Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Semerbak Asa Ekonomi Indonesia di 2023

Meskipun situasinya tidak sama, tahun 1964 Bung Karno pada Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke -19 Indonesia saat itu mengutarakan bahwa Indonesia menghadapi tahun Tavip (Tahun Vivere Pericoloso), yakni suatu keadaan yang bisa membuat Indonesia terserempet bahaya.

Bung Karno mencium jalannya revolusi Indonesia dihadapkan dengan berbagai sabotase dan pembajakan oleh aktor dari dalam maupun dari luar. Bagi Bung Karno, jalannya revolusi Indonesia ibarat panasea untuk mengatasi neo kolonialisme dan imperialisme (nekolim), yakni suatu jalan yang berbeda dengan Great Leap Forward-nya Mao Zedong, maupun Revolusi Bolshevik-nya Lenin yang penuh kekerasan.

Ancaman terhadap jalannya revolusi Indonesia bagi Bung Karno dan para penyokong kekuatan progresif saat itu sama halnya memadamkan api perjuangan Indonesia melawan nekolim.

Kita saat ini memang tidak dihadapkan pada bentrokan ideologi kanan dan kiri, dan mungkin bukan eranya lagi. Kiri telah tersungkur lebih awal, seiring runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet. Tiongkok yang awalnya kiri tulen juga memilih jalan revisi besar besaran dengan mengakomodasi pasar. Pilihan ini ditempuh oleh Kamerad pro pasar, Deng Xiaoping hingga Xi Jinping.

Sebaliknya jalan demokrasi liberal-pasar yang mewakili kanan juga tidak baik-baik saja, di banyak tempat dibajak oleh konglomerasi.

Dunia dihadapkan dengan perang, krisis ekologis, krisis pangan dan energi, menjalarnya terorisme, pandemi, narkotika, bahkan jumudnya pasar keuangan. Celakanya negara-negara penganut demokrasi liberal malah menjadi bagian dari persoalan tersebut. Lebih menyedihkan, mereka yang sejak awal penganjur globalisasi, namun pilihan kebijakan yang mereka tempuh saat menghadapi persoalan-persoalan di atas malah mementingkan diri sendiri.

Inisiatif untuk berfikir global dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di atas malah muncul dari Indonesia. Langkah Indonesia menawarkan tema recover together recover stronger pada Pertemuan G20 membuka asa kerja sama global.

Hal ini terjadi lantaran terbinanya hubungan baik dengan para pihak, Indonesia bukan dari blok-blok pertahanan yang bersengketa saat ini, serta mampu menghadirkan irisan kepentingan mayoritas anggota G20. Posisi inilah yang memuluskan G20 Bali Leaders Declaration.

Refleksi krisis

Andaikan tiada pandemi, dan konflik geo-politik, kondisi ekonomi global, terutama sektor keuangan memang sudah rapuh. Setidaknya ada penyakit bawaan atas ekonomi global yang sangat geneologis, dan perlu kita renungkan secara mendalam.

Natur kapitalisme yang diyakini memiliki kemampuan self-correcting, untuk mewujudkan keseimbangan baru justru berulangkali merangkai masalah. Keyakinan yang berlebih atas fundamentalisme pasar malah mencelakai banyak negara, termasuk di Amerika Serikat (AS) sendiri, dan terjadi berulangkali.

Deretan tragedi seperti bangkrutnya Continental Illinois 1984, dan kegagalan Long-Term Capital Management 1998, krisis subprime mortgage dan kebangkrutan Lehman Brothers 2008 hanya secuil fakta ilusi fundamentalisme pasar yang pada akhirnya menyeret keterlibatan otoritas untuk menggunakan dana pubik.

Kini kita menyaksikan tumpukan utang perusahaan pada kawasan emerging market meningkatkan insolvabilitas perusahaan. Kasus Evergrande di Tiongkok membayangi situasi ekonomi mereka penuh kerentanan.

Belum lagi utang korporasi di India, Brasil, Indonesia, dan Uni Emirat Arab. Fenomena ini, bila memuncak hanya akan mengulang krisis sebelumnya yang terjadi di AS, terlebih bila korporasi tersebut telah menjadi raksasa.

Dari sisi kreditur, bank-bank di negara negara maju, seperti di Eropa telah lama mengalami krisis profitabilitas. Resikonya, investor pesimis usaha perbankan menghasilkan keuntungan.

Harga ekuitas bank di Eropa cenderung turun, keadaan ini bisa memangkas kemampuan bank untuk menjalankan peran transmisi pada sektor riil. Langkah sembrono beberapa bank mencari modal di pasar saham melalui produk derivatif hanya akan mengulang tragedi greed and corruption on Wall Street era 1970 an.

Kita sendiri pernah mengalami kehancuran sistem keuangan ketika krisis moneter tahun 1997, dan imbasnya masih kita tanggung hingga kini. Pemerintah harus berburu untuk mengembalikan harta negara dari debitur nakal yang mendapat dana talangan.

Memang benar bahwa fundamental ekonomi kita saat ini jauh lebih baik dibanding era 97. Berbagai reformasi struktural yang kita tempuh dua puluh lima tahun terakhir cukup membantu kita memiliki protokol krisis yang cukup baik. Resiliensi kita juga terlihat lebih baik. Namun kita harus selalu mawas diri, pasar kerapkali krisis imanensi.

Modal nasional

Imbas menurunnya ekonomi global memang tidak langsung menghantam kita. Keterhubungan kita dengan transaksi dan perdagangan internasional harus kita periksa satu per satu. Jalur perdagangan internasional justru menguntungkan Indonesia dengan terus mencatatkan surplus selama 30 bulan, menjadi berkah pendapatan dan devisa negara yang kian tebal.

Namun gejala menurunnya harga komoditas pada tahun depan patut kita waspadai. Dompet pendapatan negara bisa jadi akan tidak setebal dua tahun terakhir. Berkahnya, tekanan inflasi bisa jadi lebih mereda.

Kita terhubung dengan jalur pembiayaan melalui pinjaman luar negeri maupun pembelian SBN global. Porsi asing memang terus menurun pada komposisi SBN.

Tren kebijakan hawkish ikut menyeret suku bunga acuan Bank Indonesia  (BI) ikut naik. Imbasnya biaya dana yang kian mahal ini perlu kita waspadai. Untungnya tahun ini pemerintah masih memiliki silpa cukup besar, sehingga bisa menjadi “tabungan” pembiayaan pada tahun depan agar tidak menyedot pembiayaan lebih besar di saat bunga mahal.

Melihat kecenderungan mata uang dolar AS pulang kampung, kita harus cermati, dampaknya pada tekanan kurs terhadap rupiah kian menguat. Imbas lebih jauh akan mendongkrak utang korporasi yang berdenominasi dolar. Pemerintah dan korporasi besar harus mulai menaruh pembiayaan mereka lebih variatif, termasuk berbagai skema pembayaran internasional, agar tidak semata bertumpu kepada dolar AS.

Modal terbesar ekonomi kita menghadapi “gonjang ganjing” dunia ke depan adalah kekuatan ekonomi rakyat. Dari sisi suplai, UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) menopang 61,9 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, termasuk berhimpunnya tenaga kerja berskala besar.

Dari sisi permintaan, rumah tangga rakyatlah yang menggerakkan roda ekonomi nasional. Pasar domestik inilah yang berkali-kali menyelamatkan ekonomi kita saat badai krisis menerpa ekonomi global.

UMKM dan koperasi inilah sesungguhnya manifestasi nyata dari praktik ekonomi Pancasila. Mereka bukan hanya kumpulan modal, tetapi juga orang, dan kerja sama.

Potensi inilah yang harus kita kembangkan dengan menaruh perhatian, dan pikiran, serta mengalokasikan sumber daya nasional pada tahun-tahun mendatang. Sudah waktunya cetak biru pembangunan ekonomi meletakkan UMKM dan koperasi sebagai soko guru pembangunan. Sebab sektor ini selalu memberi semerbak asa.

https://money.kompas.com/read/2022/11/30/170220226/semerbak-asa-ekonomi-indonesia-di-2023

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke