Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Compassionate Leadership: Gaya Kepemimpinan Penuh Cinta

Kita semua tahu bahwa empati adalah soft skill penting di abad ini, tetapi ia punya dua kelemahan mendasar: empati berhenti di pikiran dan seseorang hanya merasakan empati pada peer group-nya saja.

Sedangkan compassion lebih kepada aksi nyata untuk membantu orang lain, terlepas dari apakah seseorang kenal dekat atau tidak. Saya akan menggunakan dua kata ini secara bergantian dalam keseluruhan artikel.

Compassionate Leadership merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk memberikan perhatian lebih kepada orang di sekitarnya, memiliki empati untuk memberikan hal terbaik bagi tim, rekan kerja dan perusahaan. Gaya kepemimpinan yang mementingkan berharganya setiap anggota tim.

Apa kaitannya dengan kepemimpinan, khususnya jika kita kaitkan dengan angkatan kerja anak muda?

Pada tahun 2019, sebuah riset yang berjudul Workplace Empathy Study menemukan bahwa 90 persen karyawan percaya empati sangat vital dan 8 dari 10 karyawan akan pergi dari perusahaan yang pemimpinnya kurang empati.

Kemudian tibalah pandemi, yang membuat compassion menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya.

Empati hanyalah perasaan awal, tetapi perasaan itu bisa menjadi bekal penting untuk melakukan tindakan.

Jeff Weiner, mantan CEO LinkedIn memformulasikan compassion dalam rumus: empati + tindakan. Compassion berarti bagaimana seorang pemimpin mengambil tindakan berdasarkan perasaan empati.

Kegelisahan tanpa tindakan hanya seperti orang yang berbicara tanpa substansi. Jeff Weiner menekankan betapa pentingnya compassion dalam kepemimpinan.

“I can tell you with absolute conviction that managing compassionately is not just a better way to build a team, it’s a better way to build a company,” tuturnya saat dia berbicara di Universitas Pennsylvania 2018 lalu.

Berangkat dari sini, saya kira pemimpin yang compassion sangat penting di abad ini.

Ketika pandemi, compassion sangat terlihat ketika orang-orang bergotong royong untuk membantu sesama.

Satu hal yang saya sadari adalah bahwa compassion akan menjadi kunci kepemimpinan di masa depan.

Karakteristik utama dari ‘compassionate leaders’ di antaranya inklusif, suportif, arif, bijaksana, jujur, apa adanya, berpikiran terbuka dan fokus berkontribusi memberikan usaha terbaik untuk orang di sekitarnya.

Kuat atau lemahnya moral tim dalam suatu organisasi merupakan peran dari sosok pemimpin ini.

Manusia adalah makhluk yang memiliki banyak emosi: marah, sedih, kecewa. Pemimpin pun juga manusia dan mereka memimpin sekelompok manusia.

Artinya, akan ada emosi yang selalu beradu setiap kita bekerja. Pemimpin perlu memahami segala gejolak emosi dan bagaimana emosi tersebut bisa muncul, sehingga bisa memformulasikan solusi yang tepat.

Dan juga menjadi compassionate leader memiliki dampak yang positif, khususnya dalam dua hal penting: engagement dan inovasi.

Menumbuhkan engagement dan inovasi

Satya Nadella, CEO dari Microsoft mengatakan empati bisa membuat orang terpacu untuk menciptakan inovasi yang bermanfaat bagi banyak orang.

Jika kita pikirkan kembali, setiap inovasi memiliki kisah yang inspiratif. DeepMind, yang bekerja sama dengan Google dan Tim Shaw untuk mengembangkan alat agar penderita Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) dapat lebih mudah berkomunikasi. Kita tahu sendiri bahwa ALS membuat penderitanya lumpuh dan tidak bisa berbicara.

Di Indonesia, banyak startup yang muncul karena kegelisahan founder-nya terhadap masalah di masyarakat.

Sayurbox, sebuah e-commerce yang didirikan oleh Amanda Susanti, terbentuk karena kegelisahannya melihat tingginya perbedaan harga sayur dan buah antara petani sebagai produsen dengan konsumen.

Untuk membantu mempertemukan petani dan konsumen, maka Sayurbox lahir dengan model bisnis yang sedemikian rupa.

Satu kesamaan di antara dua cerita ini adalah compassion. Inovasi yang dilakukan berangkat dari sebuah cerita yang membuat mereka merasa berempati.

Dari empati, ada gagasan yang ingin dilakukan untuk membantu menyelesaikan masalah di masyarakat. Gagasan tersebut kemudian direalisasikan menjadi sebuah aksi nyata.

Mereka yang bertindak berdasarkan kegelisahan dan empati Itulah yang disebut compassionate leader. Mereka merasakan, berempati, dan mengambil tindakan.

Dengan banyaknya masalah yang terjadi, baik pada skala nasional dan global, pemimpin seperti ini yang saya kira dibutuhkan masyarakat.

Masyarakat membutuhkan pemimpin yang memahami sekaligus mau mengambil tindakan terhadap masalah di sekitar.

Ketika compassionate leader memimpin, mereka bisa memberikan dorongan kepada anggotanya agar berinovasi.

Tidak hanya berdampak positif bagi karyawannya, pemimpinnya pun juga mendapatkan manfaat dari mempraktikkan compassion di tempat kerja.

Rasmuss Hoggard Jacqueline Carter membuat sebuah buku yang berjudul Compassionate Leadership: How to Do Hard Things in a Human Way.

Dalam buku tersebut, pemimpin yang mempraktikkan compassion berkurang stresnya, niat berhenti berkurang hingga 200 persen, dan 14 persen jauh lebih efektif.

Itu dari sudut pandang pemimpin. Dalam perspektif karyawan, studi dari Catalyst, sebuah lembaga non-profit di AS, mengungkapkan pemimpin yang memiliki compassion dan empati bisa menciptakan inovasi.

Studi yang dilakukan pada tahun 2021 ini menemukan bahwa 61 persen karyawan yang akan lebih inovatif jika dipimpin oleh pemimpin senior yang memiliki empati tinggi.

Pemimpin yang compassion akan menjadi favorit anak muda. Angkatan kerja muda menurut saya akan mengeluarkan potensi maksimalnya jika mereka dipimpin oleh compassionate leader.

Ketika karakter inovatif anak muda digabungkan dengan pemimpin yang compassion, anak muda akan jadi lebih engage.

Berdasarkan studi Catalyst 2021, sebanyak 76 persen karyawan dengan pemimpin senior akan merasa lebih engage.

Riset yang diterbitkan dalam sebuah buku Rasmuss Hoggard dan Jacqueline Carter mengatakan bahwa karyawan yang bekerja untuk manajer yang penuh kasih 25 persen lebih terlibat dalam pekerjaan mereka.

Selain itu, riset ini juga menemukan karyawan akan 20 persen lebih berkomitmen pada organisasi, dan 11 persen lebih kecil kemungkinannya untuk burnout.

Anak muda sangat inovatif dan kreatif, yang membuat mereka dapat menghasilkan solusi baru bagi masalah di masyarakat.

Mereka membuat solusi yang out of the box, yang tidak pernah terpikirkan oleh generasi sebelumnya.

Selain itu, beberapa startup dan banyak komunitas digawangi oleh anak muda. Anak muda juga memiliki jiwa altruisme yang tinggi terhadap lingkungannya, terlebih terhadap isu yang langsung bersentuhan dengan anak muda seperti perubahan iklim.

Sebuah survei dari Deloitte terhadap 23.000 orang di 45 negara pada 2021 lalu menyebutkan bahwa 49 persen orang berusia 18 – 25 tahun dan 44 persen yang berusia 25 – 39 tahun memilih pekerjaan berdasarkan etika personal yang dimiliki.

Dalam riset tersebut, perubahan iklim menjadi fokus utama anak muda, dibandingkan pengangguran dan pendidikan.

Save the Children, lembaga non-profit yang berfokus pada well-being anak, pada tahun 2021 mengeluarkan sebuah riset yang menarik berjudul Born into Climate Crisis.

Premis dari laporan ini adalah bahwa anak-anak yang lahir pada tahun 2020 akan 6,8 kali lebih berisiko merasakan dampak dari perubahan iklim.

Riset Save the Children memperkuat alasan anak muda untuk bergerak. Mengingat dampak perubahan iklim yang kian hari kian parah, anak muda akan mengambil tindakan yang bisa dilakukan.

Anak muda akan mencari perusahaan yang bersentuhan langsung atau setidaknya yang memiliki fokus yang sama dengan mereka.

Tren global saat ini juga bergerak ke arah praktik bisnis yang berkelanjutan. Dan banyak pemimpin yang telah step up dan melakukan upaya yang mereka bisa untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Nestle sebagai contoh, mereka akan mengalokasikan satu miliar Franc sampai tahun 2030 untuk upaya menyuplai kopi yang sustainable.

Ini hanya ilustrasi bagaimana compassionate leader menjadi sangat dibutuhkan bagi dunia saat ini.

Terlebih, dengan anak muda yang sudah mencapai tahap compassion ketika membela isu-isu yang menjadi keresahannya.

Compassionate leader akan memanfaatkan passion anak muda agar organisasi bisa menjadi pelopor dan inisiator dalam pengentasan masalah-masalah di masyarakat.

Pekerja muda yang dipimpin oleh compassionate leader akan menjadi lebih bersemangat dalam bekerja dan berkarya. Ujungnya adalah mereka menjadi produktif dan berdaya.

Cerita dari dua perusahaan

CEO Unilever Global, Alan Jope mengatakan hal yang menjadi pola pikir pemimpin saat ini ketika menerima sebuah penghargaan di Britania Raya tahun 2021 lalu.

“Kindness has to be our chief GPS navigator in all areas of our lives! Your small act of kindness can make a huge difference in ways you possibly haven’t even considered.”

Dari pernyataan Alan, kita dapat satu kalimat kunci tentang compassionate leader, yaitu small act of kindness can make a huge difference.

Banyak organisasi yang saat ini memiliki pemimpin yang compassion. Mereka concern terhadap isu di masyarakat dan memperhatikan well-being karyawannya.

Dan pemimpin ini telah membuat kebijakan sebagai bentuk nyata kepedulian dan keprihatinan mereka.

Prinsip ini saya kira yang menjadi alasan mengapa budaya kerja Unilever begitu terbuka dan inklusif. Di Indonesia, Unilever telah membuat beberapa kebijakan yang berdampak sebagai bentuk kepeduliannya.

Unilever memberikan beasiswa kepada para penyandang disabilitas dan membuka kesempatan untuk merasakan budaya kerja Unilever melalui jalur magang.

Unilever melakukan ini sebagai upaya menciptakan inklusivitas dalam dunia kerja. Setiap orang berhak bekerja dan mendapatkan akses yang sama, termasuk para penyandang disabilitas.

Mereka juga layak mendapatkan akses sama dengan yang non-disabilitas karena yang dilihat adalah kompetensi kerja.

Direktur Sumber Daya Manusia Unilever, Willy Saelan, mengatakan bahwa Unilever Indonesia menjadi penggagas program ini dari seluruh market Unilever di dunia global.

Sebelum ini, kurang lebih dua dasawarsa sebelumnya, Unilever Indonesia mendirikan Unilever Indonesia Foundation (UIF).

Berdirinya UIF ini berawal dari kegelisahan CEO waktu itu, Nihal Kaviratne. Waktu itu dia melihat program pemberdayaan Unilever Indonesia kurang optimal, sehingga membutuhkan wadah agar penyalurannya bisa lebih efektif.

Selama 22 tahun berdirinya UIF, mereka telah memberikan kontribusi kepada masyarakat di bidang lingkungan dan sosial. Tidak mengherankan jika Unilever menjadi perusahaan favorit untuk bekerja.

Ada pula cerita menarik dari Tokopedia. Pada bulan Agustus 2022 lalu, saya membaca berita bahwa Tokopedia, perusahaan e-commerce yang kini tergabung dalam grup GoTo, menjadi perusahaan terbaik bagi para inovator.

Saya kemudian menggali lebih dalam mengapa mereka bisa mendapatkan gelar tersebut. Saat saya mencari alasannya, di bulan yang sama, Tokopedia mendapatkan penghargaan dalam manajemen talenta terbaik versi SWA dan LM FEB UI.

Dari berita ini saya mendapatkan gambaran utuh tentang alasan Tokopedia menjadi perusahaan terbaik bagi para inovator.

Tokopedia memiliki kebijakan sumber daya manusia yang menurut saya people-oriented. Tokopedia menyebut karyawan mereka sebagai Nakama.

Nakama adalah bahasa Jepang yang berarti teman. Tokopedia menganggap karyawan adalah teman mereka.

Untuk mengapresiasi kinerja Nakama mereka, pimpinan Tokopedia membuat sebuah award yang bernama Spot Award.

Mereka menciptakan ekosistem yang high-tech, high touch Nakama experience, yang dipercaya bisa membangun high-trust dan high-performance.

Berdasarkan visi tersebut, Tokopedia membuat kebijakan yang people-oriented seperti MyNakama dan Nakama well-being.

Tokopedia membuat sekat antara karyawan baru dan karyawan lama hilang karena setiap orang adalah keluarga.

Dua perusahaan ini berbeda dari model bisnis dan sektor pekerjaannya, tetapi mereka memiliki satu kesamaan: perusahaan mereka menunjukkan compassion terhadap orang-orang di sekitarnya.

Kebijakan yang compassion tidak bisa dilakukan jika tidak memiliki pemimpin yang mengutamakan kasih sayang.

Melalui kebijakannya, mereka menunjukkan bahwa orang-orang dan masyarakat adalah bagian penting dari perjalanan perusahaannya.

Karena kebijakannya tersebut, Tokopedia dan Unilever Indonesia mendapatkan penghargaan dan menjadi tempat favorit bagi para pencari kerja.

Compassionate leader berdampak positif bagi semua pihak, baik itu kepada orang yang dipimpin maupun yang memimpin.

Pemimpin memimpin beragam manusia dengan berbagai sifat, kepribadian, dan kebutuhan.

Memang menjadi karyawan dan pemimpin yang produktif sangat penting, akan tetapi produktivitas hanyalah hasil akhir yang muncul apabila pemimpin berhasil membuat karyawannya lebih engage dan memiliki sense of belonging.

Era saat ini mengedepankan kolaborasi dan gotong royong yang lebih intens dari sebelumnya. Pemimpin yang mengedepankan compassion akan menjadi pemimpin yang banyak dibutuhkan di masa depan.

Mereka akan mampu mengeluarkan potensi terbaik seluruh anggotanya untuk bisa berkarya dan berkontribusi untuk masyarakat.

Saya mengajak seluruh pemimpin saat ini dan masa depan untuk menjadi leader yang penuh kepedulian dan kasih sayang.

Mau dipedulikan dan mendapat kasih sayang? Maka mulailah tebar kedua hal tersebut dari diri kita terlebih dahulu.

https://money.kompas.com/read/2022/10/11/164511526/compassionate-leadership-gaya-kepemimpinan-penuh-cinta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke