Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Inflasi Beras dan Lemahnya Intervensi Bulog

Komoditas beras menjadi penyumbang inflasi pangan nasional tertinggi. Inflasi beras tercatat sebesar 1,13 persen dibanding bulan sebelumnya.

Beras menjadi satu-satunya komponen pangan dengan kontribusi terbesar terhadap inflasi nasional. Tingkat inflasinya naik dari 2,56 persen pada September menjadi 3,83 persen pada Oktober secara tahunan(yoy).

Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, harga beras sudah merangkak naik sejak awal kuartal III 2022, baik untuk beras kualitas premium maupun medium.

Pada September 2022 rata-rata harga beras kualitas premium secara nasional mencapai Rp 12.600/kg. Sementara rata-rata harga beras medium nasional berada di level Rp 10.600/kg.

Tingkat harga ini naik 0,9 persen secara bulanan (mom) atau meningkat 2,9 persen secara tahunan (yoy).

Kenaikan inflasi komoditas beras dipicu tiga sebab utama. Pertama, harga pupuk sedang mengalami kenaikan. Kedua, ada pembatasan ke petani menggunakan pupuk subsidi. Ketiga, terdapat pelaku usaha yang mendorong harga supaya naik. Mereka berani membeli gabah dengan harga mahal, kemudian diolah jadi beras premium.

Itulah sebabnya meski surplus produksi beras serta ditopang impor beras untuk keperluan industri, kenaikan harga beras tetap tak terhindarkan.

Rendahnya komersialisasi produksi beras

Produksi beras Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang positif dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional sepanjang 2019-2021 menjapai 31 juta ton. Adapun stok beras yang dimiliki Indonesia hingga April 2022 mencapai 10,2 juta ton.

Indonesia juga mengimpor 407.741 ton beras pada 2021 untuk keperluan industri. Nilai ini naik dari 356.286 ton pada 2020.

Di sisi lain, harga eceran beras cenderung berfluktuasi, meskipun didukung dengan kebijakan impor beras. Hal ini disebabkan tidak semua beras yang dihasilkan dijual ke pasar (marketed surplus).

Beras yang dipasarkan di Indonesia hanya 50 persen dari total produksi beras nasional. Petani padi Indonesia umumnya menyimpan beras yang dihasilkan untuk kebutuhan mereka sendiri.

Petani Indonesia mempertahankan produksinya karena tiga alasan. Pertama, petani masih membayar upah buruh untuk padi (Ilham, 2010 ). Petani membayar jasa dengan mengalokasikan atau proporsi dari produksi.

Di beberapa daerah, petani juga membayar sewa lahan menggunakan padi yang dipanen, dan beberapa input berbayar, seperti pupuk, dengan padi yang dipanen dan akan dibayarkan setelah panen (Sukiyono, 2007 ).

Kedua, padi akan digunakan untuk pertanian di musim mendatang sebagai benih. Menurut survei BPS, sebesar 50,6 persen petani menggunakan benih sendiri.

Terakhir, tujuan utama petani memelihara padinya adalah untuk konsumsi keluarga. Hal ini didukung oleh temuan riset Noviar (2020) menunjukkan hanya 6 persen rumah tangga yang disurvei yang menjual seluruh berasnya di pasar, sedangkan 27 persen rumah tangga menyimpan semua berasnya untuk konsumsi sendiri, dan rumah tangga lainnya menjual dan menyimpan berasnya dalam berbagai persentase.

Jika dibandingkan dengan negara lain, India misalnya, surplus beras yang dipasarkan mencapai 78 persen. Di Bangladesh, tergantung pada jenis berasnya, dengan surplus yang dipasarkan berkisar antara 38 hingga 57,5 persen.

Dalam kasus Ghana, 62 persen petani sebagian besar menjual beras mereka dan 70 persen beras yang dihasilkan dijual (Amfo, 2022).

Secara tersirat, tingkat komersialisasi beras di Indonesia masih rendah. Dari segi kuantitas, 50 persen beras yang dihasilkan dijual di pasar, sedangkan 46 persen dikonsumsi oleh rumah tangga itu sendiri.

Artinya, setengah produksi beras nasional masih digunakan untuk keberlangsungan hidup petani dan keluarganya. Bahkan ini menjadi salah satu faktor pemicu petani melepaskan kepemilikan tanahnya kepada investor untuk dikonversi.

Motif ekonomi adalah penyebab utama konversi lahan. Para petani sendiri menggunakan hasil penjualan tanah mereka untuk berbagai keperluan, seperti menunaikan haji, membeli tanah baru di daerah yang jauh dari perkotaan, atau untuk biaya sekolah anak mereka karena biaya pendidikan semakin mahal.

Keadaan ini menyebabkan kemampuan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk akan semakin berkurang. Jika hal ini tidak ditindaklanjuti, maka setiap tahun akan terjadi penurunan produksi pangan khususnya beras.

Kemampuan produksi pangan lokal semakin tidak mampu memenuhi tekanan permintaan pangan yang relatif tinggi. Bukan tidak mungkin pemerintah kemudian akan kembali melakukan impor komoditas pangan untuk kebutuhan konsumsi nasional.

Perkuat intervensi Bulog

Dalam menavigasi kebutuhan beras, Perum Bulog pada dasarnya memiliki kekuatan untuk intervensi harga beras nasional. Sebab Bulog memiliki peran ganda yang tidak dimiliki lembaga swasta, yaitu mengamankan harga gabah/beras di tingkat produsen (petani) dan stok pupuk untuk memenuhi kebutuhan distribusi.

Dalam menjalankan peran strategis pengadaan beras, Perum Bulog membagi kegiatan operasionalnya menjadi dua. Pertama adalah PSO (Public Service Obligation) yang melayani kebutuhan publik atau masyarakat di Indonesia, dan yang kedua adalah pengadaan komersial.

Dalam melaksanakan PSO, Bulog mengambil beras dari petani langsung di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Setelah itu, Bulog mendistribusikan beras dari pembelian langsung dari petani sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Namun, sayangnya peran Bulog dalam intervensi pasar masih lemah. Berdasarkan penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di lapangan. Bulog hanya menguasai pangsa pasar pengadaan beras di Indonesia sekitar 20 persen berdasarkan KPPU.

Hal itu menyebabkan Bulog tidak berwenang menentukan harga beras, sebab 80 persen pangsa pasar beras di Indonesia dikuasai pengusaha beras.

Ini menyebakan harga beras pada level konsumen cenderung lebih stabil dibandingkan harga di tingkat produsen, sehingga akan muncul fenomena perilaku asimetri harga.

Ketika terjadi penurunan harga di produsen, pedagang akan menganggap bahwa penurunan harga tersebut bersifat sementara karena pemerintah akan melakukan intervensi pasar. Sebaliknya, pada saat terjadi kenaikan harga di produsen, pedagang akan menganggap bahwa perubahan tersebut bersifat permanen sehingga dengan segera melakukan penyesuaian harga jualnya.

Oleh sebab itu, intervensi pemerintah melalui penguatan kembali Bulog untuk menstabilkan harga gabah atau beras sangat bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi distribusi dan pemasaran gabah dan beras sekaligus meningkatkan kapasitas produksi padi dalam negeri guna meningkatkan ketahanan pangan dan mendorong perekonomian perdesaan.

Selain itu, perlu pengawasan ketat agar pengusaha beras skala besar tidak memiliki celah mempermainkan harga pasar semena-mena. Sebab, kekuatan pasar pengusaha beras sangat merugikan petani dan ketahanan mereka.

Saat ini Bulog bersaing dengan mereka yang bebas sedangkan negara dibatasi. Untuk itu, pemerintah perlu secara berkala mengeluarkan kebijakan beras, meskipun lebih menitikberatkan pada kebijakan harga, khususnya penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk menjaga kestabilan transmisi harga beras nasional.

https://money.kompas.com/read/2022/11/05/133345726/inflasi-beras-dan-lemahnya-intervensi-bulog

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke