Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masih Layakkah RBC untuk Mengukur Kesehatan Perusahaan Asuransi?

Kondisi aset dengan liabilitas inilah yang harusnya jadi ukuran kesehatan keuangan perusahaan asuransi.

Perusahaan asuransi yang mengalami masalah keuangan terus terjadi secara beruntun. Terakhir dialami Asuransi Jasindo yang mengalami negatif Risk Based Capital (RBC) selama dua tahun berturut-turut dan kabarnya terpaksa harus melakukan efisiensi melalui PHK.

Dugaan penyebab masalah keuangan beberapa perusahaan asuransi mengerucut pada dua hal, yaitu kesalahaan pengelolaan aset investasi dan atau ketidakcukupan modal yang menurunkan rasio kesehatan keuangan.

Berawal dari insolven, tidak likuid kemudian terjadi negatif cashflow yang ujungnya terjadi gagal bayar.

Ukuran kesehatan bank telah begitu lengkap, yaitu dengan metode CAMEL di mana di dalamnya ada rasio CAR atau Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) untuk mengukur kecukupan modal. Bahkan CAMEL telah diperluas menjadi RGEC, yaitu mengukur Risk, Governance, Earning dan Capital.

Sementara ukuran kesehatan perusahaan asuransi masih bertahan dengan metode RBC. Memang telah ada beberapa perubahan, namun sifatnya hanya responsif karena adanya tuntutan kebutuhan pasar dan kasus-kasus yang terjadi.

Regulasi kesehatan keuangan perusahaan asuransi

Sejarah pengukuran kesehatan keuangan untuk perusahaan asuransi awalnya hanya memakai rasio solvabilitas dan likuiditas layaknya perusahaan perseroan biasa.

Hingga pada 1999, Bapepam LK mengenalkan metode penghitungan rasio solvabilitas dengan menggunakan metode RBC.

Penggunaan RBC kemudian mulai sepenuhnya diterapkan pada 2012 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.10/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. PMK ini juga merupakan regulasi awal yang mengatur tentang aset yang diperkenankan (AYD).

RBC merupakan metode mengukur Solvabilitas atau kemampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi semua kewajibannya dengan mempertimbangkan ukuran dan profil risiko yang dikelolanya.

Dalam PMK No. 53 tersebut ditetapkan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi di Indonesia wajib memiliki tingkat solvabilitas metode RBC minimal 120 persen. Artinya, perusahaan asuransi wajib punya aset bebas dari risiko minimal 20 persen di atas total liabilitasnya.

Pada era OJK, regulasi tentang RBC kemudian dilengkapi dengan aturan valuasi AYD berbasis risiko, yaitu Modal Minimum Berbasis Risiko (MMBR), melalui POJK Nomor 71/POJK.05/2016, dengan angka minimum RBC masih sama, yaitu sebesar 120 persen. MMBR adalah modal minimal untuk mengantisipasi risiko.

Pada 2017, OJK kemudian menerbitkan SEOJK No. 24/SEOJK.05/2017 sebagai juklak atau Pedoman dalam menghitung MMBR.

Selanjutnya pada 2018, untuk mengakomodir penerbitan instrumen investasi finansial baru, yaitu Obligasi Daerah dan DINFRA KIK, OJK menerbitkan POJK 27/POJK.05/2018 yang merupakan perubahan POJK No 71/POJK.05/2016 di atas.

Sebagai respons dari beberapa kasus gagal bayar perusahaan asuransi besar, pada 2020 OJK menerbitkan setidaknya dua regulasi untuk memperbaiki ukuran kesehatan keuangan LJKNB (perusahaan perasuransian, dana pensiun, dan perusahaan pembiayaan), yaitu POJK 28/POJK.05/2020 tentang Penilaian Kesehatan Lembaga Jasa Keuangan Non Bank (LJKNB) dan POJK. 44/POJK.05/2020 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi lembaga Jasa Keuangan Non Bank (LJKNB).

Di POJK No. 28, OJK mewajibkan LJKNB melakukan dan melaporkan hasil self assessment terhadap tingkat kesehatan meliputi tata kelola perusahaan yang baik, profil risiko, rentabilitas, dan permodalan atau pendanaan, yang disimpulkan dalam peringkat komposit.

Self assessment tersebut kemudian dibandingkan dengan penilaian kesehatan keuangan yang dilakukan oleh OJK, dan bila terjadi selisih maka yang diakui adalah hasil penilaian OJK.

Sedangkan POJK No. 44 diterbitkan sebagai respons atas meningkatnya risiko dan kompleksitas risiko yang dihadapi LJKNB yang tidak hanya berasal dari internal, namun juga dari risiko yang berasal dari pihak-pihak dalam ekosistem industri.

Isi dari POJK No. 44 secara ringkas adalah mewajibkan LKJNB menambah keefektifan pengawasan serta pelaksanaan manajemen risiko perusahaan. Tidak hanya pada jumlah infrastruktur dan regulasi, namun juga pada kompetensi individu-individu pelaksana dan pengawas manajemen risiko dari Divisi Manajemen Risiko, Dewan Direksi hingga organ Dewan Komisaris dan Komite-Komite.

Terakhir, pada Oktober 2022, OJK mengeluarkan Rancangan POJK untuk memperbarui POJK 71 sebagai respons dan upaya OJK agar kasus-kasus gagal bayar klaim, miss management pengelolaan investasi dan praktik misselling di industri asuransi tidak terjadi lagi.

Regulasi baru ini disebut sebagai Tiga Lapis Pertahanan alias Three Line Of Defense yang nantinya diharapkan dapat memperkuat ketahanan sektor perasuransian.

Three lines defense baris pertama dan kedua adalah dari perusahaan asuransi sendiri. Baris pertama penguatan SDM, governance dan risk management.

Baris kedua adalah penguatan para lembaga penunjang, salah satunya asosiasi. Sedangkan baris ke tiga penguatan internal OJK, yang di dalamnya mencakup penguatan SDM, penerapan teknologi dalam pengawasan, serta memperkuat regulasi.

Rancangan POJK ini sebagian besar memperbarui aturan pengelolaan aset investasi (AYD), antara lain menambah prinsip kehati-hatian dengan memperhatikan profil liabilitas, menambah ketentuan tentang penempatan investasi pada satu pihak, pihak terkait, terafiliasi, pihak pengendali, kemudian batasan penempatan pada REPO.

Pada sisi liabilitas, menambah aturan terkait kerjasama AJK, ketentuan sanksi atas pelanggaran ketentuan AYD dan larangan pengalihan aset antarsubdana dalam PAYDI.

Selain itu juga terdapat perubahan dalam tahap-tahap pemberian sanksi pembekuan usaha atas pelanggaran yang dilakukan.

Membedah keefektifan RBC

RBC adalah suatu metode untuk mengukur Solvabilitas perusahaan asuransi dengan mengkombinasikan faktor risiko di dalamnya.

Tujuannya adalah: 1) memastikan kemampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajibannya, termasuk dalam pembayaran klaim, dan 2) mengetahui modal yang dibutuhkan perusahaan berdasarkan tingkat risiko yang dihadapinya dalam mengelola kekayaan dan kewajibannya.

Angka RBC menggambarkan kecukupan modal (aset) minimum untuk menghadapi berbagai risiko pada aset yang diperkirakan dapat memengaruhi kemampuan pemenuhan kewajiban di masa depan.

Seperti telah jamak diketahui, rumus umum rasio solvabilitas adalah Total Aset dibagi dengan Total Kewajiban.

Sedangkan pada metode RBC angka Total Aset adalah Aset Yang Diperkenankan (AYD) bersih setelah memperhitungkan modal minimal untuk mengantisipasi berbagai risiko terkait bisnis asuransi.

Angka AYD merupakan angka valuasi admitted asset di mana kuantitas (komposisi, alokasi) maupun kualitas (rating) diatur dalam dalam POJK 71.

AYD ini kemudian digunakan untuk menghitung MMBR, dengan cara mengalikannya dengan angka faktor risiko yang juga telah ditetapkan oleh POJK 71 baik proxy, prosentase, maupun kualifikasinya.

Selanjutnya dapat diperoleh angka RBC dengan cara membagi selisih Tingkat Solvabilitas (AYD - Total Liabilitas) dengan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum atau MMBR.

MMBR dihitung dengan menjumlahkan dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko (default) yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas. Risiko-risiko tersebut terdiri dari:

a. Risiko Kredit;
b. Risiko Likuiditas;
c. Risiko Pasar;
d. Risiko Asuransi; dan
e. Risiko Operasional.

RBC diklaim bermanfaat untuk mengantisipasi berbagai risiko, dapat menentukan adanya risiko pailit dan mencegah risiko gagal bayar klaim, mengetahui kebutuhan modal dalam memenuhi kewajibannya atas risiko yang mungkin saja terjadi.

Selain itu, membantu pemerintah dalam mengetahui nilai aktual ekuitas, serta sebagai alat bantu nasabah mengetahui kondisi kesehatan keuangan perusahaan asuransi, sehingga nasabah bisa percaya dan membeli produk asuransi tersebut.

Namun demikian, jika melihat pada kasus-kasus default perusahaan asuransi yang justru terus terjadi saat telah menggunakan metode RBC, mengapa RBC tidak dapat mengantisipasi terjadinya risiko tersebut?

Jika kita telisik masih banyak kelemahan dari metode RBC, setidaknya antara lain:

1. Tidak cukup memberikan early warning signs

RBC dilaporkan secara triwulan dan merupakan past performance sehingga kurang dapat memberikan Early Warning Signs atas risiko yang akan terjadi atas kondisi tren pemburukan kesehatan keuangan perusahaan asuransi.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 36 tentang Akuntansi Asuransi Jiwa, yang ditujukan sebagai metode Early Warning System (EWS) perusahaan asuransi jiwa nyatanya juga tidak menjamin risiko overstated atau understated baik aset maupun liabilitas karena tetap menggunakan data dari unit kerja terkait.

2. Subyektifitas angka faktor risiko

Angka faktor risiko yang ditetapkan, sebagai pengurang nilai AYD memiliki subyektifitas alasan penetapan, tiering/spread risiko antarklaster ataupun komposit risiko serta deferensiasi angka risiko per masing-masing sektor.

Angka faktor risiko memang tidak berpengaruh signifikan pada perusahaan asuransi kecil. Namun akan berpengaruh signifikan pada perusahaan yang memiliki jumlah aset besar karena akan menjadi market maker.

Prosentasi pergerakan aset sedikit saja dapat mengubah tren harga pasar suatu instrumen investasi. Juga tidak adil terhadap perusahaan asuransi yang nyatanya telah memiliki sistem mitigasi risiko yang baik meskipun berinvestasi pada aset yang berisiko.

3. Kurang optimal mengukur sensitifitas

RBC kurang dapat memberikan gambaran real time atas sensitifitas nilai aset dan liabilitas, karena diukur hanya per periode laporan saja.

Selain itu komposisi portofolio aset perusahaan asuransi didominasi surat berharga capital market asset seperti obligasi dan saham, yang harganya fluktuatif dan sensitif tidak hanya terhadap suku bunga, namun juga terhadap sentiman pasar lainnya.

Sementara risk factoring pada RBC hanya mendasarkan pada risiko suku bunga dan risiko fundamental.

Demikian pula pada sisi liabilitas, RBC menyamaratakan diskonto untuk mencari nilai sekarang untuk semua produk walaupun profil dan jangka waktu berbeda-beda.

4. Belum mensyaratkan segregasi produk

Metode RBC menghitung solvabilitas dari total asset dan total liabilitas, tanpa melakukan segergasi per produk dan hanya memisahkan produk PAYDI.

Padahal profil setiap produk tentu beda, terutama pada pola arus kas, tenor dan suku bunga. Perbedaan ini akan berpengaruh pada valuasi nilai sekarang (Present value) asset dan liability saat ini, karena bagaimanapun sistem keuangan kita masih menggunakan rezim time value of money.

5. Ketidaksetaraan valuasi aset dan liabilitas

Hanya aset yang diperhitungkan dengan faktor risiko, sedangkan pada liabilitas tidak. Bahkan angka diskonto untuk valuasi nilai liabilitas seringkali tidak di-update sampai habis kontrak.

Kemudian angka aset dalam RBC rata-rata divaluasi dari market price dan real time/harian. Sementara nilai liabilitas hanya merupakan present value liabilitas dengan cara mendiskontokan nilai liabilitas masa depan dengan tingkat diskonto satu saat tertentu saja. Hal ini berpotensi besar melebarkan mismatch pada nominal dan durasi.

Adopsi dan penerapan IFRS 17 atau draft PSAK 74 mungkin akan sedikit mereduksi bias valuasi liabilitas ini, terutama dari sisi up date periode valuasi, namun tetap tidak dapat se-up date valuasi aset. Apalagi bila tetap menggunakan tenor jatuh tempo bukan durasi.

6. Belum menggambarkan pola cashflow

RBC hanya menghitung proyeksi dan risiko likuiditas berdasarkan jatuh tempo dan per nominal secara terpisah dan tidak per produk. Sehingga berpotensi menyebabkan kesalahan baru pada penempatan aset investasi selama kontrak asuransi.

Metode ALM mengatasi kelemahan metode RBC

Kegagalan pemenuhan kewajiban di perusahaan asuransi, sebagian besar dikarenakan adanya asset liability mismatch, baik secara nominal maupun waktu pembayaran.

Jadi penyebab masalah bisa dari hulu hingga hilir, bukan kesalahan pengelolaan investasi saja namun besar kemungkinan berawal dari mal design produk yang menyebabkan produk bleeding.

Di hilir, misalnya menjual produk asuransi jangka panjang, sementara menginvestasikan asetnya pada instrumen short term dengan yield tinggi sehingga sangat berisiko mengalami penurunan nilai apabila suku bunga mengalami penurunan.

Berbeda dengan industri keuangan lainnya, bisnis perusahaan asuransi adalah bisnis jangka waktu panjang dan sangat panjang, sehingga tentu penuh ketidakpastian. Hasil usaha bisa saja yang terjadi lebih baik dari yang diprediksikan, namun bisa juga lebih buruk.

Namun sebaliknya perusahaan memiliki tujuan yang pasti, yaitu untuk selalu profit, menjaga going concern sehingga valuasi perusahaan terus meningkat, termasuk dapat memenuhi semua kewajiban dengan baik.

Nah, Asset Liability Management (ALM) dapat membantu memberikan peta arah jalan untuk mencapai tujuan tersebut. ALM adalah suatu proses berkelanjutan untuk merumuskan, menerapkan, memantau, dan merevisi strategi yang berkaitan dengan pengelolaan aset dan kewajiban agar selalu sepadan d iantara berbagai kendala risiko tertentu.

ALM berguna bagi perusahaan asuransi yang umumnya menjual produk jangka panjang, namun menginvestasikan asetnya pada instrumen jangka pendek, menjual produk yang memberikan benefit fixed rate, sementara instrumen investasi rata-rata tidak dapat memberikan fixed rate karena adanya risiko pasar yang memengaruhi harga instrument investasi, juga rata-rata terjadi konflik atau deviasi nilai kontrak dengan nilai asset underlying.

Metode ALM secara teknis adalah cara bagaimana mengelola aset dan liability sedemikian rupa sehingga dapat memastikan suku bunga teknis dan uang pertanggungan dapat dipenuhi sesuai kontrak polis dan memberikan keuntungan jangka panjang untuk pemegang polis dan pemegang saham.

Dibandingkan dengan RBC, ALM mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya :

1. Dapat memberikan informasi nilai aset dan liability lebih riil karena masing-masing divaluasi dengan memasukkan risiko-risiko yang lebih luas dan spesifik per instrumen aset dan disegregasi per produk.

Segregasi portofolio underlying aset per produk adalah keharusan agar metode ALM dapat berfungsi efektif.

2. Selain ukuran solvabilitas, ALM sekaligus dapat memberikan informasi likuiditas, profitabilitas, dan rentabilitas serta going concern perusahaan.

3. Fungsi ALM yang paling penting adalah dapat memberikan early warning signs dan memberikan arah untuk strategics asset allocation (SAA) karena pada dasarnya pengelolaan investasi di perusahaan asuransi adalah disesuaikan dengan profil kewajiban/produk atau biasa disebut Liability Driven Investment.

4. Memberikan gambaran proyeksi nilai, pola, tenor, cashflow aset dan liability lebih akurat daripada metode RBC yang hanya memisahkan jangka waktu saja.

ALM mengombinasikan time to maturity dengan reinvestment rate yang biasa disebut durasi. Penghitungan durasi portofolio aset dan liability akan menjadi faktor utama dalam proses ALM.

5. Memastikan terjadi kondisi matching asset liability, baik secara nominal maupun durasi

6. Sebagai alat preventif saat terjadi mismatch ataupun potensi mismatch, baik mismatch nominal, durasi maupun suku bunga.

7. Dapat mengidentifikasi risiko mana yang dominan pada setiap instrumen investasi/asset

8. Dapat menganalisa secara cepat dampak dari risiko terhadap nilai dan pola cashflow asset maupun liability

9. Sebagai alat penilaian dan pengelolaan risiko sehingga dapat secara cepat dan tepat memitigasi, mengeliminasi dan mentransfer risiko.

Setiap perusahaan asuransi bisa jadi memiliki arsitektur ALM berbeda-beda, karena perbedaan produk yang dijual, infrastruktur manajemen risiko dan investasi serta kehandalan sistem informasi akuntansi keuangan yang dimiliki.

Namun arsitektur ALM yang dimiliki minimal harus dapat menjawab pertanyaan mendasar antara lain:

  • Produk mana yang menghasilkan atau rugi terus menerus?
  • Bagaimana rate of return dari produk kita dan atau berapa yield dari masing-masing aset investasi?
  • Berapa modal yang dibutuhkan dalam waktu X tahun?
  • Apa pengaruh penurunan margin terhadap Pendapatan dan Modal Bersih perusahaan?
  • Apa yang terjadi pada pendapatan perusahaan apabila suku bunga naik tajam dalam jangka pendek?
  • Apa pengaruh pemasaran produk baru terhadap Likuiditas, Modal dan Pendapatan?
  • Bagaimana dan berapa pricing produk yang tepat?

Pekerjaan ALM berturut-turut adalah 1) memproyeksikan cashflow asset dan kewajiban, menemukan pola cashflow masing-masing per produk, 2) melakukan strest test terhadap berbagai faktor risiko, melakukan duration matching, 3) Melakukan imunisasi portofolio asset terhadap risiko, 4) strategic asset allocation

Jadi masih layakkah RBC?

Kembali kepada premis judul di atas, apakah RBC masih layak untuk mengukur kesehatan keuangan perusahaan asuransi di tengah kondisi risiko di industri asuransi dan ekosistemnya, misalnya risiko industri investasi, semakin beragam dan lebih dominan.

Selain itu, melihat bahwa beberapa perusahaan asuransi yang gagal bayar klaim ternyata secara historis sebelumnya selalu membukukan RBC positif.

Lalu apakah memiliki RBC tinggi berarti bebas risiko? Misalnya, RBC beberapa perusahaan asuransi jiwa berada di atas 1000 persen, apakah berarti perusahaan asuransi tersebut sehat sekali dan bebas risiko?

Justru perusahaan yang memiliki RBC terlalu tinggi diduga tidak beroperasi secara optimal. Modal dan aset terlalu banyak menganggur, ujungnya justru dapat menurunkan ekuitas karena tidak ada peningkatan akumulasi laba.

Selain itu perusahaan tetap menghadapi risiko asset liability mismatch, apabila portofolio aset investasi lebih banyak ditempatkan pada instrumen yang memiliki durasi jauh lebih pendek ataupun ketinggian.

Pada kasus Jasindo, perusahaan BUMN ini dinilai tidak sehat karena membukukan RBC negatif dan mengalami kerugian selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2020 dan 2021 serta Triwulan II tahun 2022.

RBC Jasindo menjadi negatif ketika dilakukan restated pada laporan keuangan karena beberapa hal, yaitu: under reserved di liability, penurunan nilai portofolio investasi, serta dugaan mal-design produk kerjasama Asuransi Jiwa Kredit (AJK).

Sehingga sebenarnya penurunan RBC bukan karena miss-rsik management, namun lebih karena masalah lemahnya governance perusahaan.

Kasus kerugian dan mal-design produk AJK sebenarnya jamak terjadi di beberapa perusahaan asuransi, utamanya asuransi jiwa.

AJK adalah produk kerjasama dengan bank, merupakan asuransi dengan long term liability dan model bisnis reciprocal. Perusahaan asuransi harus menempatkan deposito pada bank tersebut sebaliknya bank memberikan bisnis asuransi kredit.

Produk AJK secara naturalnya oleh perusahaan asuransi jiwa, karena sifatnya dasar penanggungan risiko adalah jiwa, atau tidak cocok sebagai produk asuransi kerugian.

Sehingga jika AJK dijual oleh perusahaan asuransi umum, maka jelas di awal sudah terjadi missmatch bisnis.

Belum lagi apabila ternyata valuasi liability tidak tepat, misal dengan memperpendek atau membagi tenor liability agar sesuai dengan format produk asuransi kerugian, sehingga tentu penyajian angka liability akan understated.

Dari sisi aset investasi, reciprocal penempatan deposito kerjasama jelas rugi, karena bunga deposito kerjasama jauh lebih rendah dari bunga normal.

Jadi dari hulu bisnis produk AJK berpotensi menjadi produk bleeding, dan satu-satunya yang diharapkan untung menjual AJK adalah prospek untuk mendapatkan penutupan asuransi lanjutan dari individu nasabah-nasabah/debitur bank tersebut.

ALM dapat mengeliminir potensi-potensi mismatch dari awal, dengan meniadakan produksi bleeding, serta memberikan arah strategi penempatan investasi untuk mereduksi potensi kerugian. Karena ALM menyediakan “preventive strategies dan risk alert ” per produk asuransi.

Selama dua tahun Jasindo membukukan negatif RBC dan mengalami kerugian, namun perusahaan tidak terdengar mengalami gagal bayar klaim.

Namun jika governance tidak diperbaiki dan produk bleeding tetap dijual, maka akan menyebabkan asset liability gap semakin dalam yang dapat menggerus likuiditas dan bila semakin masif secara kuantitas serta frekuensi dapat terjadi gagal bayar.

Upaya perbaikan kondisi dengan melakukan efisiensi, misalnya PHK, adalah baik untuk mengurangi biaya saja.

Namun lebih tepat apabila yang dilakukan adalah segera menghentikan kontrak kerjasama /penjualan produk bleeding, segera membenahi governance internal dengan memutus mata rantai bad governance baik SDM maupun regulasi, memperbaiki strategic asset allocation melalui penerapan ALM secara bertahap.

Melihat pada profil produk asuransi umum yang rata-rata short term, maka ALM untuk perusahaan asuransi umum seharusnya lebih sederhana daripada perusahaan asuransi jiwa sehingga dapat diaplikasikan segera.

Masa depan ALM sebagai pasangan metode RBC

ALM merupakan proses atau metode yang dapat menyempurnakan metode RBC. Sifatnya lebih preventif, dapat memberikan Early Warning Signs secara real time, sementara RBC merupakan data past performance tepat ketika laporan RBC disajikan.

Kombinasi penerapan ALM, RBC, dan PSAK 36 akan efektif apabila perusahaan asuransi juga telah mengadopsi IFRS 17 (draft PSAK 74), karena dalam proses ALM harus dilakukan segregasi produk dan underlying aset masing-masing.

Proses ini ada dalam IFRS 17, termasuk revaluasi liability secara periodik, walaupun belum real time seperti valuasi aset investasi.

ALM untuk menjaga kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan juga IFRS 17 telah lama diterapkan di negara-negara maju dan negara-negara Asia seperti Singapura dan India.

Semoga segera menyusul diterapkan di industri perasuransian Indonesia. Tentu harus dengan infrastruktur dan regulasi terpadu antarpelaku dalam ekosistem bisnis perasuransian, sehingga tidak akan terdengar lagi berita ambruknya perusahaan asuransi.

https://money.kompas.com/read/2022/12/05/095612226/masih-layakkah-rbc-untuk-mengukur-kesehatan-perusahaan-asuransi

Terkini Lainnya

Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Whats New
Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Whats New
Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Whats New
Produsen Cetakan Sarung Tangan Genjot Produksi Tahun Ini

Produsen Cetakan Sarung Tangan Genjot Produksi Tahun Ini

Rilis
IHSG Melemah Tinggalkan Level 7.300, Rupiah Naik Tipis

IHSG Melemah Tinggalkan Level 7.300, Rupiah Naik Tipis

Whats New
Sempat Ditutup Sementara, Bandara Minangkabau Sudah Kembali Beroperasi

Sempat Ditutup Sementara, Bandara Minangkabau Sudah Kembali Beroperasi

Whats New
Sudah Salurkan Rp 75 Triliun, BI: Orang Siap-siap Mudik, Sudah Bawa Uang Baru

Sudah Salurkan Rp 75 Triliun, BI: Orang Siap-siap Mudik, Sudah Bawa Uang Baru

Whats New
Harga Naik Selama Ramadhan 2024, Begini Cara Ritel Mendapat Keuntungan

Harga Naik Selama Ramadhan 2024, Begini Cara Ritel Mendapat Keuntungan

Whats New
Mentan Amran Serahkan Rp 54 Triliun untuk Pupuk Bersubsidi, Jadi Catatan Sejarah bagi Indonesia

Mentan Amran Serahkan Rp 54 Triliun untuk Pupuk Bersubsidi, Jadi Catatan Sejarah bagi Indonesia

Whats New
Kasus Korupsi PT Timah: Lahan Dikuasai BUMN, tapi Ditambang Swasta Secara Ilegal

Kasus Korupsi PT Timah: Lahan Dikuasai BUMN, tapi Ditambang Swasta Secara Ilegal

Whats New
4 Tips Mengelola THR agar Tak Numpang Lewat

4 Tips Mengelola THR agar Tak Numpang Lewat

Spend Smart
Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis, Stafsus Erick Thohir: Kasus yang Sudah Sangat Lama...

Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis, Stafsus Erick Thohir: Kasus yang Sudah Sangat Lama...

Whats New
Menkeu: Per 15 Maret, Kinerja Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 56,5 Triliun

Menkeu: Per 15 Maret, Kinerja Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 56,5 Triliun

Whats New
Siap-siap, IFSH Tebar Dividen Tunai Rp 63,378 Miliar

Siap-siap, IFSH Tebar Dividen Tunai Rp 63,378 Miliar

Whats New
Harga Tiket Kereta Bandara dari Manggarai dan BNI City 2024

Harga Tiket Kereta Bandara dari Manggarai dan BNI City 2024

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke