Secara bertahap Badan Anggaran (Banggar) DPR berharap pemerintah melanjutkan reformasi subsidi terhadap elpiji (LPG) tiga kilogram dan listrik. Perlahan kita dorong kebijakan subsidi harus berorientasi kepada orang, bukan komoditas.
Dengan melakukan reformasi energi yang berkelanjutan kita harapkan kemampuan APBN makin solid menghadapi tekanan eksternal, tetapi efektif memberikan perlindungan bagi rumah tangga miskin.
Kenapa hal ini perlu kita lakukan? Bertahun tahun kita menjalankan kebijakan energi yang mismatch antara potensi, produksi dan konsumsi energi. Sejak 1997 produksi energi fosil Indonesia telah decline. Akibatnya Indonesia beralih posisi dari pengekspor energi menjadi negara importir energi.
Alih-alih menyegerakan transformasi energi, berposisi sebagai negara importir energi rupanya menjadi lumbung menumpuk cuan bagi segenap kroni politik. Saking kuatnya warisan kroni politik ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap dibuat berang. Sebab, upaya mempercepat pembangunan refinery tak kunjung menunjukkan kemajuan berarti.
Sebagian besar refinery kita “angkatan 70-an” dengan teknologi tua, dan kemampuan terbatas.
Kita juga masih mengandalkan sumur-sumur tua di hulu migas, akibatnya kapasitas produksi terus menurun. Untuk memproduksi 650 ribu barel per hari saja sudah megap-megap.
Padahal konsumsi minyak kita tiap hari mencapai 1,4 sampai 1,5 juta barel, dan kapasitas refinery kita maksimal di 1 juta barel per hari. Atas tatanan produksi dan konsumsi seperti ini, kebutuhan terhadap impor minyak bumi tidak terhindarkan.
Terus menerus impor minyak bumi membuahkan masalah lain; necara transaksi berjalan (current account) kita konsisten defisit, apalagi jika ada peningkatan tekanan terhadap kurs. Resiko eksternal akan terus membayangi di masa mendatang.
Jika tidak berubah, kita akan menaikkan lagi harga BBM subsidi seperti yang dialami saat ini. Ujungnya kita dibuat repot sendiri untuk mengendalikan inflasi akibat kenaikan harga BBM.
Tabiat yang terus burn full carbon energy meningkatkan kerentanan terhadap bencana iklim. Kita mengalami kecenderungan peningkatan bencana hidrometeorologi.
Dampak peningkatan bencana hidrometeorologi menyebabkan terganggunya produksi bahan pangan. Gagal panen akan membuat kita berurusan dengan inflasi tinggi. Akhirnya kita mengandalkan impor bahan pangan untuk menutup kekurangan pasokan.
Harusnya kita juga paham, oil policy di panggung internasional sangat politis. Karena menjadi komoditas politik, kebijakan soal oil energy bergantung pada kepentingan OPEC+, serta aliansi aliansi pakta pertahanan pasca cold war.
Buktinya saat ini OPEC+ menikmati oil booming, dan enggan meningkatkan kapasitas produksinya karena mereka dapat durian runtuh (windfall profit). Makin lama Perang Rusia dan Ukraina, makin lama pula rejeki nomplok mereka terima. Sementara kita menerima segala konsekuensinya karena mengandalkan minyak bumi sebagai penggerak utama energi domestik.
Konversi energi
Sesungguhnya kita di karuniai kelimpahan energi yang sangat besar. Potensi energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia begitu melimpah ruah. Butuh komitmen politik yang kuat dan dukungan teknologi yang cukup agar bisa mengubah Indonesia menjadi kekuatan pengimpor energi dunia.
Negara-negara Teluk bisa kaya raya karena mereka surplus minyak. Kita surplus batu bara, tetapi tidak memanfaatkan basis energi itu kita sejak tanda tanda oil decline. Namun era batu bara tidak bisa bertahan lama, sungguh disayangkan kita melewatkan waktu atas hal ini.
Agar kita bisa segera keluar dari jebakan energi fosil, kita perlu cermat melihat porsi konsumsi energi kita selama ini. Sektor transportasi mendominasi konsumsi energi kita sebanyak 46 persen, dibuntuti sektor industri yang mengambil 31 persen konsumsi energi, dan rumah tangga 17 persen.
Mayoritas pasokan energi bertumpu pada oil energy, selain listrik yang dipasok dari batu bara untuk menghidupkan pembangkit listrik.
Seharusnya di akhir era oil decline, transportasi dan industri kita dorong bersama menuju konsumsi berbasis listrik, termasuk juga program konversi energi untuk rumah tangga.
Lucunya, program konversi energi rumah tangga tidak ke listrik atau gas alam, malah ke elpiji yang bahan bakunya tetap minyak bumi. Harus kita akui, kita salah kebijakan pada masa lalu, dan menjadi pelajaran untuk segera memutar haluan.
Sesegera mungkin seluruh moda transportasi, industri, dan rumah tangga harus berkiblat ke listrik. Terlebih PLN memiliki kapasitas produksi yang cukup besar sejalan dengan program 35.000 megawatt.
Dewan Energi Nasional, Kementerian ESDM, Pertamina, PLN dan seluruh pabrikan harus berani mengambil langkah konkret. Bila haluan ini bisa kita tempuh lebih cepat, kecanduan kita terhadap minyak bumi akan turun drastis.
Era transportasi listrik sesungguhnya bukan hal baru. Saat Perang Dunia II berlangsung terjadi krisis BBM, pada tahun 1941 perusahaan Socovel dari Austria telah mampu memproduksi motor kecil digerakkan listrik.
Bahkan tahun 1974, Mike Corbin mampu membuat kendaraan listrik dengan kecepatan di atas 160 km/jam. Tahun 1995 Indonesia telah mampu membuat pesawat terbang N 250, seharusnya pula mampu menciptakan moda berbasis transportasi listrik, sehingga era oil decline tahun 1997 tidak perlu membuat kita cemas.
Seorang pejabat di pemerintahan memberikan hitung-hitungan investasi sekitar Rp 100 triliun untuk menjalankan program mobil, motor, dan kompor litrik. Artinya hanya seperlima dari anggaran subsidi dan kompensasi energi yang kita habiskan di tahun 2022 jika pemerintah tidak mengubah skema subsidi BBM.
Skema ini jauh lebih murah dan menguntungkan, ketimbang kita tiap tahun "membakar" ratusan triliun rupiah karena kecanduan oil energy.
Pada sisi supplier, PLN harus perlahan beralih konsumsi energinya dari batu bara ke energi baru dan terbarukan (EBT). Kita menyambut baik kebijakan pemerintah untuk tidak memberikan izin proyek pembangkit listrik tenaga uap baru pasca tahun 2025.
Langkah ini sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris. Transisi tiga tahun ini harus dipersiapkan oleh seluruh pihak, khususnya perbankan, perusahaan engineering, procurement dan kontruksi untuk segera beralih haluan.
Agar segera terjadi peralihan pola konsumsi dari oil ke listrik, maka tarif listrik harus lebih murah. PLN harus mengembangkan teknologi baru dan terbarukan.
Sekali lagi, pejabat pemerintah tadi memberi estimasi hitung-hitungan biaya investasi energi fosil dan EBT ternyata jauh lebih murah EBT. Cost per megawatt listrik jika menggunakan basis BBM membutuhkan 15-16 cent dolar, gas 9-10 cent, batu bara 5-6 cent, dan hidro 3-4 cent. Kita juga masih punya kekayaan energi dari tenaga surya, gelombang laut, angin yang melimpah.
Ke depan, sebagai wujud komitmen haluan baru kebijakan energi kita, Badan Anggaran DPR berjanji memberikan dukungan penganggaran penuh kepada pemerintah menempuh jalan ini. Langkah strategis ini harus kita kokohkan tanpa keraguan sedikitpun.
Betapa bahagianya kita memberi manfaat bagi segenap rakyat. APBN kuat, lingkungan sehat, energinya hebat, dan rakyatnya selamat.
https://money.kompas.com/read/2022/09/07/111427726/keluar-dari-jebakan-energi-fosil