Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jalur Efektif Kejar Target Turunkan Emisi

TANGGAL 2 Februari menjadi salah satu momentum penting dalam dunia konservasi, dengan ditetapkannya sebagai Hari Lahan Basah Sedunia (HLBS), sejak 1971.

Penetapan ini bertujuan meningkatkan kesadaran global mengenai peran penting lahan basah bagi manusia dan bumi.

Tahun ini, HLBS mengangkat tema, “Wetlands Restoration” yang menyoroti kebutuhan mendesak untuk memprioritaskan restorasi lahan basah.

Ekosistem lahan basah merupakan suatu wilayah genangan atau wilayah penyimpanan air, yang memiliki karakteristik daratan dan perairan.

Indonesia memiliki ekosistem lahan basah terluas di dunia yang meliputi gambut, mangrove, rawa air tawar dan riparian. Sekitar 40,5 juta hektare ekosistem lahan basah terbentang dari Sabang sampai Merauke. Namun, bagaimanakah kondisi terkini ekosistem ini?

Mengutip laman worldwetlandsday, lahan basah dunia menghilang tiga kali lebih cepat ketimbang hutan dan diperparah dengan kondisi bahwa lebih dari 35 persen lahan basah telah terdegradasi sejak 1970.

Di Tanah Air, hasil penelitian kerja sama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) pada 2022, menunjukkan bahwa laju kerusakan tutupan mangrove selama 10 tahun terakhir adalah 1,3 kali lebih cepat dibandingkan kawasan lain di Asia Tenggara (Arifanti, et.al, 2022).

Emisi historis Gas Rumah Kaca (GRK) yang ditimbulkan dari kerusakan mangrove dalam kurun tersebut sebesar 15 persen dari total emisi sektor kehutanan Indonesia tahun 2020 yang mencapai 28 Megaton CO2 ekuivalen per tahun.

Indonesia memiliki luas gambut sebesar 13,43 juta hektare, berdasarkan kajian penelitian bertajuk Revisiting Tropical Peatlands in Indonesia: Semi-detailed Mapping, Extent and Depth Distribution Assesment yang dilakukan oleh Anda et.al (2021).

Angka tersebut menempatkan Indonesia menjadi pemilik lahan gambut tropis terluas di Asia.

Sementara berdasarkan Peta Mangrove Nasional (KLHK, 2021), luas ekosistem mangrove Indonesia tercatat sekitar 3,36 juta hektare.

Belasan juta hektar luasan gambut dan mangrove tersebut adalah aset dalam upaya mitigasi perubahan iklim, melalui skema solusi iklilm alami (Nature Climate Solution).

Solusi Iklim Alami merupakan serangkaian upaya mitigasi perubahan iklim yang mencakup perlindungan ekosistem berbasis bentang alam (hutan, lahan basah, dan padang rumput); pengelolaan lahan produktif (konsesi hutan, lahan pertanian, dan lahan penggembalaan); serta restorasi kawasan (hutan dan dan lahan basah).

Indonesia menerapkan sejumlah jalur mitigasi dari solusi iklim alami dalam tiga ekosistem penting, yaitu gambut, mangrove, dan hutan.

Jurnal terbaru yang diterbitkan oleh Environmental Research Letter tentang Solusi Iklim Alami (Novita et al 2022 ) menyatakan bahwa potensi maksimal dari ketiga ekosistem penting tersebut dalam upaya mitigasi perubahan iklim adalah 1,3 gigaton CO2 ekuivalen per tahun.

Berdasarkan kajian ini, lahan basah—yakni gambut dan mangrove—berkontribusi sebesar 77 persen dari total potensi mitigasi. Dengan kata lain, ekosistem lahan basah adalah kunci untuk mencapai komitmen perubahan iklim Indonesia.

Strategi efektif

Mengutip dari jurnal yang sama, lahan gambut menduduki posisi teratas dalam menyumbang penurunan emisi karbon sekitar 960 Megaton CO2 ekuivalen per tahun atau setara dengan 74 persen dari total mitigasi potensi NCS.

Diikuti mangrove yang berkontribusi sebanyak 3 persen terhadap penurunan emisi karbon, yakni 41,1 Megaton CO2 ekuivalen per tahun.

Dengan melakukan tiga aksi solusi iklim alami, yaitu melindungi, mengelola, dan merestorasi lahan gambut dan mangrove, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan ganda. Ibarat pepatah, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Target waktu terpenuhi, target emisi tercapai.

Sebagai catatan, sebelum konferensi perubahan iklim global (COP-27) di Mesir, pada September 2022, Indonesia memutakhirkan target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution-NDC) untuk penurunan emisi GRK.

Pemerintah menaikkan target dari 29 menjadi 31,89 persen (dengan upaya sendiri atau setara 915 Megaton CO2 ekuivalen per tahun) dan dari 41 menjadi 43,20 persen (dengan dukungan global setara 1,240 Megaton CO2 ekuivalen per tahun) pada tahun 2030.

Sebagai perbandingan, total target NDC ini sedikit di bawah angka capaian upaya mitigasi melalui solusi iklim alami, untuk periode waktu yang sama.

Demi mencapai komitmen NDC, pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan, salah satunya adalah Indonesia Forestry and Other Land Use (FOLU) Net-Sink 2030.

FOLU Net-Sink 2030 ialah upaya mencapai serapan karbon dari sektor kehutanan dan penggunaaan lahan lainnya (FOLU), yang akan berimbang atau lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan sektor tersebut pada tahun 2030, sebesar 140 juta ton CO2e.

Pentingnya ekosistem lahan basah sudah disadari oleh Pemerintah dengan dimasukkannya strategi mitigasi lahan basah dalam tujuh strategi mitigasi FOLU Net-Sink.

Pada poin kelima, strategi tersebut menyebutkan peningkatan stok karbon hutan, baik di lahan basah maupun lahan kering.

Adapun di poin keenam, secara jelas menyebutkan pengelolaan lahan gambut dapat mengurangi emisi dengan mencegah kebakaran serta dekomposisi gambut.

Kedua strategi tersebut sejalan dengan analisis para peneliti, dengan menjaga gambut dan mangrove, Indonesia mampu mencapai target, bahkan melebihi komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca dari semua sektor, tak hanya sektor FOLU.

Restorasi lahan basah di Indonesia secara resmi digawangi oleh badan yang baru saja bersalin nama pada 2021 menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.

Lembaga ini memiliki target pemulihan ekosistem gambut sekitar 1,2 juta hektare di tujuh provinsi prioritas dan rehabilitasi hutan mangrove 600.000 hektare pada sembilan provinsi sampai 2024.

Analisis dari hasil kajian Solusi Iklim Alami (Novita et al 2022) juga menunjukkan, prioritas dalam menyelamatkan lahan gambut secara berurutan ada di provinsi Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatra Selatan.

Ada pun untuk mangrove, prioritas penyelamatan (secara berurutan) adalah Papua, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Timur.

Dasar penentuan provinsi prioritas di atas adalah data historical baseline potensi karbon yang tinggi dari lahan gambut dan mangrove dalam satu dasawarsa terakhir.

Referensi ilmiah dari sisi ekosistem ini diharapkan dapat memudahkan pengambil kebijakan dalam menentukan langkah.

Karena rujukan ini bisa menjadi pijakan yang lebih ramah biaya dan efektif. Pun bagi pemerintah daerah yang memiliki ekosistem penting dalam target penurunan, dapat memasukkan kawasan lahan basah mereka dalam capaian target penurunan emisi di rencana pembangunan daerah. Karena krisis iklim, tidak bisa menunggu.

*Nisa Novita, Ph.D., Forest Carbon and Climate Senior Manager di Yayasan Konservasi Alam Nusantara
Retno Sari, Spesialis Konten dan Publikasi di Yayasan Konservasi Alam Nusantara

https://money.kompas.com/read/2023/02/02/102316826/jalur-efektif-kejar-target-turunkan-emisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke