KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Salin Artikel

Budaya Memotivasi

DALAM sebuah wawancara kepada pimpinan-pimpinan perusahaan Fortune 500 mengenai sumber kekuatan motivasi karyawannya, kata “kultur” disebutkan lebih dari 20 kali oleh para chief executive officer (CEO).

Dari wawancara tersebut, dapat dilihat bahwa para pimpinan perusahaan meyakini, kultur organisasi memiliki pengaruh kuat pada motivasi karyawan. Pada akhirnya, hal ini pun berpengaruh terhadap kesuksesan organisasi.

Kultur memang tidak terlihat, tetapi dapat dirasakan dengan sangat kuat oleh individu yang berada di dalamnya. Berapa banyak karyawan yang merasa begitu bersemangat untuk berkontribusi kepada organisasinya ketika baru bergabung, kemudian lambat laun merasa apatis karena lelah menghadapi penolakan terhadap ide-ide barunya?

Sementara di tempat lain, karyawan yang tadinya hanya berpikir untuk dirinya sendiri perlahan-lahan mulai berubah ketika melihat koleganya bekerja dengan semangat demi kemajuan organisasi.

Kombinasi misi, manajemen, dan kultur

Banyak pimpinan tidak sadar bahwa perilakunya akan menciptakan kultur dari organisasi yang dipimpinnya. Di sini, seolah-olah pembentukan kultur organisasi berjalan secara intuitif saja. Mengingat bahwa kultur organisasi dapat menjadi “magic force” yang dapat memengaruhi motivasi karyawan, penting bagi kita untuk menelaahnya lebih dalam.

Studi terhadap 2.500 pekerja menemukan bahwa upah bukanlah hal yang dianggap paling penting untuk memotivasi mereka dalam bekerja. Edward Deci dan Richard Ryan dari Universitas Rochester mengelompokkan 6 faktor yang berdampak signifikan pada motivasi karyawan ke dalam 2 golongan, yaitu good motives dan bad motives.

Southwest Airlines yang sangat terkenal karena kekuatan kultur organisasinya didominasi oleh tiga good motives.

Pertama, play. Bila individu begitu menikmati pekerjaan layaknya sedang bermain, ia akan mencurahkan energinya dengan optimal. Saat menghadapi kesulitan, ia justru akan semakin bersemangat karena merasa tertantang.

Contohnya, seorang guru yang senang mengajar akan senantiasa mencari cara agar murid-muridnya menikmati pelajarannya dengan optimal. Antusiasme sang guru juga akan mengalir kepada murid-muridnya.

Kedua, purpose. Bila sasaran jangka panjang pekerjaan sesuai dengan identitas para individu dalam organisasi, pencapaian target organisasi pun akan menjadi lebih mudah. Guru yang menyadari bahwa ia memiliki kontribusi dalam mencerdaskan bangsa akan lebih bersemangat dalam melakukan tugasnya.

Ketiga, potential. Bila hasil pekerjaan dapat meningkatkan rasa percaya diri, kita akan merasa lebih berkembang. Sense of growth yang dirasakan dapat menyemangati diri kita.
Bila ketiga motif itu dapat dimunculkan di organisasi, niscaya individu yang berada di dalamnya akan terdorong untuk berkontribusi lebih banyak dan berprestasi lebih baik.

Di sisi lain, ada tiga motif kuat yang dapat meningkatkan atmosfer negatif di sebuah organisasi atau perusahaan.

Pertama, tekanan emosional. Rasa khawatir dan perundungan dari atasan atau teman sejawat, serta rasa tidak aman merupakan tekanan eksternal yang membuat individu tidak bersemangat.

Kreativitas dan inovasi yang membutuhkan keberanian individu untuk melihat dari sisi yang berbeda dan melakukan perbaikan akan sulit untuk ditumbuhkan dalam suasana kerja seperti itu.

Kedua, tekanan ekonomi. Sebagian besar orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, bila tekanan ekonomi sedemikian besar sehingga membuat individu takut kehilangan pekerjaan, ia akan melihat pekerjaannya sebagai sebuah beban yang harus dijaga baik-baik. Mereka cenderung akan patuh pada penugasan dan atasan saja, serta berusaha tidak menimbulkan masalah dalam pekerjaannya.

Ketiga, inertia atau kelesuan. Rasa lesu ini bisa dirasakan dari awal atau baru mulai muncul ketika individu semakin berjarak dengan pekerjaannya. Ia tidak lagi melihat daya tarik dari pekerjaannya sama sekali. Semakin lama hal ini terjadi, maka kontribusinya pun akan semakin berkurang. Mereka bekerja sebatas pada kewajiban yang harus dilakukan.

Ketiga tekanan tersebut dapat menghambat kelancaran penumbuhan passion terhadap pekerjaan individu. Energi mereka akan lebih banyak tersedot pada kekecewaan dalam bekerja, alih-alih berfokus pada pekerjaan. Ia tidak lagi peduli pada kualitas kerjanya.

ToMo: total motivation

Kultur adalah kumpulan praktik-praktik dalam organisasi yang berdampak pada motivasi total karyawan. Motivasi karyawan yang tinggi berkorelasi dengan kepuasan pelanggan. Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa perbedaan angka penjualan antara organisasi yang memiliki total motivation (ToMo) rendah dan tinggi bisa mencapai 30 persen.

Selain dari enam hal di atas, kultur juga dipengaruhi oleh proses bisnis yang dijalankan di sebuah perusahaan. Apakah ada kejelasan peran individu dalam organisasinya? Bagaimana sistem penilaian kinerja dilakukan dan berdampak pada kejelasan karier individu?

Semakin jelas individu terhadap perannya di organisasi dan bagaimana kontribusinya diapresiasi, maka semakin tinggi pula motivasinya untuk berprestasi. Kejelasan peran ini juga membuat pengambilan keputusan berjalan lebih lancar sehingga tindak lanjut proses bisnis pun dapat segera dilaksanakan.

Identitas perusahaan juga berpengaruh pada ToMo. Kultur lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal pembentukannya yang berusaha memegang teguh integritas sampai ke level pribadi benar-benar berpengaruh pada motivasi karyawannya. Mereka teguh berpegang pada integritas, bangga, dan tidak pernah kenal waktu dalam bekerja.

Mau tidak mau, setiap pemimpin perlu membedah organisasinya dan selangkah demi selangkah meningkatkan ToMo di perusahaannya. Kultur yang memotivasi ini akan menjadi daya saing luar biasa yang tidak terkalahkan.

https://money.kompas.com/read/2022/11/26/075800226/budaya-memotivasi

Bagikan artikel ini melalui
Oke