Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Kecanduan Impor Gula

Diperkirakan, kuota impor gula konsumsi mencapai 991.000 ton dan gula rafinasi 3,6 juta ton, sehingga total mencapai sekitar 4,6 juta ton.

Dari pengalaman beberapa tahun terakhir, realisasi impor gula pada 2023 diprakirakan melampaui besaran kuota tersebut, baik karena kemungkinan penambahan kuota atau karena pengiriman barang kuota tahun sebelumnya.

Besar kemungkinan realisasi akan melampaui kuota, jika berkaca pada data impor gula dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebanyak 5,48 juta ton dengan nilai mencapai 2,38 miliar dollar pada 2021.

Sementara untuk data resmi 2022 belum dirilis oleh BPS. Meskipun begitu, diprakirakan tak jauh berbeda dalam hal volume dengan 2021, yakni di kisaran 5 juta ton.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa volume atau jumlah gula yang diimpor cenderung meningkat selama kurun tahun 2015-2021, meski sempat terjadi penurunan pada tahun-tahun tertentu.

Impor pada tahun 2014 tercatat masih sebesar 2,93 juta ton, tapi saat ini sudah mencapai sekitar 5 juta ton.

Pada saat bersamaan, produksi dalam negeri justru cenderung menurun perlahan. Dari sebesar 2,58 juta ton pada tahun 2014 menjadi 2,35 juta ton pada tahun 2021.

Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula hingga tahun 1930-an dengan mengekspor gula sebanyak 2,4 juta ton per tahun. Sedangkan produksinya di kisaran 3 juta ton.

Pada saat itu, Indonesia menjadi eksportir nomor dua di dunia, hanya kalah dari Kuba.

Era kejayaan tersebut kemudian memudar pada masa akhir pemerintahan Belanda karena berbagai faktor. Dan pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan pun tidak berhasil mengembalikannya.

Lalu beberapa tahun belakangan, nasib Indonesia berbalik arah menjadi pengimpor gula kelas wahid. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari-November 2018, impor gula mencapai 4,6 juta ton atau meningkat dibandingkan periode yang sama 2017 sebesar 4,48 juta ton.

Atas data tersebut, Indonesia berada di urutan pertama negara pengimpor gula terbesar di dunia pada periode 2017-2018 dengan volume impor 4,45 juta ton.

Indonesia mengungguli Tiongkok yang berada di posisi kedua dengan 4,2 juta ton dan Amerika Serikat dengan 3,11 juta ton.

Tak pelak, ekonom sekelas Faisal Basri ketika itu akhirnya berteriak di ruang publik. Faisal merasa heran dengan kenaikan impor yang signifikan pada periode tersebut.

Padahal, saat itu tidak ada kenaikan konsumsi gula yang tinggi, walaupun di sisi lain ada penurunan produksi di dalam negeri.

Karena impornya tinggi, stok nasional semakin banyak. Sehingga dapat dipahami mengapa kemudian Faisal mencurigai lonjakan impor tersebut terkait dengan praktik rente para mafia yang menguasai pasar.

Penyiasatan pemerintah pun terlihat cukup "tricky", sebagaimana dicurigai juga oleh ekonom Faisal Basri.

Lihat saja, dengan dalih untuk melindungi produsen gula dalam negeri, pemerintah justru menyiasatinya dengan membuat pengkategorian jenis gula, yakni membedakan antara gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri dan gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi masyarakat.

Padahal, impor gula hanya untuk pemenuhan GKR industri, namun dalam perkembangannya GKR justru juga digunakan untuk instrumen stabilisasi harga konsumen.

Artinya, gula tersebut akan sewaktu-waktu ikut bermain di pasar umum untuk konsumen umum. Jadi sangat bisa dipahami mengapa pada akhirnya Indonesia menduduki posisi negara importir gula terbesar di dunia.

Sengkarut berawal di saat Kementerian Perindustrian menargetkan kebutuhan industri terhadap gula rafinasi sebesar 2,8 juta ton tahun itu, sementara Kementerian Perdagangan hanya memberikan kuota impor sebanyak 3,6 juta ton.

Kuota tersebut dibagi dalam dua semester, yakni semester satu 1,73 juta ton dan semester dua 1,87 juta ton. Namun, realisasi yang terjadi pada semester I 2018 hanya mencapai 1,56 juta ton.

Hal tersebut menggambarkan bahwa industri tidak membutuhkan gula rafinasi sebanyak yang direncanakan pada awal 2018. Akhirnya, Kementerian Perdagangan merevisi kuota dari 3,6 juta ton menjadi 3,15 juta ton.

Namun pada semester II 2018, kuota impor justru melejit hingga realisasi pada akhir 2018 tercatat 3,37 juta ton.

Meskipun masih memenuhi kuota impor saat awal sebesar 3,6 juta ton, namun meleset dari target revisi tengah tahun sebanyak 3,15 juta ton. Realisasi impor itu di luar impor gula untuk konsumsi sebesar 1,01 juta ton pada 2018.

Dengan fakta tersebut, berkemungkinan besar gula yang diimpor tidak hanya untuk kebutuhan industri, namun juga untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian masih bertahan dengan alasan kekurangan stok dalam negeri.

Pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengakui bahwa permintaan impor gula industri terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan volume impor gula industri tersebut dipicu oleh permintaan dari industri yang juga tumbuh.

Namun lucunya, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan tak pernah berbicara tentang perbaikan kapasitas produksi gula dalam negeri, seolah-olah solusi satu-satunya hanya impor.

Bahkan tahun 2018, Menteri Perdagangan kala itu malah menyalahkan produk gula dalam negeri. Alasannya, kadar gula dalam negeri tidak sesuai dengan kebutuhan industri makanan dan minuman.

Menurut beliau, berdasarkan standar internasional, kadar gula Indonesia memiliki tingkat International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) yang tinggi.

Sementara, yang dibutuhkan untuk industri makanan dan minuman harus dalam level rendah. Logika tersebut kemudian menjadi latar kenaikan permintaan impor gula industri.

Memang, jika kita telusuri kemampuan produksi gula nasional, ternyata kapasitasnya terus merosot, pun lahan tebu yang juga terus berkurang.

Pada tahun 2014, lahan tebu masih 450.000 hektar. Tahun 2016 merosot menjadi 425.000 hektar. Tahun 2017 terjadi lagi penurunan 5.000 menjadi 420.000 hektar.

Dengan penurunan luas lahan tersebut, produksi gula nasional ikut merosot. Dari data yang ada terlihat, pada 2014 produksi gula nasional masih mencapai 2,5 juta ton, namun pada tahun 2015 turun menjadi 2,4 juta ton, lalu 2016 kembali turun menjadi 2,2 juta ton, dan 2017 turun menjadi 2,1 juta ton.

Fakta tersebut berseberangan dengan tingkat kebutuhan gula nasional. Untuk gula konsumsi saja, produksi nasional tak mampu memenuhi.

Untuk tahun 2018 lalu, misalnya, kebutuhan konsumsi gula nasional tercatat sekitar 3,2 juta ton. Sementara itu, total produksi nasional diperkirakan hanya 2,1 juta ton. Sementara secara keseluruhan, kebutuham gula nasional berkisar 6 juta ton per tahun.

Kemampuan produksi nasional yang berada di bawah tingkat kebutuhan nasional tersebut, dalam konteks tertentu, dapat merasionalisasi kebijakan impor gula.

Namun jumlah impor yang terus membengkak, dan terkadang utak-atik angka impor yang dibutuhkan pun terkesan sangat dipaksakan, sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh ekonom Faisal Basri belum lama ini.

Lebih dari itu, sebelum terus-menerus bergantung pada impor, apalagi sampai terbiasa dengan penurunan produksi nasional, pemerintah perlu menunjukkan "sikap dan kebijakan strategis yang serius dan berpihak" terkait dengan pergulaan nasional.

Kebijakan impor sejatinya dijadikan pertahanan terakhir, setelah pemerintah kehabisan napas di dalam menopang perkembangan produksi gula nasional.

Apakah pemerintah sudah ada dalam posisi itu? Nampaknya ada walaupun masih setengah hati, yaitu dengan membentuk anak perusahaan BUMN yang khusus menangani gula.

Setengah hati karena reformasi kebijakan yang lebih terkonsolidasi masih belum dikeluarkan. Padahal sedari awal pemerintah (semestinya) sudah memahami bahwa revitalisasi gula secara menyeluruh dan terkonsolidasi sangat dibutuhkan, namun pemerintah justru terlambat memperlihatkan reaksi strategis yang berarti dalam mengantisipasinya.

Dengan asumsi itu, pemerintah terlihat seperti "spekulan gula" yang "riang gembira" menyaksikan merosotnya kapasitas produksi nasional, kemudian merasionalisasi kebijakan impor.

Sebenarnnya logika yang sama juga menjangkiti komoditas lain, seperti beras, daging, jagung, dan garam.

Tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengetahui penurunan kapasitas produksi nasional masing-masing komoditas tersebut, namun pada akhirnya kebutuhan atas kebijakan impor dianggap rasional secara matematis dan politis.

Dan sebagai tambahan, kondisi serupa pula yang membuat kita semua harus menyaksikan gejala deindustrialisasi di negeri ini, tren kontribusi sektor industri terus merosot.

Hampir semua pihak mengetahui hal tersebut sedari dulu, tapi pemerintah memilih tidak melakukan mitigasi secara berarti, selain keranjingan dengan "proyek-proyek infrastruktur" yang menurut majalah Economist sekalipun, tak membuahkan peningkatan signifikan pada investasi langsung asing. Bahkan tak jarang justru menggerus produksi beberapa komoditas dalam negeri, seperti semen dan besi-baja.

Karena investor asing juga mempertimbangkan nasib investasinya karena penegakan dan kepastian hukum yang sangat lemah di Indonesia.

https://money.kompas.com/read/2023/02/01/093629926/menyoal-kecanduan-impor-gula

Terkini Lainnya

Menkeu: Per 15 Maret, Kinerja Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 56,5 Triliun

Menkeu: Per 15 Maret, Kinerja Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 56,5 Triliun

Whats New
Siap-siap, IFSH Tebar Dividen Tunai Rp 63,378 Miliar

Siap-siap, IFSH Tebar Dividen Tunai Rp 63,378 Miliar

Whats New
Harga Tiket Kereta Bandara dari Manggarai dan BNI City 2024

Harga Tiket Kereta Bandara dari Manggarai dan BNI City 2024

Spend Smart
Penukaran Uang, BI Pastikan Masyarakat Terima Uang Baru dan Layak Edar

Penukaran Uang, BI Pastikan Masyarakat Terima Uang Baru dan Layak Edar

Whats New
Cara Cek Tarif Tol secara Online Lewat Google Maps

Cara Cek Tarif Tol secara Online Lewat Google Maps

Work Smart
PT SMI Sebut Ada 6 Investor Akan Masuk ke IKN, Bakal Bangun Perumahan

PT SMI Sebut Ada 6 Investor Akan Masuk ke IKN, Bakal Bangun Perumahan

Whats New
Long Weekend, KAI Tambah 49 Perjalanan Kereta Api pada 28-31 Maret

Long Weekend, KAI Tambah 49 Perjalanan Kereta Api pada 28-31 Maret

Whats New
Ini Sejumlah Faktor di Indonesia yang Mendorong CCS Jadi Peluang Bisnis Baru Masa Depan

Ini Sejumlah Faktor di Indonesia yang Mendorong CCS Jadi Peluang Bisnis Baru Masa Depan

Whats New
ITMG Bakal Tebar Dividen Rp 5,1 Triliun dari Laba Bersih 2023

ITMG Bakal Tebar Dividen Rp 5,1 Triliun dari Laba Bersih 2023

Whats New
Kemenaker Siapkan Aturan Pekerja Berstatus Kemitraan, Ini Tanggapan InDrive

Kemenaker Siapkan Aturan Pekerja Berstatus Kemitraan, Ini Tanggapan InDrive

Whats New
Kaum Mumpung-mumpung, Maksimalkan Penawaran Terbaik Lazada untuk Belanja Aneka Kebutuhan Ramadhan

Kaum Mumpung-mumpung, Maksimalkan Penawaran Terbaik Lazada untuk Belanja Aneka Kebutuhan Ramadhan

BrandzView
Musim Hujan, Petani Harus Waspadai Serangan Hama

Musim Hujan, Petani Harus Waspadai Serangan Hama

Whats New
Contoh Surat Perjanjian Utang Piutang di Atas Materai yang Benar

Contoh Surat Perjanjian Utang Piutang di Atas Materai yang Benar

Whats New
Pemerintah Belum Berencana Revisi Permendag soal Pengaturan Impor

Pemerintah Belum Berencana Revisi Permendag soal Pengaturan Impor

Whats New
Sebanyak 15 Proyek CCS/CCUS dalam Tahap Studi, Direncanakan Beroperasi Mulai 2030

Sebanyak 15 Proyek CCS/CCUS dalam Tahap Studi, Direncanakan Beroperasi Mulai 2030

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke