Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Momen Batu Bara di Eropa Berakhir, Bagaimana Target Ekspor Indonesia?

Tahun lalu, penurunan pasokan gas Rusia ke negara-negara Eropa berdampak signifikan pada sektor energi secara global. Akibatnya, terjadi pergeseran terhadap pasar batu bara dan gas yang menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, dan berujung kenaikan harga.

Situasi itu semakin diperparah menjelang datangnya musim dingin. Pasokan gas yang terbatas dan harga gas yang meroket membuat Eropa mau tidak mau harus mengaktifkan kembali beberapa pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara (PLTU).

Cara Eropa Atasi Krisis di Sektor Kelistrikan

Berdasarkan data dari Kpler, keputusan itu diikuti dengan meningkatnya permintaan batu bara impor yang berasal dari empat negara: Indonesia, Australia, Afrika Selatan, dan Kolombia. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, ekspor batu bara Indonesia ke negara-negara Eropa mencapai rekor baru tahun lalu, yaitu 6,6 juta ton. Rekor sebelumnya adalah 6,2 juta ton pada tahun 2012.

Indonesia pun berencana untuk meningkatkan produksi batu baranya, dari sekitar 620 juta ton di tahun 2022 menjadi hampir 700 juta ton di tahun 2023. Selain alasan utama berupa meningkatnya permintaan domestik, Indonesia melihat meningkatnya permintaan di pasar internasional sebagai salah satu peluang, termasuk asumsi peningkatan permintaan di Eropa.

Walaupun ekspor batu bara Indonesia ke Eropa hanya sekitar 2 persen dari total ekspor dan 1 persen dari total produksi batu bara Indonesia di tahun 2022, peningkatan permintaan pada tahun 2022 tetap menjadi perhatian Indonesia.

Apakah Eropa benar-benar tengah kembali ke batu bara? Apa artinya ini bagi upaya Eropa untuk menghentikan penggunaan batu bara?

The European Electricity Review 2023, sebuah laporan yang baru-baru ini diterbitkan EMBER, sebuah lembaga non profit, menjelaskan apa yang terjadi di Eropa tahun lalu. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Eropa menghadapi tiga krisis besar di sektor kelistrikan tahun 2022.

Ketika Eropa sedang berjuang untuk memutuskan hubungan dengan pemasok gas terbesarnya, yaitu Rusia, Eropa menghadapi penurunan produksi listrik tenaga air (hidro) dan nuklir setidaknya dalam dua dekade ke belakang, yang menciptakan defisit sekitar 7 persen dari total permintaan listrik Eropa tahun 2022.

Sebagian dari kekurangan pasokan ini dipenuhi dengan produksi listrik dari PLTU, yang naik 7 persen (YoY), dan secara global menambah 0,3 persen produksi listrik yang bersumber dari PLTU pada tahun lalu. Namun, rekor pertumbuhan pembangkit listrik tenaga angin dan matahari (surya) membantu meredam defisit pembangkit listrik tenaga hidro dan nuklir.

Dengan adanya lebih banyak kapasitas listrik tenaga surya dan angin yang tersedia, maka penggunaan batu bara menjadi lebih rendah. Hanya seperenam dari defisit itu dipenuhi dengan batu bara. Sedangkan produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga gas tetap tidak berubah.

Produksi listrik PLTU turun selama empat bulan terakhir tahun 2022 di Eropa, dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2021, dan penurunan ini kemungkinan akan berlanjut hingga tahun 2023. Walaupun terdapat 26 unit PLTU yang diumumkan akan kembali aktif di negara-negara Eropa, namun, unit-unit ini tidak menghasilkan listrik secara signifikan dan hanya menambahkan kurang dari 1 persen tambahan listrik dari produksi listrik yang dihasilkan oleh PLTU yang masih beroperasi.

PLTU itu disiapkan untuk menghadapi krisis gas musim dingin yang tidak pernah datang. Karena itu, hanya sepertiga dari batu bara yang diimpor oleh negara-negara Eropa, yang benar-benar digunakan. Sedangkan dua pertiga dari batu bara impor tersebut (nyatanya) tidak pernah dibutuhkan.

Indonesia tidak dapat mengharapkan Eropa untuk terus menggunakan batu bara. Tahun 2023 akan membawa kisah yang sangat berbeda: prakiraan dari laporan European Electricity Review 2023 menunjukkan bahwa total pembangkitan bahan bakar fosil di Eropa akan turun sebesar 20 persen – dua kali lipat dari rekor sebelumnya yang terjadi pada tahun 2020 selama pandemi Covid-19.

Harga gas yang lebih mahal daripada batu bara, diperkirakan membuat penggunaan gas akan mengalami penurunan yang lebih cepat. Di saat yang bersamaan, penurunan yang signifikan pada penggunaan PLTU juga diharapkan tetap berjalan sesuai rencana.

Dengan turunnya produksi listrik dari PLTU - dan dengan tambahan stok batu bara - Eropa kemungkinan akan mengimpor lebih sedikit batu bara pada tahun 2023 dibandingkan pada tahun 2022.

Indonesia, yang ingin meningkatkan ekspor batu bara pada tahun 2023, mungkin akan menghadapi situasi yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Krisis energi di Eropa memaksa percepatan transisi hijau. Pembuat kebijakan di sana menanggapinya dengan cara yang paling mereka ketahui: menggandakan penggunaan listrik berbasis energi bersih.

Tahun 2022, kenaikan pembangkit listrik tenaga surya sudah mencapai hampir dua kali lipat dari tahun lainnya. Energi surya dan angin naik menjadi lebih dari seperlima listrik Eropa, menyalip pembangkit gas untuk pertama kalinya. Sedangkan bauran listrik batu bara berada di angka 16 persen.

Belajar dari tren ini, jelas bahwa banyak faktor yang berperan dalam perubahan penggunaan bahan bakar fosil. Apa yang terjadi di Eropa dapat dengan mudah terjadi di tempat lain, termasuk di negara-negara pengimpor batu bara mana pun yang saat ini menjadi target Indonesia dalam rencana ekspor batu baranya.

Tinjau Ulang Target Ekspor Batu Bara

Karena itu, sudah saatnya Indonesia meninjau kembali target ekspor batu bara dan seluruh rencana transisi energinya. Indonesia harus menyadari bahwa ekspektasi batu bara untuk tahun 2023 bisa saja merupakan ekspektasi yang berorientasi jangka pendek, yang dapat mempengaruhi Indonesia dalam jangka panjang.

Apa yang terjadi tahun lalu hanyalah kemunduran sementara bagi rencana Eropa untuk menghapuskan PLTU mereka, sementara proses transisi jangka panjang mereka tidak pernah berubah. Indonesia tidak boleh terganggu oleh lonjakan pasar batu bara yang bersifat sementara dan seharusnya tetap fokus pada rencana pengurangan batu bara, yang merupakan visi masa depan Indonesia.

Dorongan menuju masa depan yang didominasi energi terbarukan semakin nyata untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil seperti batu bara dan gas, yang secara bersamaan dapat meningkatkan ketahanan energi nasional. Hal ini harus diperhatikan oleh para pembuat kebijakan di Indonesia, untuk menjadikan sektor ketenagalistrikan bersih, terjangkau, memadai, dan andal di masa depan.

https://money.kompas.com/read/2023/02/06/120443026/momen-batu-bara-di-eropa-berakhir-bagaimana-target-ekspor-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke