5 triliun, ternyata 80 persen dinikmati oleh rumah tangga kelas menengah ke atas alias orang kaya. Sementara masyarakat miskin yang berhak menerima subsidi hanya mengonsumsi 20 persennya saja.

Sedangkan pada Solar yang ditetapkan kuotanya sebanyak 15,1 juta kiloliter (KL) di 2022 dengan nilai Rp 149 triliun, adapun konsumennya terdiri dari 89 persen dunia usaha dan 11 persen oleh kelompok rumah tangga.

Namun, ternyata dari konsumen kelompok rumah tangga itu, 95 persen di antaranya merupakan kelompok rumah tangga kelas menengah ke atas. Artinya, hanya 5 persen atau sekitar 0,1 juta KL yang dinikmati oleh orang miskin.

Begitu pula pada Elpiji 3 kilogram, yang 68 persen konsumsinya dinikmati oleh kelompok rumah tangga mampu, sedangkan kelompok 40 persen rumah tangga terbawah atau orang miskin hanya mengonsumsi 32 persennya.

"Subisidi ratusan triliun ini sasarannya malah kelompok yang relatif mampu, ini berarti kita mungkin akan menciptakan kesenjangan yang semakin lebar dengan subsidi ini, karena yang mampu menikmati subsidi ratusan triliun, sedangkan yang tidak mampu tidak (sepenuhnya) menikmati," jelas dia.

Menurut Sri Mulyani, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan untuk bisa menjaga kesehatan APBN dan mendorong subsidi yang tepat sasaran. Terlebih ketidakpastian global diperkirakan masih berlanjut di tahun depan, sehingga perlu untuk menjaga APBN dalam menjalankan fungsinya sebagai shock absorber.

"Semua perlu gotong royong, kelompok masyarakat yang relatif mampu mungkin bisa kontribusi lebih baik dan banyak dibandingkan masyarakat yang tidak mampu, yang seharusnya dilindungi dengan berbagai instrumen dari mulai bansos hingga subsidi yang tepat sasaran," pungkasnya.

https://money.kompas.com/read/2022/08/28/091000726/berapa-harga-asli-pertalite-hingga-elpiji-tanpa-disubsidi-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke