Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Deforestasi Jadi Momok Produk Sawit Indonesia

UU baru Uni Eropa itu melarang perusahaan menjual kopi, daging sapi, kedelai, cokelat, karet, dan beberapa produk turunan minyak sawit yang terkait dengan deforestasi ke pasar Uni Eropa. UU tersebut akan mewajibkan perusahaan membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan sebelum mereka menjual barang ke UE  atau perusahaan itu menghadapi denda besar.

Setelah UU tersebut resmi berlaku, produsen dan pedagang memiliki waktu 18 bulan untuk mematuhi peraturan tersebut. Perusahaan yang lebih kecil akan memiliki waktu 24 bulan untuk beradaptasi. Perusahaan tidak mematuhi aturan tersebut akan dikenakan denda hingga 4 persen dari total omset perusahaan di negara anggota Uni Eropa.

Menurut Komisi Eropa, UU tersebut akan bisa melindungi setidaknya sekitar 71.920 hektar (278 mil persegi) hutan setiap tahun atau setara dengan 100.000 lapangan sepak bola. Bank Dunia juga memprediksikan bahwa UU tersebut dapat mengurangi emisi karbon global secara tahunan sebesar 31,9 juta metrik ton atau setara dengan besaran emisi karbon Denmark pada 2021.

Pelarangan impor produk terkait deforestasi tentu akan berimbas terhadap negara yang memiliki angka pembabatan hutan tinggi. Uni Eropa terdiri dari 27 negara. Jerman, Prancis, Italia, dan Belanda termasuk di dalamnya. Negara-negara tersebut memiliki perekonomian yang cukup besar di dunia.

Bagaimana Nasib Indonesia

Laporan World Resources Institute dan Global Forest Review tahun 2002 hingga 2020 menyebutkan, Indonesia masuk ke dalam jajaran empat negara dengan angka pembabatan hutan tropis terbesar di dunia. Indonesia menduduki urutan kedua, setelah Brasil dengan angka pembabatan hutan tropis 9,7 juta hektar.

Khusus untuk perkebunan sawit yang sudah terlanjur masuk dalam kawasan hutan, luasnya mencapai 3,2 – 3,4 juta hektar.  Hingga saat ini persoalan itu belum dapat dituntaskan. Singkatnya, Indonesia belum bebas dari deforestasi meskipun upaya menekan laju deforestasi dilakukan setiap tahun.

Jika UU bebas deforestasi Uni Eropa itu efektif diberlakukan, Indonesia berpotensi merugi sebab permintaan akan CPO di 27 negara Uni Eropa berpeluang menurun, bahkan diberhentikan jika para pelaku industri tidak memiliki sertifikat bebas deforestasi.

Pada 2021, Indonesia memasok CPO sebesar 44,6 persen dari total impor CPO Uni Eropa senilai 6,4 miliar dolar AS, yang berarti senilai 2,85 miliar atau setara dengan Rp 44,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.620 per dolar). Dengan begitu, Indonesia berpotensi kehilangan pemasukan sekitar Rp 44,5 triliun.

Belum lagi dilaporkan bahwa India, yang berdasarkan data UN Comtrade dan Reuters merupakan negara tujuan utama ekspor CPO Indonesia, dengan porsi ekspor mencapai 21,3 persen dari total ekspor CPO pada tahun 2016-2020, berencana akan mengurangi impor minyak sawit mentah secara signifikan. Negara itu akan  membuka lahan untuk perkebunan sawit sekitar 2 juta hektar dalam 4 tahun ke depan di Telangana.

Jika target itu tercapai, wilayah Telangana diperkirakan akan bisa memproduksi CPO hingga 4 juta ton per tahun dalam 7 sampai 8 tahun ke depan.

India merupakan importir terbesar CPO dunia. India mengonsumsi sekitar 24 juta ton minyak nabati setiap tahun, di mana sekitar 10,5 juta ton kebutuhan dipenuhi melalui produksi dalam negeri sedangkan 13,5 juta ton sisanya diimpor. Dari nilai impor, sekitar 8-8,5 juta ton merupakan minyak sawit dan 45 persen dari angka itu berasal dari Indonesia, sisanya dari Malaysia.

Hingga tahun ini, India masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar CPO Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-September 2022, Indonesia mengekspor CPO ke India sebanyak 3.088.050.138 kg (setara dengan 3,6 miliar dolar atau Rp 57 triliun).

Jika India dapat memproduksi CPO tambahan dalam negeri, tentunya akan menurunkan permintaan terhadap CPO Indonesia.

Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektar, hutan lindung 174.910 hektar, hutan produksi terbatas 454.849 hektar, hutan produksi biasa 1.484.075 hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektar. Disinyalir banyak kebun sawit memanfaatkan lahan gambut yang rentan terhadap lingkungan (mengganggu cadangan karbon di lahan gambut).

Berdasarkan Atlas Peta Lahan Gambut Indonesia, dari luas kebun sawit 14,38 juta ha, tak kurang dari 10.634.280 ha (72,80 persen) yang berada di Sumatera dan Kalimantan terletak di lahan gambut. Dari lahan gambut yang digunakan untuk kebun sawit seluas itu, seluas 2.815.914 ha (26,47 persen) merupakan kebun sawit di lahan gambut yang mempunyai ketebalan 50-100 cm. Sisanya, 7.820.366 ha (73,53 persen) merupakan kebun sawit di lahan gambut dengan ketebalan sedang sampai sangat tebal.

Kebun sawit yang dianggap mengancam cadangan karbon (yang mempunyai ketebalan gambut sedang- sangat tebal) seluas 7,820.366 ha ( 53,56 persen) dari seluruh areal sawit di Indonesia (yang seluas 14,38 juta ha).

Indonesia mempunyai standar nasional tentang sertifikasi pengelolaan sawit yang disebut ISPO (Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil), yakni standar nasional Indonesia bagi minyak sawit berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan peran minyak kelapa sawit Indonesia di pasar internasional dan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang mengacu pada standar global yang terdapat dalam RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil). Namun sertifikasi ISPO bagi kebun sawit dan industri sawit di Indonesia kurang berjalan baik.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44/2020, setiap perkebunan sawit di Indonesia, baik yang dikelola perkebunan besar, perkebunan swasta besar, maupun perkebunan rakyat, wajib melakukan sertifikasi ISPO. Direktur Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Baginda Siagian menyebut, hingga saat ini dari 14,38 juta hektar lahan sawit, baru 3,8 juta ha (26,24 persen) yang ter-ISPO-kan.

Mengapa sertifikasi ISPO kebun sawit dan industri sawit di Indonesia kurang berjalan dengan baik? Ada sejumlah sebab. 

Pertama, di satu sisi untuk meningkatkan produksi minyak sawit, sebagian pengusaha sawit menghendaki perluasan kebun melalui ekstensifikasi. Di sisi lain, cara ekstensifikasi kebun sawit dilakukan dengan prosedur yang tidak benar (ilegal), yang dilakukan korporasi/perusahaan maupun masyarakat yang mengatasnamakan petani sawit.

Sampai saat ini, terdapat kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan (seluas 3,1 - 3,4 juta ha). Dari 3,1 - 3,4  juta ha itu, jika kita pakai data KLHK, 576.983 ha sedang dalam proses permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta ha, tak memohon izin pelepasan agar legal. Ada dugaan karena perkebunan sawit ini sebagian dikuasai rakyat/perorangan.

Meskipun Kementan belum lama ini mengeklaim bahwa kebun sawit rakyat di dalam kawasan hutan hanya seluas 12.533,52 hektar yang tersebar di enam provinsi sentra perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2021. Saat ini data tersebut sedang dalam proses telahaan, inventarisasi, dan validasi dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK.

Kita sama-sama tahu mengapa ada kebun sawit di kawasan hutan. Selain lemahnya pengawasan, juga tidak sikronnya tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten dengan tata guna lahan di KLHK. Izin lokasi dan izin prinsip perkebunan ada di kabupaten dan provinsi. Tetapi izin pelepasan kawasan hutan menjadi kebun ada di KLHK.

Kedua, banyak kebun sawit memanfaatkan lahan gambut yang rentan terhadap lingkungan (mengganggu cadangan karbon). Peran hutan alam primer rawa gambut di Indonesia, khususnya di Kalimantan dalam percaturan pengendalian iklim mulai menampakkan sosok yang sesungguhnya.

Dalam laporan riset yang diterbitkan Nature Sustainability pada 18 November 2021, tim peneliti dari Conservation International, Amerika Serikat, membuat peta terbaru bagian Bumi yang memiliki konsentrasi karbon amat tinggi dan jika terlepas akan memicu bencana iklim. Wilayah gambut di Kalimantan dan Papua termasuk yang memiliki konsentrasi karbon di Bumi.

Untuk Indonesia, selain Kalimantan yang dipetakan menyimpan karbon yang sangat tinggi adalah Papua bagian selatan. Kawasan itu merupakan penyerap karbon alami dan dapat dianggap jadi sumber penyimpan sumber daya yang tidak bisa dipulihkan. Sebab jika karbon yang tersimpan dilepaskan oleh aktivitas manusia, butuh waktu berabad-abad bagi daerah itu untuk pulih.

Jika karbon lepas, hal itu tidak dapat dipulihkan dalam jangka waktu tertentu, minimal selama 30 tahun.

Sejak tahun 2010, pertanian, penebangan kayu dan kebakaran hutan melepaskan emisi karbon setidaknya 4 gigaton (Gt) karbon yang tidak dapat dipulihkan. Sisanya 139 – 443 gigaton (Gt) karbon dunia yang tidak dapat dipulihkan itu menghadapi resiko konversi penggunaan lahan dan perubahan iklim.

Jika itu terjadi, akan terjadi bencana iklim. Resiko ini dapat dikurangi melalui perlindungan proaktif dan manajemen adaptif. Dalam pemetaan ini, 23 persen karbon yang tidak dapat dipulihkan berada dalam kawasan lindung dan 33,6 persen dikelola masyarakat adat serta komunitas lokal.

Menurut Dr Suwardi M Agr, Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB, budidaya kelapa sawit paling baik dilakukan di lahan gambut yang tipis, dengan ketebalan kurang dari 100 cm. Di lokasi dengan ketebalan gambut lebih dari 100 cm dianggap kurang ekonomis untuk budidaya sawit.

Di samping hasil buahnya tidak banyak, kebun sawit di lahan semacam ini rentan kebakaran. Lahan gambut dengan ketebalan di atas 100 cm adalah ekosistem penyerap karabon yang paling efisien dan besar. Apabila terjadi kebakaran, akan menyala lama, membara di bawah tanah dan dapat menyala lagi bila bertemu oksigen. Selain itu akan mengeluarkan karbon dalam jumlah yang sangat besar saat lahan gambut itu kering.

Berdasarkan peta sebaran lahan gambut paling mutakhir yang digambarkan dalam bentuk Atlas Peta Lahan Gambut Indonesia, skala 1:250.000, di Sumatera lahan gambut yang tipis (ketebalan 50 – 100 cm) seluas 1.767.303 ha. Sementara kebun sawit di Sumatera seluas 7.944.520 ha, yang berupa lahan kering 1.860.798 ha yang tersebar di Sumut dan Aceh. Sisanya seluas 5.046.205 ha merupakan kebun sawit di lahan gambut yang tersebar di Riau, Jambi dan Sumsel.

Dengan demikian tidak kurang dari 3.278.903 ha kebun sawit Sumatera terletak di lahan gambut dengan ketebalan sedang – sangat tebal (100 – di atas 400 cm).

Di Kalimantan, hampir di atas 90 persen kebun sawit terletak di lahan gambut. Dari luas 5.588.075 ha kebun sawit di Kalimantan, seluas 1.048.611 ha merupakan gambut tipis setebal 50 – 100 cm. Sisanya tak kurang dari 4.539.464 ha merupakan kebun sawit yang terletak di lahan gambut dengan ketebalan sedang – sangat tebal (100 – di atas 400 cm).

Dari luas kebun sawit 14,38 juta ha di Indonesia, tak kurang dari 10.634.280 ha (72,80 persen) berada di Sumatera dan Kalimantan yang terletak di lahan gambut. Dari lahan gambut yang digunakan untuk kebun sawit itu, 2.815.914 ha (26,47 persen) merupakan kebun sawit di lahan gambut dengan ketebalan 50-100 cm. Sisanya, 7.820.366 ha (73,53 persen) merupakan kebun sawit di lahan gambut dengan ketebalan sedang sampai sangat tebal.

Kebun sawit yang dianggap mengancam cadangan karbon (yang mempunyai ketebalan gambut sedang- sangat tebal) seluas 7,820.366 ha ( 53,56 persen) dari seluruh areal sawit di Indonesia.

Ketiga, belum lama ini pemerintah mengumumkan pencabutan 3,2 izin kehutanan yang dinilai melanggar aturan. Dari hampir 3,2 juta ha izin usaha yang dicabut itu, sekitar 1,788 juta ha di antaranya izin perkebunan kelapa sawit yang tersebar 19 provinsi milik 137 perusahaan. Terluas ada di Papua sekitar 680,9 ribu ha milik 26 perusahaan. Di susul Papua Barat, 382 ribu ha, kemudian Kalimantan Tengah sekitar 350,11 ribu ha milik 39 perusahaan. Sementara di Jambi ada 3 perusahaan izin yang dicabut dengan luas 58,7 ribu ha.

Meski 137 perusahaan sawit tersebut baru memegang izin/persetujuan pelepasan kawasan hutan dan belum mengubah statusnya menjadi hak guna usaha (HGU), namun kondisi ini menunjukkan bahwa perusahaan/korporasi yang berniat berusaha di kebun sawit tidak menunjukkan adanya upaya mematuhi tata kelola sawit berkelanjutannya.

Pemerintah harus segera membenahi persoalan lapangan dengan membenahi regulasi kebijakan, teknis dan sanksi denda administratif, maupun hukum yang adil dan tegas sehingga tata kelola sawit berkelanjutan dapat berjalan baik dan iklim berusaha, khususnya di kebun sawit tidak terganggu. Momok deforestasi sawit harus sesegera mungkin dituntaskan demi sustainable palm oil di Indonesia.

https://money.kompas.com/read/2023/02/08/110430926/deforestasi-jadi-momok-produk-sawit-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke