Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Impor Beras Vs Produksi Dalam Negeri

DEBAT antara Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso versus Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI sungguh suatu ironi dan kurang elok ditonton publik.

Sebagai anak buah Bapak Presiden Joko Widodo yang bertugas bersama-sama, seharus mensukseskan target pemerintah, menyediakan cadangan beras pemerintah agar pasokan mencukupi dan mengendalikan inflasi.

Menurut catatan, inflasi karena harga beras menempati porsi tertinggi dibandingkan dengan pangan lainnya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan terkait beras satu sama lain belum dapat menyamakan presepsi, langkah, dan pola tindak dalam menyediakan beras untuk cadangan beras pemerintah.

Masing-masing pihak justru berpegang, berargumen menggunakan data dan fakta dengan acuan berbeda, sehingga tidak bisa diinterseksikan irisannya dan diuji kebenaran formal dan meterialnya.

Dirut Bulog berpegang kepada stok beras di gudang bulog hanya sekitar 600.000 ton, sehingga merasa tidak secure jika ada bencana, timbul konflik regional, atau global seperti invasi Rusia ke Ukraina yang tidak pernah diprediksi sebelumnya.

Dirut Bulog merasa bertanggung jawab sepenuhnya untuk menyangga dan menstabilisasi harga beras nasional melalui operasi pasar sampai musim panen raya berikutnya.

Apalagi cadangan beras di pasar dunia juga tidak banyak (tipis), karena semua negara main aman (safety player) agar tidak terguncang ketika harga beras terus melambung.

Sementara Dirjen Tanaman Pangan berpegang data rilis BPS sebagai satu satunya data yang disepakati dan resmi. Bahkan saking yakinnya, tim produktivitas yakin beras itu ada di lapangan.

Pertanyaan fundamentalnya, kalau beras itu benar ada di lapangan, siapa yang menguasai? Jika d itangan petani seperti saat panen raya tentu berbeda kondisinya jika beras sudah dikuasai oleh konglomerasi.

Apa yang bisa dilakukan oleh Bulog dan Kementerian Pertanian untuk mengisi cadangan beras Bulog kalau beras sudah dikuasai konglomerasi?

Celakanya, Komisi IV yang membidangi Pertanian, Perikanan, Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak melakukan pengawasan stok yang ketat sebelum panen raya Februari-April 2022 dan Juli-Agustus saat panen gadu.

Padahal Komisi IV sering memanggil Kementerian Pertanian dan Bulog. Pertanyaannya, apakah stok beras Bulog saat panen raya tidak dibahas?

Sekarang semua saling panik pada akhir tahun, saat injury time, yaitu perayaan Natal dan Tahun Baru 2023. Pemerintah ingin menetapkan agar harga pangan pokok utamanya beras terkendali, agar inflasi tidak melonjak dan rakyat menikmati akhir tahun dengan tenang.

Jurus yang dipakai para pihak tidak mau mengambil risiko, main aman, tetapi pihak satunya diminta memenuhi gudang selama enam hari sebanyak 600.000 ton.

Masalahnya saat ini menjelang akhir tahun, ketika harga mulai terkerek persiapan Natal dan Tahun Baru dan kena imbas pergolakan pangan global akibat Pandemi Covid-19 dan ditambah lagi perang Rusia versus Ukraina.

Sangat tidak logis, tidak masuk akal, karena sekalipun ada barangnya, harga beras sudah mahal.

Saat ini pemilik beras pasti menahan barang karena panen raya sudah lewat dan sebentar lagi masuk Natal dan Tahun Baru. Harapan mereka harga beras akan naik sehingga memperoleh keuntungan besar.

Stok beras di gudang versus data BPS

Debat antara stok beras di gudang Bulog dengan data BPS meskipun “kelihatannya ada korelasinya”, tetapi faktanya seringkali tidak nyambung.

Stok beras di gudang Bulog dapat dipenuhi jika Bulog mampu memaksimalkan serap produksi dalam negeri terutama saat panen raya Februari-April dan Juli-Agustus.

Pada periode itulah peran Bulog harus dimainkan, yaitu menyerap pasokan gabah yang melimpah tetapi harganya anjlok dengan harga pokok pembelian pemerintah (HPP), sehingga Bulog bisa maksimal menyerap gabah petani untuk memenuhi stok beras di gudang.

Saat panen raya, pasokan gabah melimpah, harga anjlok. Saat itulah kehadiran Bulog sangat ditunggu dan diperlukan agar harga gabah tidak dipermainkan tengkulak dan risiko anjloknya harga jual gabah petani dapat dimitigasi.

Jika gabah saat panen raya dikuasai oleh pemilik modal yang memiliki RMU modern, maka harga berasnya langsung melambung. Pasalnya, mereka akan menjual beras setelah panen raya saat pasokan menipis.

Biasanya Bulog seringkali kesulitan menyerap dengan harga dari konglomerasi, karena Bulog dibatasi dengan HPP, apalagi rastra sudah lepas dari genggaman Bulog.

Bisa saja Bulog membeli dengan uang pinjaman komersial, tetapi biasanya jumlahnya tidak bisa banyak.

Repotnya lagi, sebagian besar pengadaan beras Bulog lebih banyak dilakukan melalui pihak ketiga, sehingga harganya sudah naik karena harus ditambah keuntungan pihak ketiga dan pajak.

Bulog yang sudah lama berdiri dan sejak lama memiliki privilege raskin sejak orde baru, kok kondisi infrastruktur RMU kalah dibandingkan pengusaha swasta yang semua modal, infrastrukturnya dibiayai dengan modal komersial.

Ironinya lagi, penguasaha swasta tersebut sebagian besar mitra Bulog. Pendapat ini penulis dapatkan ketika menjadi Penangung Jawab serap gabah petani Kerjasama Kementerian Pertanian, TNI Angkatan Darat, dan Bulog.

Swasta umumnya efisien dan produktif dalam bekerja maupun jumlah sumber daya manusia yang bekerja, sehingga daya saingnya tinggi.

Bulog perlu melakukan transformasi bisnis maupun sumber daya manusianya, sehingga biaya produksinya menjadi lebih kompetitif.

Jika Bulog mampu membeli gabah langsung dari petani dan memiliki Rice Mill Unit yang modern, maka gabah yang dibeli dari petani akan lebih baik, dapat dikeringkan, diproses dan dipasarkan langsung oleh Bulog baik melalui skema bantuan rastra, bantuan pangan non tunai, maupun skema komersial.

Kementerian Pertanian juga sayangnya sedari awal kurang aware dan terlalu over confident bahwa produksi cukup di lapangan, sehingga sinergi dengan Bulog untuk menyerap gabah petani saat panen raya seperti dilakukan kurang optimal.

Padahal periode 2016-2018, Kementerian Pertanian dan Bulog mampu mencetak rekor besar dalam dalam menyerap gabah petani.

Dirjen Tanaman Pangan mungkin lupa bahwa di lapangan Bulog seringkali kalah bersaing melawan swasta yang berani membeli dengan harga di atas HPP.

Swasta memproses sendiri dan menghasilkan beras premium, dengan by product berupa bekatul, dedak, sekam dan menir, semua itu ada nilai ekonominya, sehingga swasta bisa membeli gabah dengan harga di atas HPP.

Komando Strategi Penggilingan Padi (Kostraling) yang ada tidak dioperasionalkan dengan maksimum, sehingga tidak mampu menjembatani (bridging) petani dan Bulog.

Mestinya dengan memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kostraling dapat memainkan fungsi intermediasi petani dengan Bulog, sehingga ketika panen raya gabah tidak dikuasai oleh konglomerasi.

Hal yang lebih mendistorsi antara impor atau serap gabah dalam negeri selain yang telah diuraikan, Bulog sebagai badan usaha milik negara wajib mendatangkan keuntungan.

Sementara harga gabah sudah naik karena bukan periode panen raya. Kemudian kekhawatiran terjadinya shortage cadangan beras Bulog, kekhawatiran terjadinya inflasi yang tinggi, pengamanan Natal dan Tahun Baru dan satu lagi yang paling fundamental adalah, harga beras Impor jauh lebih murah dibandingkan harga beras dalam negeri.

Impor beras jelas lebih menarik dan menguntungkan bagi Bulog dari berbagai sisi, meskipun sangat berbahaya dalam jangka menengah.

Pasalnya, Indonesia kehilangan devisa, mendistorsi harga beras produksi dalam negeri, dan bisa mengguncang swasembada beras nasional, kalau setiap saat Pemerintah mengambil jalan pintas impor beras, kurang mengoptimalkan penyerapan produksi beras dalam negeri.

Kita semua harus belajar dari ambruknya swasembada kedelai nasional, yang semakin hari makin mengenaskan. Bisa dikatakan hampir mustahil swasembada itu diraih kembali, karena 95 persen kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi melalui impor.

Kita harus kompak dari awal. Presiden, Badan Pangan Nasional, Menko Perekonomian semestinya setiap saat memantau komoditas strategis nasional seperti beras agar tidak disergap kartel pangan yang maruk keuntungan sesaat dan sesat.

Sebagai negara berpenduduk 270 juta jiwa tentu menjadi incaran dan rebutan negara-negara produsen pangan dunia untuk menjadi pasar potensialnya.

Debat konvensional antara impor beras atau memenuhi dari produksi dalam negeri sudah berlangsung lama. Artinya solusi yang dilakukan selama ini parsial, temporer dan tidak menyelesaikan masalah fundamental. Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah?

Join Project dan Monitoring

Join project produksi, penyerapan gabah dan monitoring yang transparan dan akuntabel antara Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Badan Pangan Nasional di bawah Koordinasi Menko Perekonomian sudah seharusnya dilakukan secara real time.

Argumennya, monitoring yang transparan memungkinkan semua pihak dapat melihat kemampuan dan kinerja masing-masing dalam produksi dan penyerapan harga.

Apalagi zaman IT yang serba modern, lokasi pengolahan tanah, tanam, fase vegetatif, panen dapat dipantau secara real time, sehingga kemampuan produksi padi dapat diketahui publik.

Stok gudang bulog juga harus transparan dilaporkan, sehingga Menko Perekonomian dapat memantau kinerja masing-masing pemangku kepentingan.

Monitoring sangat penting, karena jika publik mengetahui secara terbuka, maka keputusan importasi juga akan lebih mudah diterima masyarakat.

Sebaliknya jika importasi tidak didasari argumen yang kuat, pasti publik akan menilai siapa yang kinerjanya tidak baik dan siapa yang memanfaatkan impor untuk kepentingan di luar pemenuhan pangan nasional.

Presiden juga perlu mendapatkan laporan yang utuh agar dapat mengambil keputusan penting jika terjadi anomali produksi dan atau impor beras.

Ironis, kita baru saja mendapatkan piagam dari FAO dan tinta itu belum kering tanda tangannya, tetapi Indonesia harus mengumumkan akan mengimpor beras 600.000 ton agar cadangan beras bulog mencapai 1,2 juta ton.

Mengapa tidak pemerintah membangun sistem informasi pengambilan keputusan yang dapat dibangun oleh Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) sebagai alat bantu pengambilan keputusan (decision support system tool), apakah produksi padi cukup atau kurang, di mana, berapa, sehingga cepat diambil keputusan.

Impor dan ekspor sesunggunya merupakan hal normal. Namun untuk pangan, utamanya beras, kita harus ekstra hati-hati karena dampaknya bisa merugikan negara dan rakyat, baik dalam pasokan, harga dan kedaulatan pangan dalam jangka panjang.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian perlu segera mengambil langkah koordinasi dan sinkronisasi, agar bola liar diskusi publik yang kontra produktif tentang pangan dapat dihentikan dan dicari solusinya.

Pesan moralnya, beras jangan dipolitisasi, apalagi dimainkan untuk kepentingan sesaat untuk mengeruk margin.

Jika itu tetap dilakukan, maka yakinlah bahwa beras pada saatnya nanti akan membuat pusing semua orang, yaitu ketika kedaulatan beras nasional ambruk seperti halnya kedelai.

Jika sudah masuk perangkap pangan, maka Indonesia bisa menjadi pasar pangan permanen bagi produsen beras dunia dan akan menguras devisa sangat besar.

*Analis Kebijakan Utama, Kementerian Pertanian

https://money.kompas.com/read/2022/12/05/111955026/impor-beras-vs-produksi-dalam-negeri

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke