Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Vale Bangun Industri Nikel dengan Dana Rp 131 Triliun

Proyek itu juga disebut mampu merekrut 12.000 pekerja untuk konstruksi proyek dan banyak rantai jaringan bisnis mendapat berkah dari pengembangan mega proyek tersebut. Proyek itu membuat denyut nadi pembangunan ekonomi daerah di Sulawesi Tenggara bergerak. 

Proyek HPAL milik Vale tersebut merupakan yang terbesar di Tanah Air dengan kapasitas 120.000 metrik ton per tahun. Tak salah jika Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut B Pandjaitan mengatakan, itu bukan proyek biasa, tetapi proyek luar biasa.

Karena proyek itu mampu membangun sebuah ekosistem litium untuk baterai kendaraan listrik. Luhut mengatakan, kita tak bisa membangun baterai mobil listrik jika tak ada proyek HPAL yang akan memproduksi litium.

Proyek tersebut tentu sejalan dengan proyek yang akan dikerjakan Indonesia Batteray Corporation (IBC), yang akan membangun ekosistem mobil listrik. IBC adalah perusahaan patungan antara Pertamina (Persero), PLN (Persero), MIND ID, dan PT Aneka Tambang Tbk.

BUMN tambang seperti MIND ID, ANTM, PT Timah Tbk memang memiliki nikel, kobalt, dan tembaga untuk baterai kendaraan listrik. Namun, perusahaan BUMN tambang yang tergabung dalam IBC tak memiliki litium. Vale justru membangun proyek HPAL yang mampu membantu negeri ini membangun sebuah ekosistem kendaraan listrik.

Dengan kontribusi semacam itu, diharapkan politisi di Senayan tak lagi gaduh terkait isu perpanjangan kontrak Vale. Orang yang paham perhitungan ekonomi dan korporasi akan mengatakan, jika proyeknya sudah groundbreaking dan jumlah dana investasi yang dikeluarkan sangat signifikan, pemerintah harus memperpanjang kontrak Vale.

Vale juga merupakan perusahaan Indonesia yang tercatat di pasar modal. Saham Vale 20 persen dimiliki publik di pasar modal. Selain itu, perusahaan tambang BUMN, MIND ID juga mengontrol 20 persen saham Vale. Jadi tak semestinya lagi ribut soal perpanjangan kontrak.

Bukan hanya Pomala

Kontribusi Vale untuk pengembangan sektor hilir nikel di Indonesia bukan hanya pada proyek HPAL di Pomala. Proyek di Pomala itu hanya sebagian kepingan proyek Vale untuk membantu pengembangan industri tambang di negeri ini.

Proyek RKEF di Bahodopi akan bermitra dengan Shandong Xinhai dan Baowu Steel dengan investasi senilai 2,1 miliar dolar. Sementara proyek HPAL di Sorowako adalah pengembangan dari proyek yang ada sekarang dengan dana investasi senilai 2 miliar dolar.

Jika tiga proyek besar Vale ini berjalan, Indonesia akan diuntungkan, bukan hanya dari pengembangan sektor hilir tambang dan pengembangan ekosistem mobil listrik, tetapi juga dari segi perekrutan tenaga kerja. Dalam hitungan kasar, tiga proyek ini akan mampu merekrut 30.000 tenaga kerja lokal.

Ini setara dengan proyek Grasberg milik PT Freeport Indonesia yang mampu merekrut tenaga kerja sebesar 30.000 orang dan ratusan kontrak. Ini sangat berarti di tengah situasi ekonomi dunia yang semakin tak menentu sekarang ini.

Selain itu, proyek Vale penting di tengah keengganan produsen nikel lain membangun pabrik HPAL untuk litium mobil listrik.

Proyek sebesar ini juga sulit kita dapatkan dari pengusaha di negeri ini. Produsen nikel dan perusahaan-perusahaan kecil domestik hanya mampu mengeksplorasi nikel di hulu tanpa membangun smelter di hilir. Produsen nikel lain hanya ingin mengeruk nikel dengan harga rendah dan tak membutuhkan ahli dalam bidang pertambangan.

Jika banding pemerintah Indonesia di WTO terkait gugatan larangan ekspor nikel oleh negara-negara Eropa ditolak, pengusaha-pengusaha nikel yang memiliki konsensi kecil-kecil inilah yang mendapat untung, meskipun merugikan negara. Mereka tidak pernah berpikir membangun industri tambang di negeri ini.

Penjualan nikel dalam bentuk bijih mentah itu yang membuat tata niaga nikel kita semrawut. Illegal mining tak terhindar. Degradasi lingkungan hidup dan deforestasi bertambah parah.

Produsen-produsen nikel di negeri ini mestinya belajar dari cara Vale membangun sektor hilir tambang. Sejak beroperasi di Sorowako tahun 1973, Vale tidak menjual bijih nikel mentah untuk diekspor.

Sejak beroperasi di Tanah Air, Vale membangun smelter nikel dengan kapasitas di atas 72.000 matrik ton nickle matte. Hal ini memberikan multiplier effect bagi pembangunan di Sorowako, Sulawesi Selatan. Pembangunan smelter di Sorowako mampu mempekerjakan ribuan pekerja dari seluruh tanah air.

Perusahaan itu juga melakukan reklamasi pasca tambang di Sorowako dengan rapi. Lahan bekas galian tambang ditutup kembali dan sekarang Sorowako menjadi kota yang rapi dan segar. Sepanjang jalan di tanaman pohoh-pohon hijau.

Vale juga membangun bandara Sorowako yang membuat warga bisa dengan bebas beterbangan ke Makasar, Jakarta, atau kota besar di manapun di republik ini. Rumah sakit, sekolah, dan banyak infrastruktur dibangun di sekitar wilayah tambang.

Vale memperhatikan masyarakat lingkar tambang, meskipun ada riak-riak protes masyarakat. Namun, resistensi masyarakat sekitar tambang terhadap Vale sangat kecil dibandingkan resistensi masyarakat Papua terhadap tambang Freeport Indonesia yang beroperasi di Grasberg.

Untuk pengembangan smelter nikel Sorowako, Vale menggunakan danau Matano untuk pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas di atas 300 MW. Listrik sebesar itu digunakan untuk pengembangan proyek dan membantu masyarakat sekitar Sorowako dan Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Pengembangan PLTA juga membuka mata kita bahwa perusahaan itu sudah lama memelopori pengembangan transisi energi di tambang dengan menggunakan energi bersih dan ramah lingkungan untuk pembangunan tambang.

Di Pomala dan Bahodopi juga, Vale menggunakan energi transisi untuk pengembangan proyek jumbo. Untuk pembangunan proyek ini, Vale menggunakan Liqufied Natural Gas (LNG) yang ramah lingkungan dan zero-carbon. Vale tidak menggunakan batu bara untuk menopang kelistrikan tambang.

Saya berharap, masih akan ada produsen-produsen tambang lainnya di negeri ini yang siap membangun proyek hilir tambang. Meskipuan negara-negara Eropa sudah menang di WTO terkait pelarangan ekspor nikel, produsen tambang domestik tak terganggu dengan keputusan perdagangan global itu. Produsen-produsen nikel dalam negeri bahu-membahu melawan dengan cara elegan, membangun pabrik smelter dan tak menjual bijih nikel dalam bentuk mentah.

Jika ada pengusaha kecil yang tak sanggup membangun smelter, silakan membeli bijih nikel dengan Harga Patokan Pemerintah (HPM) agar mereka juga tak dirugikan dan tak tergoda menjual bijih nikel keluar. Mari membangun industri tambang di negeri ini. Vale sudah memelopori itu.

https://money.kompas.com/read/2022/12/01/115554426/vale-bangun-industri-nikel-dengan-dana-rp-131-triliun

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke