Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Job Insecurity Karyawan di Tengah PHK Massal

POTENSI terjadinya resesi ekonomi tahun 2023 semakin sering terdengar. Berbagai macam berita mengenai keadaan perekonomian yang menurun dari berbagai belahan dunia semakin sering disuarakan.

Tekanan kondisi perekonomian di Indonesia berdampak pada berbagai sektor usaha mulai dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) hingga perusahaan besar.

Sepanjang tahun 2022, sejumlah berita terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal bermunculan. Ribuan kayawan terpaksa kehilangan pekerjaannya.

Pengambilan keputusan melakukan PHK karyawan tentu bukan hal mudah bagi perusahaan. PHK tidak hanya berdampak pada mereka yang kehilangan pekerjaan, namun juga pada karyawan yang masih bekerja dan menyaksikan rekan kerjanya terkena PHK.

Karyawan yang masih bekerja berpotensi merasakan rasa tidak aman karena adanya ketidakpastian atas keberlangsungan pekerjaan. Ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran terkena PHK pula.

Kekhawatiran tentang keberlangsungan pekerjaan di masa depan dikenal sebagai job insecurity.

Greenhalgh & Rosenblatt (dalam Hellgren, 1999) menjelaskan bahwa job insecurity adalah rasa ketidakberdayaan untuk mempertahankan kontinuitas suatu pekerjaan dalam situasi yang terancam.

Job Insecurity merujuk pada pengalaman yang bersifat subjektif, hal ini berkaitan dengan persepsi dan interpretasi karyawan terhadap lingkungan kerjanya.

Meskipun berada pada situasi yang sama, rasa kekhawatiran dari job insecurity yang dirasakan oleh individu dapat berbeda dengan individu lainnya (Klandermans & Van Vuuren, 1999).

Job Insecurity dianggap sebagai penyebab rasa stres pekerjaan. Dampak job insecurity adalah rendahnya job satisfaction dan penurunan organizational commitment (Cheng & Chan dalam Piccoli et al., 2017).

Ketika karyawan mengalami job insecurity, tidak berarti bahwa karyawan pasti akan kehilangan pekerjaan, namun sebaliknya, individu tidak yakin dapat mempertahankan pekerjaannya maupun job features yang dianggapnya penting pada masa mendatang (Yan Tu et al., 2020).

Job insecurity berbeda dengan job loss. Job loss adalah sesuatu yang terjadi secara immediate atau segera.

Sedangkan job insecurity merupakan pengalaman yang dirasakan dari hari ke hari yang melibatkan rasa ketidakpastian mengenai pekerjaan yang dimiliki di masa depan.

Di sisi lain job loss mengurangi salah satu stressor terbesar dari job insecurity, yaitu ketidakpastian (Sverke, et al., 2002).

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab timbulnya atau meningkatnya job insecurity.

Shoss (2017) menjelaskan faktor yang menjadi penyebab muncul atau meningkatnya job insecurity, dibedakan dari faktor sosial dan lingkungan, organisasi, serta individu.

Faktor pertama adalah faktor sosial dan lingkungan, job insecurity cenderung meningkat dengan meningkatnya tingkat pengangguran nasional (Anderson & Pontusson, 2007).

Job insecurity juga terjadi sebagai tanggapan terhadap perubahan teknologi dalam lingkungan bisnis seperti globalisasi.

Hal ini berkontribusi pada penurunan industri dan pekerjaan, menyusutnya permintaan, dan outsourcing tenaga kerja, sehingga berkontribusi pada meningkatnya job insecurity (Jiang et al., 2013; Lübke et al., 2014).

Faktor kedua pada tingkat perusahaan atau organisasi. Karyawan-karyawan dengan posisi kerja tidak tetap juga cenderung memiliki job insecurity yang lebih tinggi (Keim et al., 2014).

Karyawan yang bekerja pada organisasi yang menggunakan sistem ranking/peringkat, dan memiliki budaya kompetitif, akan cenderung mengalami job insecurity yang lebih tinggi.

Hubungan yang buruk dengan supervisor dapat menjadi ancaman yang menyebabkan tingginya job insecurity (Shoss, 2017).

Studi yang dilakukan oleh O’Neill dan Sevastos (2013) melaporkan bahwa karyawan merasa tidak aman tentang masa depan pekerjaan mereka ketika mereka merasa bahwa atasan menghindari mereka.

Faktor individual yang juga berpotensi pada peningkatan job insecurity yang dialami seseorang adalah ciri-ciri kepribadian.

Debus et al. (2013) menemukan bahwa trait kepribadian terkait negatif affect, locus of control, rendahnya self-evaluation serta self-esteem, dan kelelahan emosional juga berkontribusi pada tingginya job insecurity.

Di sisi lain, job insecurity juga memiliki berbagai macam dampak yang dapat memengaruhi karyawan.

Pertama, apabila merujuk pada penelitian Piccoli et al. (2017) diketahui bahwa job insecurity memiliki hubungan yang signifikan negatif dengan task performance dan organizational citizenship behaviour atau contextual performance.

Task performance didefinisikan sebagai perilaku yang secara langsung berkontribusi pada inti teknis organisasi dan dianggap sebagai perilaku kerja yang paling tidak bebas.

Contextual atau extra-role performance diasosiasikan dengan tingkat usaha atau ketekunan yang diberikan seseorang melebihi apa yang dibutuhkan secara formal.

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa semakin tinggi job insecurity yang dirasakan oleh seorang karyawan, maka nilai task performance dan organizational citizenship behaviour yang dimilikinya akan semakin rendah (Piccoli et al., 2017).

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Vander Elst et al. (2014) menyatakan bahwa job insecurity berhubungan dengan penurunan employee well-being, dan menyebabkan peningkatan pada kelelahan emosional.

Hal ini terjadi karena karyawan merasa bahwa mereka tidak memiliki kendali atas pekerjaan yang terancam.

Ketiga, berdasarkan penelitian Karatepe et al. (2020), diketahui bahwa job insecurity memiliki hubungan yang signifikan negatif dengan work engagement.

Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa ketika seorang karyawan memiliki nilai job insecurity yang tinggi, maka ia akan memiliki work engagament yang rendah.

Masih dalam penelitian yang sama, diketahui pula bahwa job insecurity memiliki hubungan yang signifikan positif dengan perilaku absenteeism, datang terlambat, dan pulang kerja lebih awal.

Hasil penelitian pada bagian ini menjelaskan bahwa ketika seorang karyawan memiliki job insecurity yang cenderung tinggi, maka ia juga akan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan perilaku absenteeism, datang terlambat, dan pulang kerja lebih awal.

Berdasarkan penjabaran di atas diketahui bahwa karyawan yang mengalami job insecurity memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami penurunan kinerja. Bahkan cenderung melakukan hal-hal yang berlawanan dengan perilaku produktif.

Oleh karena itu, hal ini penting menjadi perhatian bagi management perusahaan untuk tetap menjaga well-being dan engagement para karyawan agar mereka tetap memiliki kinerja baik dan dapat mendukung perusahaan dalam mencapai tujuannya.

https://money.kompas.com/read/2023/02/27/062816826/job-insecurity-karyawan-di-tengah-phk-massal

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke