Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tantangan Pendanaan Hijau

Pujian, misalnya, datang dari Perdana Menteri Inggris Raya, Rishi Sunak, dalam pidatonya di Parlemen, 17 November 2022, memuji kesuksesan G20 Indonesia yang berhasil diselenggarakan di tengah “krisis ekonomi global terburuk sejak 2008.” Secara khusus, PM Inggris berdarah Asia ini mengapresiasi kemauan Indonesia untuk menyepakati Kerjasama Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia.

Lembaga riset terkemuka International Energy Agency (IEA) menyatakan, JETP Indonesia adalah “tonggak penting dalam era baru kerja sama iklim internasional”. Sebagai sebuah komitmen politik, JETP ini merupakan kerja sama untuk pembangunan hijau atau rendah karbon antara Pemerintah Indonesia dengan Kelompok Mitra Antarnegara atau International Partners Group (IPG), pimpinan Amerika Serikat dan Jepang (Gov.uk, 15/12/2022).

IPG beranggotakan negara-negara ekonomi maju yakni Inggris, Jerman, Prancis, Uni Eropa, Kanada, Italia, Norwegia, dan Denmark. Di satu sisi, kerja sama itu menunjukkan bahwa negara-negara besar makin memperhatikan peran Indonesia dalam kancah politik dunia.

Namun di sisi lain, para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah dan publik, harus kritis menyikapi potensi pendanaan hijau ini. Sebab, adopsi agenda pembangunan rendah karbon tak bebas dari berbagai tantangan.

Ambivalensi Kebijakan

Secara internal, JETP menambah ‘tumpukan’ komitmen Indonesia terhadap agenda pembangunan hijau. Sebelumnya, lewat PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, Indonesia menargetkan penggunaan energi terbarukan minimum sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.

Indonesia juga telah meratifikasi Perjanjian Paris, yang ditransformasikan ke dalam UU Nomor 16 Tahun 2016 (Tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

Tumpukan regulasi itu, sayangnya, bertentangan dengan beberapa data terkait. Misalnya, realisasi potensi sumber energi terbarukan di Indonesia nyatanya masih seret, baru sekitar 5-8 persen. Selain itu, alih-alih turun, produksi listrik berbasis batu bara di Indonesia terus meningkat, dari nol pada 1971 menjadi 64 persen dari total penyediaan listrik pada 2020 (IESR Indonesia, 2020).

Dalam Nota Keuangan 2022, batu bara disebut sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan. Sepanjang 2021-2022, kenaikan harga batu bara mengganjar Indonesia ‘rejeki nomplok’ (windfall profits). Batubara menyumbang sekitar 5-6 persen dari PDB nasional Indonesia—angka yang signifikan tentunya.

Signifikansi batu bara terhadap ekonomi dan bauran energi di Indonesia merefleksikan ambivalensi kebijakan yang menjadi tantangan utama bagi, tak hanya JETP, tetapi juga agenda pembangunan rendah emisi karbon pada umumnya.

Di satu sisi pemerintah terus menumpuk komitmen demi komitmen atas pembangunan hijau. Di sisi lain sumber energi tak terbarukan tetap jadi primadona ekonomi.

Selain itu, sedianya JETP Indonesia memobilisasi dana sekitar 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 300-an triliun dalam 3-5 tahun ke depan. Salah satu tujuan utamanya: ‘menyuntik mati’ beberapa PLTU batu bara.

Namun, Indonesia jelas harus jeli melihat bahwa potensi dana tersebut bukan tanpa ‘syarat dan ketentuan (S&K) berlaku’. Beberapa ahli mewanti-wanti. Bukan tak mungkin pendanaan tersebut datang dalam skema utang atau pinjaman lunak.

Mekanisme utang itu umum dilakukan oleh negara-negara maju untuk negara-negara berkembang. Profesor Jeffery Sachs dari Columbia University, AS, sebagai contoh, menyebut skema utang itu sebagai bentuk neokolonialisme.

Sebagai informasi, JETP Indonesia merupakan inisiatif kedua setelah JETP Afrika Selatan (Afsel) yang disepakati pada COP26 di Glasgow, Skotlandia tahun 2021. Bekerja sama dengan IPG, JETP Afsel juga rencananya memobilisasi dana awal 8,5 miliar dollar AS untuk mengkatalisasi transisi energi di negara tersebut.

Sesuai prediksi, pendanaan tersebut didominasi oleh pinjaman lunak alias utang untuk pemerintah maupun swasta (katadata.co.id, 18/11/2022).

Skema ‘utang’ hijau itu, jika terealisasi di Indonesia dan jika tak hati-hati dikelola, pada akhirnya jelas akan makin membebani fiskal negara. Secara politik, publik mafhum bahwa isu utang tentu telah menjadi perhatian banyak pihak.

Sampai beberapa bulan ke depan, rencana implementasi JETP masih dalam proses perumusan—setidaknya sampai pertengahan atau akhir tahun 2023 ini. Karenanya, para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah perlu hati-hati dalam menyepakati skema pendanaan itu.

Jangan Gagap Hijau

Agenda ekonomi rendah karbon, sebagaimana diusung JETP, tentu punya tujuan yang mulia: keberlanjutan umat manusia (people) dan bumi (planet), namun tetap menekankan pentingnya kemajuan ekonomi (profit).

Akan tetapi, alangkah perlunya Indonesia tak gagap terhadap agenda hijau global. Hadirnya IPG sebagai mitra utama JETP merefleksikan besarnya pengaruh negara-negara maju dalam agenda rendah karbon itu.

Perlu diingat, kemajuan negara-negara itu dulu sumber utama energinya adalah batu bara. Pada masanya, Barat menjadi konsumen batu bara terbesar di dunia. Ditemukannya ladang batu bara di Indonesia kenyataanya juga karena tingginya permintaan dari Barat, khususnya pada masa kolonial.

Pada kenyataannya, kemajuan ekonomi Indonesia memerlukan sokongan energi yang signifikan. Hingga saat ini, sayangnya, sumber energi tak terbarukan khususnya batu bara adalah yang paling bisa dijangkau. Sembari sumber energi terbarukan terus dikaji dan direalisasikan, penggunaan sumber energi tak terbarukan tak dapat dielakkan.

Menyikapi kondisi ini, penting bagi Indonesia untuk senantiasa bijak dan strategis dalam mengadopsi skema pembiayaan dan pembangunan hijau. Dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya hingga akhir 2023, perlu dirumuskan sebaik-baiknya bagaimana skema pendanaan hijau lewat JETP dapat membantu Indonesia mengadopsi pembangunan rendah karbon secara perlahan dan bertahap tapi efektif.

Pada akhirnya, JETP tetaplah langkah penting bagi Indonesia untuk menciptakan kemajuan berbasis ekonomi hijau. Komitmen itu akan menjadi pengingat berbagai pemangku kepentingan bahwa pembangunan hijau menjadi jaminan perbaikan ekonomi bagi generasi-generasi selanjutnya.

https://money.kompas.com/read/2023/01/28/095406326/tantangan-pendanaan-hijau

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke