Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Plus Minus RBC sebagai Ukuran Kesehatan Asuransi

Mengacu ke data historis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), RBC asuransi jiwa sempat bertengger di level 789,37 persen pada akhir 2019 (sebelum pandemi Covid-19). Posisi RBC itu kemudian turun menjadi 528,59 persen pada 2020, kembali turun menjadi 539,75 persen pada 2021, dan sebesar 485,51 persen per Agustus 2022.

Penurunan RBC juga dicatat industri asuransi umum. Pada akhir 2019, RBC asuransi umum tercatat sebesar 345,35 persen. Posisi tersebut kemudian turun menjadi 343 persen pada akhir 2020, kembali tergerus menjadi 327,30 persen pada 2021, dan per Agustus 2022 tercatat 310,08 persen.

OJK telah menetapkan batas tingkat solvabilitas minimum yang dihitung menggunakan rasio RBC. Dalam hal ini, setiap perusahaan asuransi mesti memenuhi rasio RBC paling sedikit 120 persen.

Secara sederhana, RBC diperoleh dari total aset yang diperkenankan, dikurangi total liabilitas, kemudian dibandingkan dengan Modal Minimum Berbasis Risiko (MMBR). MMBR sendiri memiliki sejumlah indikator seperti risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar, risiko asuransi, dan risiko operasional.

RBC atau tingkat solvabilitas merupakan suatu ukuran untuk mengukur tingkat keamanan finansial atau kesehatan keuangan suatu perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajiban di masa depan. Semakin besar rasio RBC, semakin tinggi kekuatan modal perusahaan asuransi untuk memenuhi kewajiban jangka panjang (solvability).

Jika ingin mendapat layanan perlindungan asuransi yang terbaik dan paling sesuai dengan kebutuhan, nasabah wajib memastikan kondisi keuangan perusahaan yang menyediakan produk tersebut sangat bagus. Tujuannya tidak lain agar proses pengajuan klaim perlindungannya dipastikan berjalan lancar.

Pengertian dan manfaat RBC

RBC adalah metode pengukuran atau penilaian batas tingkat solvabilitas (kemampuan membayar utang atau kewajiban) sebuah perusahaan asuransi. Dengan mengetahui batas dari tingkat solvabilitas, nasabah dapat mengetahui tingkat kesehatan kondisi keuangan perusahaan asuransi.

Pada dasarnya, rasio solvabilitas memang cenderung berjalan beriringan dengan kondisi keuangan sebuah perusahaan asuransi. Makin tinggi tingkat solvabilitas yang dimiliki sebuah perusahaan asuransi, kondisi keuangannya bisa dibilang makin sehat. Sebaliknya, kondisi keuangan perusahaan asuransi terbilang mengkhawatirkan, jika tingkat solvabilitas rendah.

Melalui aktivitas pengukuran batas tingkat solvabilitas suatu perusahaan, setidaknya terdapat dua hasil yang diraih. Pertama, memastikan kemampuan perusahaan asuransi memenuhi kewajibannya, tak terkecuali pembayaran pengajuan klaim yang dilakukan nasabah.

Kedua, mengetahui jumlah modal yang diperlukan dari tingkat risiko yang dihadapi perusahaan. Hal tersebut juga berkaitan dengan pengelolaan kekayaan dan kewajiban yang dimiliki perusahaan asuransi bersangkutan.

Selain untuk mengetahui kondisi kesehatan keuangan perusahaan asuransi, RBC juga bisa digunakan untuk menentukan adanya risiko perusahaan mengalami pailit.

RBC juga bisa untuk mengetahui kebutuhan modal perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajibannya atas risiko yang mungkin terjadi. Selain itu, untuk membantu regulator dalam mengetahui nilai aktual ekuitas, serta untuk memberitahu nasabah tentang kondisi kesehatan keuangan perusahaan asuransi, sehingga nasabah bisa percaya dan membeli produk asuransi tersebut (Fajrul Falah, 2022 ).

Komponen penting penghitungan RBC

Ada empat komponen penghitungan RBC. Pertama, gagal aset (asset default). Komponen ini merupakan penghitungan jumlah modal yang diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya penurunan nilai aset dan/atau hilangnya pendapatan yang berhubungan dengan aset tersebut.

Kedua, ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch). Komponen itu menghitung jumlah modal yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko bila terjadi naik turun mata uang. Fluktusiasi mata uang bisa memicu jumlah kewajiban yang harus dibayar sebuah perusahaan.

Ketiga, jumlah klaim lebih buruk dari perkiraan (claim experience worse than expected). Penghitungan jumlah modal apabila terjadi risiko jumlah klaim yang diperkirakan lebih banyak dari yang diajukan.

Keempat, risiko reasuransi (reinsurance risk).

RBC diterapkan dengan dua konteks yang berbeda. Pertama digunakan dalam rangka pemenuhan regulasi untuk menentukan modal minimum yang dibutuhkan perusahaan asuransi sebagai bagian dari penilaian solvency.

Kedua digunakan sebagai sarana perencanaan dan kontrol keuangan untuk menentukan tingkat modal keseluruhan dan menjadi dasar bagi pengalokasian modal di berbagai aktivitas operasional perusahaan.

Dengan demikian RBC merujuk pada modal minimum, sedangkan perencanaan keuangan berkaitan dengan alokasi modal secara efisien dan optimal.

Perusahaan asuransi dapat memiliki modal yang berlebih atau sebaliknya terlalu sedikit. Modal yang terlalu sedikit tidak saja berkaitan kemampuan menerima obyek risiko yang ditawarkan dan mendanai pertumbuhan ke depan tetapi juga untuk memenuhi harapan konsumen dan pialang.

Di lain pihak, bila perusahaan memiliki modal yang terlalu besar, imbal hasil kepada pemegang saham menjadi lebih rendah dari seharusnya. Akibat adanya biaya modal yang merupakan selisih antara imbal hasil apabila diinvestasikan pada usaha alternatif yang lain dengan tingkat risiko yang sama dengan laba setelah pajak dari investasi yang dilakukan perusahaan asuransi.

Saat ini besaran RBC menjadi perhatian baik dari masyarakat secara umum maupun para pelaku industri karena adanya sejumlah perusahaan yang memiliki rasio di bawah ketentuan. Meskipun begitu, sejumlah perusahaan justru memiliki catatan RBC sangat tinggi.

Selain mencerminkan kondisi keuangan yang sehat, apa artinya nilai RBC yang sangat tinggi itu? Tidak terdapat ketentuan batas atas RBC. Yang ada hanya ketentuan batas minimal RBC dari OJK, yakni sebesar 120 persen.

Berdasarkan riset PT Lifepal Technologies Indonesia, terdapat sejumlah perusahaan asuransi yang memiliki RBC tertinggi di industri asuransi jiwa. Pada kuartal I/2020, PT Hanwha Life Insurance Indonesia menjadi perusahaan dengan RBC tertinggi, yakni 5.624,2 persen. Setelah itu PT PFI Mega Life Insurance dengan RBC 2.047 persen, lalu PT Panin Dai Ichi Life (1.482 persen), PT Tokio Marine Life Insurance Indonesia (1.122 persen), dan PT Central Asia Financial (1.009,7 persen).

RBC yang tinggi dari perusahaan asuransi dapat menunjukkan tidak adanya risiko di lain pihak atau mungkin sedikitnya rasio aset berbentuk investasi.

RBC yang sangat tinggi dari perusahaan asuransi dapat menandakan dua hal. Pertama, perusahaan tidak aktif beroperasi, artinya tidak memiliki piutang premi atau tidak memiliki risiko investasi operasional reasuransi.

Kedua, bisa saja perusahaan aktif tetapi tidak punya piutang premi dan aset lainnya sangat besar, jauh melebihi liabilitas dan risiko mismatch yang minimal.

Plus-minus RBC

Sebagai alat ukur untuk menilai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dalam melindungi kepentingan pemegang polis, konsep RBC diperkenalkan pertama kali tahun 1992 oleh regulator asuransi Amerika Serikat (AS), yaitu National Association Insurance Commissioners (NAIC) untuk mengukur kesehatan perusahaan asuransi jiwa.

Hal ini dilakukan setelah bangkrutnya tiga perusahaan asuransi jiwa raksasa yang mendapat perhatian luas publik.  Baru tahun 1993, RBC diperkenalkan di asuransi umum.

Namun konsep RBC sudah mulai diberlakukan di industri perbankan AS tahun 1950-an berlanjut secara international di bawah Bank of International Settlement dan kemudian meluas diterapkan di industri perasuransian.

Regulator asuransi beranggapan, pendekatan RBC lebih tepat digunakan untuk pasar asuransi era 1990-an dibandingkan dengan pendekatan syarat modal setor minimum untuk semua perusahaan asuransi dengan kategori tertentu.

Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada RBC mempertimbangkan adanya perbedaan dalam praktik dan prosedur underwriting dan investasi pada setiap perusahaan dalam memupuk permodalan dan pembentukan cadangan teknis.

Sebagai contoh, dua perusahaan dengan ukuran yang sama, satu perusahaan beroperasi dengan sangat konservatif, sementara yang lain sangat agresif. Dengan pendekatan modal setor minimum tersebut, kedua perusahaan harus memenuhi syarat modal setor yang sama.

Dengan pendekatan RBC, perusahaan yang lebih ekspansif dan agresif harus menjaga tingkat RBC yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang lebih konservatif. Dengan demikian, pada pendekatan RBC, kebutuhan permodalan antara perusahaan yang satu dengan yang lain berbeda. Tergantung tingkat risiko kerugian yang dialami masing masing perusahaan.

Sebab itu, peraturan yang berlaku di AS tidak membenarkan konsep RBC digunakan sebagai alat ukur rating (pemeringkatan) maupun ranking (pengurutan), mengingat angka RBC sangat relatif terhadap kebutuhan permodalam masing-masing perusahaan.

Komplikasi RBC sebagai alat rating terjadi saat rating memasukkan RBC sebagai salah satu indikator dan menghasilkan perusahaan asuransi dikategorikan “tidak bagus” justru menunjukkan RBC ribuan persen.

Konsep RBC itu masih menimbulkan perdebatan di negara asalnya, karena dampaknya pada sikap kehati-hatian perusahaan dalam melakukan underwriting dan investasi pada akhirnya dapat menurunkan profitabilitas perusahaan.

Setidaknya di bidang asuransi jiwa, relatif tidak ada perbedaan antara regulator dan pelaku industri dalam menetapkan faktor-faktor risiko dan implementasinya. Karena fleksibilitas pengukuran solvency yang berbasis penilaian aktuarial pada asuransi jiwa menjadi kunci dari kesepakatan antara pelaku industri dengan regulator.

Tidak demikian dengan asuransi umum, dalam menetapkan faktor-faktor risiko khususnya dalam hal penetapan cadangan premi dan klaim, risiko underwriting bisnis baru dan kompleksitas hubungan aset dan liabilitas (kewajiban), terutama dinamika hubungan antara pergerakan pasar modal dengan siklus underwriting, untuk dapat mengukur kecukupan modal (Dickinson , Geneva Report on Risk and Insurance , No 82 Januari 1997 , p 76 -85 ).

Para peneliti bahkan berkesimpulan, konsep RBC tidak lebih baik dari konsep modal setor minimum, terlebih di era disrupsi dan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) saat ini yang ditandai dengan derasnya arus merger dan akuisisi.

Indonesia sendiri menganut dua konsep sekaligus, baik modal setor minimum maupun RBC. Terkait ketentuan modal setor, perusahaan asuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp 150 miliar. Perusahaan reasuransi Rp 300 miliar,  perusahaan asuransi syariah Rp 100 miliar , dan perusahaan reasuransi syariah Rp 175 miliar.

Apapun ukuran yang digunakan, yang pasti diperlukan konsistensi dan ketegasan regulator asuransi agar regulasi diarahkan untuk memacu kesehatan industri asuransi tanpa pengecualian dengan langkah-langkah korektif yang nyata.

Di lain pihak kompetensi dan integritas para pelaku industri menjadi kunci dari semua masalah yang melanda perasuransian.

https://money.kompas.com/read/2022/11/12/101727626/plus-minus-rbc-sebagai-ukuran-kesehatan-asuransi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke