Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gaji Jakarta, Kerja dan Tinggal di Yogyakarta: WFH atau WFA Masihkah Relevan Selepas Pandemi Covid-19? - (Tulisan 2 dari 2)

Oleh: Nurvirta Monarizqa, Ingki Rinaldi, dan Palupi Annisa Auliani

PANDEMI Covid-19 memperlihatkan gelagat mereda. Beragam pembatasan terkait protokol pencegahan penyebaran Covid-19 pun sudah diangkat, baik di tataran mobilitas perseorangan maupun pergerakan lintas batas wilayah. 

Salah satu protokol yang juga mencuat selama pandemi Covid-19 mengungkung adalah bekerja dari rumah (work from home/WFH) dan atau bekerja dari mana saja (work from anywhere/WFA). Meski model kerja ini bukan baru muncul, pandemi Covid-19 menjadikannya tren global demi meminimalisasi kemungkinan penularan virus Covid-19.

Yang kemudian mencuat kembali seturut gelagat reda pandemi, akankah model WFH dan atau WFA akan terus dipertahankan oleh pemberi kerja? Lebih dari dua tahun menjalani model cara kerja ini tentu saja telah membangun sebuah kebiasaan baru bahkan tak sedikit yang sudah meninggalkan lokasi basis perusahaan untuk bekerja dan tinggal di wilayah lain.

Pada tulisan pertama dari serial Gaji Jakarta, Kerja dan Tinggal di Yogyakarta, Kudu telah menganalisa potensi keuntungan dan penghematan yang bisa didapat seseorang dengan gaji standar Jakarta yang kemudian memilih menjalani kerja dan tinggal di Yogyakarta. 

Laiknya segala macam kebiasaan, apalagi yang memberikan keuntungan seperti penghematan, mengembalikan mereka yang telah merasakan manfaat nyata ke kebiasaan lama tentulah bukan perkara sederhana.

Maka, apa saja yang harus ditelisik dari penentuan kebijakan melanjutkan atau tidak WFH dan atau WFA?

Tidak untuk semua pekerjaan

Yang sudah bisa dipastikan dalam kaitan antara penghasilan, domisili, dan penghematan pengeluaran adalah tidak seluruh pekerjaan dapat dilakukan dengan metode WFH dan atau WFA.

Pekerjaan-pekerjaan yang bersifat aktivitas fisik, seperti jasa transportasi, perbaikan mesin produksi, atau perawatan gedung, merupakan sebagian kecil contoh pekerjaan yang bisa dilakukan dengan WFH dan atau WFA.

Bahkan, sejumlah pekerjaan kantoran yang membutuhkan komputer dan akses internet memiliki kecenderungan tidak semuanya dapat dilakukan atau diselesaikan dengan metode WFH dan atau WFA.

Fakta demikian bukan hanya terjadi di Indonesia. Akan tetapi terjadi pula di negara lain, misalnya di Amerika.

Sebagaimana dikutip dari Nicholas Bloom (2020) dalam artikel How working from home works out yang dipublikasikan Stanford Institute for Economic Policy Research (SIEPR), riset mendapati bahwa hanya 51 persen responden bisa melakukan WFH dengan tingkatan efisiensi 80 persen atau lebih.

Kebanyakan dari mereka, tulis Bloom, adalah para manajer, kaum profesional, dan pekerja sektor keuangan. Hasil dari para responden ini didasarkan dari survei pada 21 - 25 Mei 2020 terhadap 2.500 penduduk Amerika Serikat (AS) berusia 20 - 64 tahun dengan pendapatan pada 2019 di atas 20 ribu dollar AS per tahun.

Masih dikutip dari artikel yang sama, sebagian warga Amerika lainnya tidak mendapatkan keuntungan dari solusi teknologi yang menjadi modal awal WFH atau WFA. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja di industri ritel, perawatan kesehatan, transportasi, dan bisnis jasa.

Bloom, dalam artikel yang sama juga menulis, tatkala seseorang semakin berpendidikan dan merupakan pekerja dengan tingkat penghasilan lebih besar maka ada kecenderungan lebih besar untuk melakukan WFH atau WFA. Para pekerja ini bisa terus menerima penghasilan, mengembangkan keahlian, dan memajukan karier.

Karena itulah, masih dikutip dari artikel Bloom, terdapat "bom waktu ketitidaksetaraaan" dalam konteks perekonomian yang berbasis WFH atau WFA. Diperlukan langkah-langkah untuk melakukan mitigasi terhadap hal tersebut.

Dalam konteks AS, Bloom menulis bahwa sehubungan dengan gerak maju untuk memulai kembali perekonomian AS, investasi dalam ekspansi broadband atau koneksi internet dengan transmisi data berkecepatan tinggi mestilah menjadi prioritas utama.

Fakta senada, dalam konteks lebih luas di tingkat negara-negara, ditulis Susan Lund, Anu Madgavkar, James Manyika, dan Sven Smit (2020) dalam artikel berjudul What's next for remote work: An analysis of 2.000 tasks, 800 jobs, and nine countries.

Dipublikasikan McKinsey Global Institute, riset tersebut menganalisis lebih dari 2.000 aktivitas yang ada dalam lebih dari 800 pekerjaan di China, Perancis, Jerman, India, Jepang, Meksiko, Spanjyol, Inggris, dan AS.

Riset Susan Lund dkk mendefinisikan aktivitas-aktivitas dan pekerjaan-pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Mereka menganalisis potensi kerja jarak jauh sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan interaksi interpersonal atau kehadiran fisik di tempat kerja tertentu.

Salah satu temuan Lund dkk menyebutkan bahwa potensi praktik kerja jarak jauh lebih tinggi di negara-negara ekonomi maju. Hal ini merupakan refleksi atas gabungan sektor-sektor perekonomian, pekerjaaan, dan aktivitas.

Karena itulah, terdapat variasi potensi kerja jarak jauh di antara negara-negara yang disurvei. Dalam konteks tersebut, Inggris yang perekonomiannya didominasi bisnis dan layanan keuangan, memiliki potensi tertinggi dalam hal praktik kerja jarak jauh di antara negara-negara lain yang diteliti.

Lund dkk juga menemukan bahwa pekerjaan dengan potensi tertinggi untuk dilakukan memakai metode jarak jauh berada di sektor-sektor keuangan, manajemen, jasa profesional, dan informasi.

Sebaliknya, sektor pertanian, jasa akomodasi dan makanan, serta konstruksi menempati urutan tiga terbawah dalam konteks potensi terendah untuk dilakukan secara jarak jauh menurut riset ini.

Sejumlah pertimbangan

Prithwiraj Choudhury (2020) dalam artikel berjudul Our Work - from - Anywhere Future yang dipublikasikan di Harvard Business Review, menyebutkan bahwa transisi dari pekerjaan yang dilakukan secara tradisional ke pekerjan jarak jauh sejatinya bukan baru terjadi semasa pandemi Covid-19, melainkan dapat dikatakan telah dimulai pada 1970-an.

Saat itu, penerapan WFH atau WFA disebabkan embargo minyak oleh (The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada 1973 yang menyebabkan harga bahan bakar minyak meroket dan ongkos bepergian menjadi mahal.

Para pekerja, tulis Choudhury, sering juga diberikan kendali atas jadwal mereka. Hal itu membuat mereka bisa meluangkan waktu untuk melakukan penjemputan di sekolah, melakukan perjalanan singkat untuk keperluan tertentu, dan melakukan olahraga di tengah hari tanpa terlihat lalai.

Masih dikutip dari artikel Choudhury, keuntungan dari metode WFH atau WFA dalam beberapa tahun belakangan, bagi individu, perusahaan, dan masyarakat sudah jelas. Bagi individu, sekurangnya hal itu berguna untuk menembus berbagai batasan geografis, berkurangnya biaya hidup, dan meningkatkan kualitas interaksi keluarga.

Untuk perusahaan, praktik WFH atau WFA memberikan keuntungan karena meningkatkan keterlibatan karyawan dan pengurangan kebutuhan ruangan fisik. Adapun bagi masyarakat, model kerja WFH atau WFA disebutkan memiliki potensi untuk dapat membalikkan kondisi "brain drain" yang kerap mengganggu pasar kerja di negara berkembang, kota kecil, dan perdesaan.

Merriam-Webster memberikan definisi brain drain sebagai situasi ketika orang-orang terpelajar atau profesional dari suatu negara, sektor ekonomi, atau lapangan kerja memilih beralih ke tempat lain, biasanya demi gaji atau kondisi hidup yang lebih baik. 

Jika merujuk ilustrasi "bekerja dengan standar gaji Jakarta tetapi hidup di Yogyakarta" seperti diulas pada tulisan pertama dari serial ini, sejumlah keuntungan dari pandangan ini cenderung menemukan relevansinya. Meski demikian, terdapat sejumlah kekhawatiran perihal praktik WFA.

Choudhory, dalam artikel yang sama menulis bahwa aspek-aspek komunikasi, curah pendapat, dan pemecahan masalah, menjadi tantangan tersendiri dalam atmosfer WFH atau WFA. Komunikasi secara sinkronus, misalnya, menjadi tantangan tersendiri terutama bagi para pekerja yang tersebar di sejumlah zona waktu.

Selain itu, praktik berbagi pengetahuan, sosialisasi, persahabatan, mentoring, evaluasi kinerja dan pemberian kompensasi, serta keamanan data dan regulasi perusahaan, menjadi beberapa hal lain yang juga harus menjadi perhatian dalam konteks WFH atau WFA.

Pada akhirnya, keputusan untuk menjalani model WFA dan atau WFH memiliki sejumlah sisi positif dan juga tantangan. Hal penting untuk dingat adalah potensi digital divide dalam konteks infrastruktur dan atau literasi digital untuk mengadopsi metode WFA dan atau WFH.

Menjalani tiga tahun berjalan pandemi Covid-19, sejumlah riset dalam beberapa bulan terakhir menyoroti praktik WFH atau WFA beserta peluangnya untuk diperpanjang atau tidak selepas wabah reda. Di antara kekhawatiran yang mencuat adalah soal kualitas dan produktivitas pekerja bila praktik WFH atau WFA ini berlanjut selepas pandemi Covid-19.

Apollo Technical, misalnya, menyitir sejumlah riset terbaru yang menurut mereka menyodorkan fakta statistik mengejutkan soal kinerja dan produktivitas oleh mereka yang menjalani WFH atau WFA. Di dalam artikel yang dilansir agensi perekrutan tenaga kerja itu, tersedia pula keuntungan dan sebaliknya tantangan dari praktik WFH atau WFA.

Sepanjang 2022, Bloomberg menjadi salah satu media bisnis yang cukup sering mengangkat aneka kajian mendalam tentang praktik WFH atau WFA terkait kinerja dan produktivitas, termasuk kekhawatiran yang diakui para pelaku WFH atau WFA tentang masa depan karier sebagai salah satu risiko yang mungkin terjadi untuk pilihan ini.

Artikel berjudul Work From Home or Return to the Office? A Rift is Emerging Among U.S. Workers, misalnya, menyoroti pertentangan antara "kubu" yang mendukung berlanjutnya WFH atau WFH dan mereka yang memandang buruk model kerja ini bagi perusahaan.

Lalu, artikel berjudul Working From Home Isn’t a Free Company Benefit, menganalisis keuntungan dan tantangan yang dihadapi perusahaan dengan sodoran riset dan data yang terkumpul selama pandemi Covid-19.

Aneka riset, data, dan kajian di beragam sumber di atas merupakan pertimbangan-pertimbangan yang penting untuk disigi lebih dalam guna menghindari apa yang disebut Bloom sebagai "bom waktu ketidaksetaraan" dalam konteks perekonomian yang didasarkan pada praktik kerja jarak jauh.

Catatan:

Sebagian isi tulisan ini pernah terbit dalam blog Nurvirta Monarizqa, berjudul Gaji Jakarta Tinggal di Jogja, Realistiskah? 

 

https://money.kompas.com/read/2022/10/17/091031026/gaji-jakarta-kerja-dan-tinggal-di-yogyakarta-wfh-atau-wfa-masihkah-relevan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke