Tampaknya, kebijakan impor nihil efek dalam mengendalikan harga beras yang kian melambung.
Pasalnya, belum terlihat intervensi pasar oleh Bulog pascakedatangan beras impor. Keputusan impor yang terkesan prematur justru tak diimbangi dengan kecepatan sirkulasi pengendalian harga di pasar.
Padahal, Bulog telah mendatangkan 24.000 ton beras impor asal Vietnam dan Thailand dengan rincian sebanyak 10.000 ton masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok, 10.000 ton di Pelabuhan Merak, dan 4.000 ton melalui Pelabuhan Panjang.
Bulog harus membuktikan bahwa impor beras memang ditujukan untuk kepentingan pengadaan beras nasional, bukan justru disimpan tanpa alasan yang jelas.
Artinya, kebijakan impor belum berdampak signifikan dalam mengendalikan harga beras domestik, mengingat Bulog yang mewakili pemerintah pernah sesumbar bahwa kebijakan impor beras ditujukan untuk mempertahankan kecukupan cadangan beras dan meredam kenaikan harga beras medium.
Awal tahun, produksi beras memang menurun, dan biasanya pasar mulai diguyur beras pada awal Maret yang merupakan musim panen pertama.
Sehingga beras impor diproyeksikan mengisi kekosongan stok mulai dari akhir tahun hingga Februari dan harga beras sudah stabil meski belum memasuki masa panen raya.
Namun sayangnya, saat beras impor mulai masuk ke Indonesia, Bulog belum juga melepas beras impor secara merata untuk intervensi pasar. Jangan sampai kebijakan impor beras terkesan populisme semata.
Di awal, keputusan impor disebutkan untuk kepentingan pangan nasional. Namun, saat beras impor sudah masuk, Bulog seakan tak rela mengguyur pasar dengan beras tersebut.
Beras dari Perum Bulog yang diharapkan memenuhi kebutuhan pasar justru belum terbukti ampuh meredam lonjakan harga.
Padahal skema operasi pasar yang dijalankan sudah sangat baik di mana Bulog mengguyur beras ke pedagang dengan harga Rp 8.300 per kg dan pedagang bisa menjual dengan harga maksimal Rp 8.900 per kg.
Namun diduga karena keterbatasan stok, operasi pasar Bulog stagnan. Ini disebabkan karena lambannya sirkulasi yang diatur oleh Bulog saat harga beras naik.
Saat harga naik, Bulog tak bergerak cepat untuk mengisi kekosongan stok beras di pasar. Maka, tak heran kekosongan stok akan diisi oleh pengusaha-pengusaha skala besar, sehingga membuat pangsa pasar yang dikuasai Bulog relatif sangat kecil.
Menilik ke belakang, sebenarnya kenaikan harga beras bermanfaat karena dapat meningkatkan pendapatan bersih petani.
Namun, perlu digaris bawahi petani di Indonesia mayoritas berskala kecil menengah, sehingga kenaikan harga beras hanya akan menguntungkan petani kaya, tidak bagi petani miskin.
Meski harga beras dapat meningkatkan harga gabah dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi kenaikan harga beras juga dapat meningkatkan pengeluaran rumah tangga petani.
Ini merupakan dilema saat harga beras naik. Di satu sisi, kenaikan harga diperlukan untuk mendorong produksi beras yang dibutuhkan untuk menjaga ketahanan pangan.
Namun di sisi lain, kenaikan tersebut dapat meningkatkan kemiskinan, termasuk di kalangan petani padi itu sendiri.
Terbukti, sejalan dengan kenaikan harga beras dan harga pangan pokok lainnya yang dimulai pada Agustus tahun lalu, tingkat kemiskinan ikut meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada September 2022, tingkat kemiskinan mencapai 9,57 persen, naik tipis dari Maret 2022, yakni sebesar 9,54 persen.
Dalam teori ekonomi memang tidak ada pedoman yang jelas, apakah harga yang tinggi untuk komoditas pokok seperti beras berdampak baik atau buruk bagi masyarakat miskin.
Namun, bukti empiris dari berbagai riset menunjukkan bahwa harga beras yang tinggi merugikan sebagian besar rakyat Indonesia dan hanya menguntungkan segelintir orang.
Oleh karena itu, untuk menghindari rent-seeking impor beras, pemerintah harus menciptakan lingkungan kebijakan yang netral di mana harga domestik dijaga mendekati tingkat harga dunia dalam jangka panjang.
Hal ini akan memberikan sinyal harga yang tepat kepada petani tentang alokasi sumber daya untuk produksi beras, sambil memastikan bahwa mayoritas penduduk, termasuk sebagian besar penduduk miskin, tidak dirugikan oleh harga beras yang tidak natural.
Jika pemerintah ingin mengendalikan jumlah beras yang diimpor dengan menggunakan kuota dan izin, sekaligus berupaya menstabilkan harga, pemerintah perlu memiliki data produksi, konsumsi, dan stok yang akurat, termasuk prakiraan impor yang akurat.
Satu pelajaran yang dapat ditarik dari polemik pengelolaan beras adalah perlunya peningkatan kualitas data, termasuk menyesuaikan metodologi untuk estimasi produksi dan estimasi konsumsi oleh rumah tangga, industri, dan untuk kebutuhan lainnya.
Namun permasalahnya, setiap kementerian yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan beras merasa paling benar dengan data yang mereka miliki. Sejauh ini belum terlihat upaya serius untuk menyatukan data tersebut.
Sehingga, wajar saja masih terjadi kesalahpaham dalam menerjemahkan kebutuhan impor beras. Jika pemerintah merancang kebijakan impor tanpa data dan estimasi yang akurat, maka pemerintah akan sangat mudah terjebak dalam populisme kebijakan yang sebenarnya sama sekali tidak tepat dalam mengendalikan harga beras nasional.
https://money.kompas.com/read/2023/01/19/170253126/impor-dibuka-harga-beras-tetap-naik-apa-yang-salah