Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nasib Petani dalam Pusaran Resesi

Tiga negara dengan ekonomi terbesar dunia, yakni Amerika Serikat, Cina, dan Uni Eropa tengah mengalami perlambatan ekonomi signifikan.

Inflasi mengkerek kenaikan harga-harga komoditas yang kemudian menjadi ihwal bank sentral sejumlah negara maju menaikkan suku bunga tak terkecuali Indonesia.

Di saat harga berbagai komoditas naik, penerimaan domestik bruto (GDP) justru menunjukkan penurunan. Pemerintah terus mengatur strategi agar negara tidak turut terjerembab dalam jurang resesi.

Di tengah paham literasi keuangan yang semakin meluas di kalangan masyarakat, resesi menjadi topik hangat sekaligus sumber kegusaran.

Setiap orang mulai berpikir bagaimana pengelolaan keuangan yang tepat untuk menghadapi resesi.

Namun, hal penting yang masih sangat jarang dibicarakan, yakni bagaimana resesi dapat menggempur sektor pertanian yang merupakan sektor utama penunjang kebutuhan pangan setiap individu.

Belum lama ini Menteri Keuangan RI Sri Mulyani membagikan momen lawatannya di Amerika Serikat. Beliau menyoroti kenaikan harga taco, makanan khas Mexico, yang sebelumnya berharga 7,5–8 dollar AS naik menjadi 12–13 dollar AS.

Nampak sederhana, tapi kenaikan harga taco ini sesungguhnya memberikan pesan penting, yaitu potensi melambungnya harga pangan yang mungkin saja lebih buruk jika resesi terjadi.

Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada periode 1995–2017 menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi berdampak terhadap ketersediaan pangan khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Meskipun isu pangan dan ekonomi berkembang dari penyebab yang berbeda, tetapi keduanya saling terkait erat.

Sebagai contoh, kenaikan harga pangan kerap menjadi kontributor dominan pada inflasi negara; daya beli masyarakat yang lesu berakibat pada over supply produk pangan yang akhirnya menurunkan penerimaan petani; juga berbagai isu pangan lain yang menjalar di berbagai lini kehidupan.

Posisi dilematis petani

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kelompok masyarakat miskin di Indonesia rata-rata menghabiskan 60–70 persen dari keseluruhan anggaran mereka untuk kebutuhan pangan. Alhasil instabilitas harga pangan dapat mengekspos mereka pada posisi rentan.

Jika harga pangan terutama bahan pokok naik, mereka akan merelokasikan pos-pos anggaran guna mengamankan isi perut.

Langkah yang umum dilakukan, yaitu memangkas dana pendidikan dan kesehatan agar kebutuhan pangan terpenuhi.

Jika cara ini belum efektif, mungkin tak ada jalan lain selain mengurangi jumlah dan frekuensi makan. Dampaknya konsumsi energi dan protein menurun.

Bagai efek domino, langkah tersebut membuat kelompok ini juga tertatih dalam urusan kesehatan dan pendidikan.

Fakta yang lebih memilukan, sebagian besar penduduk miskin di Indonesia didominasi oleh petani. Mayoritas petani kita merupakan petani skala kecil yang rata-rata hanya menguasai lahan 0,2 sampai 0,5 hektar saja sehingga pendapatannya relatif rendah.

Berbeda dengan kelompok profesi lain, petani berperan sebagai produsen dan konsumen sekaligus. Ini membuat petani harus merasakan pukulan ganda.

Petani memiliki peran vital bagi kemaslahatan umat manusia. Tapi sayangnya kesejahteraan petani masih dipandang sebagai dampak ikutan atas produksi pertanian.

Premis yang berlaku, yaitu jika produksi dan produktivitas pertanian meningkat, maka petani akan sejahtera.

Selama ini kebijakan subsidi harus diartikulasikan dulu ke dalam strategi peningkatan produksi pangan.

Pemberian subsidi seperti subsidi pupuk, bibit, alsintan, modal usaha selalu diarahkan pada upaya peningkatan produksi dan produktivitas. Belum ada kebijakan yang mengarah langsung pada upaya peningkatan kesejahteraan petani.

Di sisi lain, petani yang tergolong kelompok rentan kembang kempis memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Petani sebagai produsen juga seringnya tak bisa menikmati kenaikan harga pangan karena bargaining position yang rendah.

Refleksi

Dana Moneter Internasional (IMF) telah mewanti-wanti penanganan resesi dengan cara pembatasan kenaikan harga, subsidi, atau pemotongan pajak akan sangat mahal bagi anggaran negara.

Oleh karena itu, IMF mendorong para petinggi negara untuk memberi dukungan pada kelompok rentan sebagai prioritas.

Dalam hal ini pemerintah memang telah menerapkan program jaring pengaman sosial melalui berbagai skema bantuan khususnya untuk kelompok masyarakat miskin.

Sebutlah bantuan sosial Program Keluarga Harapan yang bertujuan meningkatkan taraf kesehatan dan pendidikan. Kemudian Bantuan Pangan Non Tunai yang mengurangi beban pengeluaran pangan meskipun masih hanya terbatas untuk pembelian beras dan/atau telur.

Serta jenis bantuan langsung tunai lain yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tak terkecuali petani.

Pertanyaannya, apakah subsidi untuk peningkatan produksi pertanian telah mampu meningkatkan kesejahteraan petani?

Apakah social safety net dapat meredam potensi dampak resesi yang dapat dirasakan oleh petani? Terlebih resesi berpeluang menurunkan daya beli masyarakat, bagaimana jika produk pertanian nantinya terserap rendah di pasaran?

Apakah petani akan jadi lesu memproduksi pangan yang lantas berakibat pada kerentanan pangan dalam negeri?

Sejalan dengan berbagai program dan strategi yang dicanangkan pemerintah, upaya yang urgen dilakukan untuk mendukung petani agar lebih resilien, yaitu memberikan jaminan pasar.

Petani membutuhkan akses yang lebih lebar terhadap pasar agar komoditas yang dihasilkan terserap dan terjual dengan harga layak (fair price).

Petani selalu dituntut untuk meningkatkan produksi pangan, tapi saat panen raya harga kerap anjlok. Kenaikan harga pangan di level konsumen juga tak serta merta meningkatkan penerimaan petani, entah siapa yang menikmatinya.

Padahal petani sudah menanggung biaya produksi yang terus melambung serta dampak krisis iklim yang semakin buruk.

Pemerintah sebenarnya telah menginisiasi program bertajuk “agribusiness closed loop” yang bertujuan memberikan pendampingan proses budidaya dan jaminan pasar.

Program ini melibatkan berbagai aktor mulai dari pemerintah, perusahaan swasta, hingga perbankan. Tentu saja jadi angin segar bagi para petani.

Tetapi kini hampir tak terdengar perkembangan dari program tersebut, sedangkan petani terus berproduksi tanpa henti.

Perusahaan rintisan yang memiliki misi untuk memotong panjangnya rantai pasok pertanian telah banyak bermunculan.

Namun tidak sedikit juga dari mereka yang harus gulung tikar dalam waktu singkat karena iklim bisnis yang tak menguntungkan.

Potensi resesi global kali ini harus menjadi refleksi tentang pentingnya kehadiran dan komitmen pemerintah dalam hilirisasi pertanian.

Program-program prioritas pengembangan pertanian semestinya tak sekadar mendongkrak produksi dan produktivitas, tetapi juga penyerapan pasar yang optimal dan hak petani atas harga yang layak.

Masyarakat umum bisa turut andil agar petani tak terjebak dalam pusaran resesi, contohnya pilih membeli produk pangan lokal daripada impor.

https://money.kompas.com/read/2022/11/01/111957026/nasib-petani-dalam-pusaran-resesi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke