Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Benarkah Harga Tiket Pesawat Mahal?

Hal itu dinyatakan setelah dirinya mengunjungi Wakatobi dan Raja Ampat, tentunya dengan naik pesawat.

Sayangnya, Perry tidak memberi tahu berapa harga tiket pesawat yang harus dia bayar untuk mengunjungi dua tempat wisata populer di Indonesia Timur tersebut.

Juga apakah dia naik pesawat kelas ekonomi atau kelas bisnis. Jadi kita tidak tahu seberapa mahal harga tiketnya.

“Mahal” memang relatif. Namun, jika seorang Gubernur BI mengatakan mahal banget, tentu bagi orang kebanyakan akan menjadi mahal-mahal-mahal banget.

Baiklah, kita tidak usah membahas soal mahal dan mahal banget. Mari kita bahas soal harga tiket pesawat.

Harga tiket pesawat di Indonesia terbagi menjadi tiga komponen besar, yaitu tarif, biaya layanan bandara (PSC atau PJP2U), dan pajak (PPN) sebesar 10 persen dari tarif dasar.

Selain itu, ada asuransi dan tambahan biaya (surcharge) pada saat-saat tertentu seperti Lebaran atau saat harga avtur melonjak tinggi. Untuk surcharge ini ada aturan tersendiri dari pemerintah.

Jadi kalaupun maskapai menjual tarif murah, tapi ditambah dengan PSC dan PPN, totalnya bisa menjadi mahal juga.

Apalagi jika kita terbang dari bandara yang PSC-nya besar seperti, misalnya, dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta yang PSC domestiknya termahal se-Indonesia, yaitu Rp 152.000.

Formulasi tarif

Komponen terbesar harga tiket tentulah tarif. Untuk tarif ini, yang ekonomi diatur oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan, melalui Keputusan Menteri KM 106 tahun 2019 dengan pengaturan tarif batas bawah (TBB) dan tarif batas atas (TBA).

Maskapai tidak boleh menjual di luar koridor TBB – TBA, kecuali mau menerima sanksi.

Untuk tarif non ekonomi seperti bisnis, eksekutif dan lain-lain, tidak diatur oleh pemerintah. Maskapai boleh menjual berapapun harganya, sesuai mekanisme pasar.

Kembali ke tarif ekonomi, Kementerian Perhubungan melalui KM 106 itu sudah menjelaskan bahwa selain berdasarkan komponen tarif, penetapan tarif juga mempertimbangkan adanya dampak terhadap sektor lain.

Jadi jika tarif sudah ditetapkan, tentunya pemerintah mengasumsikan bahwa tarif itu tidak mahal dan masih bisa dijangkau oleh masyarakat sehingga tidak mengganggu pada sektor lain.

Selain itu, tarif yang ada saat ini tentunya dibuat pada tahun 2019 dengan asumsi-asumsi yang ada pada tahun itu. Misalnya, harga avtur dan kurs rupiah terhadap dollar AS.

Maklumlah, hampir semua biaya untuk penerbangan itu dengan dollar AS. Misalnya biaya sewa atau beli pesawat, perawatan, spareparts, harga avtur dan lainnya, semua pakai acuan dollar AS.

Semakin besar kurs dollar AS, semakin besar biayanya. Jika tahun 2019 rata-rata nilai tukarnya Rp 13.900 – Rp 14.000 per 1 dollar AS, sekarang sudah lebih dari Rp 15.500. Padahal tarifnya tidak berubah.

Jadi kalau dihitung dari kenaikan kurs dollar itu, seharusnya nilai tarif pada tahun 2023 ini menjadi lebih kecil atau lebih murah jika dibandingkan pada 2019.

Dalam KM itu sebenarnya dikatakan bahwa tiap bulan tarif ini harus dievaluasi oleh Dirjen Perhubungan Udara. Jadi bisa naik, bisa turun tergantung besaran biaya-biayanya. Namun dari tahun 2019 sampai dengan 2023, tarif tersebut tidak pernah dievaluasi.

Pada formulasi penetapan tarif yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 20 tahun 2019, ditetapkan bahwa TBA untuk pesawat jet besaran biayanya 95 persen dan keuntungan 5 persen pada saat tingkat keterisian pesawat 65 persen.

Jadi kalau pesawat terisi 65 persen penumpang, dan maskapai menjual tarif batas atas (TBA), akan mendapatkan keuntungan 5 persen.

Maskapai bisa dapat keuntungan besar jika pesawatnya terisi lebih dari 65 persen. Tapi tentu saja maskapai tidak bisa menjual semua tiketnya di TBA, pasti juga akan menjual tiket di bawahnya.

Nah di situlah pintar-pintarnya maskapai mengelola pemasaran dan keuangannya agar tidak rugi. Bisa jadi pada saat tertentu menjual tiket murah, pada saat lainnya menjual mahal.

Itu dari sisi formulasi tarif. Sekarang mari kita coba lihat dari sisi maskapai.

Faktor biaya-biaya

Dari sisi akuntansi atau perhitungan perusahaan, tarif bisa dikatakan sebagai harga jual barang.

Secara sederhana, harga jual itu adalah hasil akhir dari perhitungan biaya ditambah keuntungan. Biaya bisa lebih besar dari keuntungan atau lebih kecil, tergantung jenis produk, marketing, dan faktor-faktor lain.

Untuk penerbangan, rata-rata keuntungannya tidak besar. Asosiasi maskapai penerbangan internasional (IATA) menyatakan margin keuntungan maskapai global rata-rata hanya 5-10 persen per tahun. Jadi biayanya lebih besar yaitu 90-95 persen dari harga tiket.

Dengan perhitungan sederhana, jika harga tiket mau lebih murah, tentu biaya-biayanya harus diperkecil.

Di penerbangan, biaya terbesar adalah harga avtur yaitu 30-40 persen dari total biaya operasional, disusul sewa pesawat, perawatan, suku cadang dan lainnya.

Harga avtur, sewa pesawat perawatan, suku cadang dan lainnya memakai acuan dollar AS. Jadi kalau kurs dollar AS semakin naik, maka biayanya juga akan semakin besar.

Selain itu, biaya besar juga bisa diakibatkan oleh inefisiensi operasional. Misalnya, adanya antrean pesawat di bandara saat mau terbang atau mendarat.

Dengan adanya antrean ini, maka avtur yang dibakar menjadi semakin banyak dan biaya jadi membengkak.

Inefisiensi juga bisa disebabkan hal lain. Misalnya, lamanya waktu dalam memperoleh suku cadang yang dibutuhkan saat memperbaiki pesawat.

Jika suku cadang gampang dan cepat didapat, maka tentu perbaikan dan perawatan pesawat juga lebih cepat. Dan kemudian pesawat juga bisa lebih cepat dipakai beroperasi lagi.

Sayangnya, sebagian besar suku cadang pesawat itu tidak bisa diproduksi di dalam negeri dan harus impor. Waktu untuk proses impor ini sangat lama karena berbagai aturan di kepabeanan.

Hal ini berbeda dengan di negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand atau Australia yang prosesnya sangat cepat.

Hal lain, misalnya, kalau ada korupsi pada saat pembelian atau penyewaan pesawat, juga bisa menambah beban biaya operasionalnya.

Faktor penguasaan pasar

Selain formulasi tarif dan biaya, faktor lain yang punya pengaruh besar dalam harga jual tiket pesawat adalah komposisi penguasaan pasar.

Pada pasar persaingan sempurna, maka harga akan cenderung lebih murah karena adanya persaingan antarprodusen. Kalaupun tidak bersaing di harga, bisa juga bersaing di layanan.

Namun tidak demikian jika persaingannya tidak sempurna, baik itu monopoli maupun oligopoli. Harga bisa dimainkan oleh pemegang monopoli.

Di satu waktu, bisa saja tiket dijual murah untuk mematikan pesaing. Nanti jika pesaing sudah mati, barulah tiket dijual mahal lagi.

Masyarakat tentu tidak punya pilihan, membeli tiket harga mahal atau tidak terbang.
Oleh karena itu, pasar persaingan di penerbangan nasional seharusnya diarahkan ke persaingan yang baik.

Kalaupun pemerintah mau mengaturnya, harusnya pengaturannya mengarah pada persaingan yang adil.

Alhasil, itulah problematika tiket pesawat di Indonesia. Masalahnya kompleks, menyangkut banyak hal, banyak kementerian dan lembaga, banyak perusahaan dan banyak aturan serta kebijakan.

Jika harga tiket pesawat dianggap penyebab inflasi dan akan memperbaiki, maka perbaikannya harus menyeluruh.

Tidak bisa satu-per satu dengan, misalnya, hanya menyuruh maskapai menjual tiket murah. Karena hal itu hanya akan membuat maskapai rugi dan iklim investasi juga turun.

Belum lagi jika nantinya banyak maskapai yang bangkrut dan terjadi monopoli. Tentunya masyarakat juga yang rugi.

Kalau masyarakat tidak bisa bepergian, aktivitas ekonomi terganggu, tentu juga akan mengganggu perekonomian nasional. Nah sekarang tinggal pilih, mau pada posisi di mana kita.

https://money.kompas.com/read/2023/03/07/104404626/benarkah-harga-tiket-pesawat-mahal

Terkini Lainnya

Harga Naik Selama Ramadan 2024, Begini Cara Ritel Mendapat Keuntungan

Harga Naik Selama Ramadan 2024, Begini Cara Ritel Mendapat Keuntungan

Whats New
Mentan Amran Serahkan Rp 54 Triliun untuk Pupuk Bersubsidi, Jadi Catatan Sejarah bagi Indonesia

Mentan Amran Serahkan Rp 54 Triliun untuk Pupuk Bersubsidi, Jadi Catatan Sejarah bagi Indonesia

Whats New
Kasus Korupsi PT Timah: Lahan Dikuasai BUMN, tapi Ditambang Swasta Secara Ilegal

Kasus Korupsi PT Timah: Lahan Dikuasai BUMN, tapi Ditambang Swasta Secara Ilegal

Whats New
4 Tips Mengelola THR agar Tak Numpang Lewat

4 Tips Mengelola THR agar Tak Numpang Lewat

Spend Smart
Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis, Stafsus Erick Thohir: Kasus yang Sudah Sangat Lama...

Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis, Stafsus Erick Thohir: Kasus yang Sudah Sangat Lama...

Whats New
Menkeu: Per 15 Maret, Kinerja Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 56,5 Triliun

Menkeu: Per 15 Maret, Kinerja Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 56,5 Triliun

Whats New
Siap-siap, IFSH Tebar Dividen Tunai Rp 63,378 Miliar

Siap-siap, IFSH Tebar Dividen Tunai Rp 63,378 Miliar

Whats New
Harga Tiket Kereta Bandara dari Manggarai dan BNI City 2024

Harga Tiket Kereta Bandara dari Manggarai dan BNI City 2024

Spend Smart
Penukaran Uang, BI Pastikan Masyarakat Terima Uang Baru dan Layak Edar

Penukaran Uang, BI Pastikan Masyarakat Terima Uang Baru dan Layak Edar

Whats New
Cara Cek Tarif Tol secara Online Lewat Google Maps

Cara Cek Tarif Tol secara Online Lewat Google Maps

Work Smart
PT SMI Sebut Ada 6 Investor Akan Masuk ke IKN, Bakal Bangun Perumahan

PT SMI Sebut Ada 6 Investor Akan Masuk ke IKN, Bakal Bangun Perumahan

Whats New
Long Weekend, KAI Tambah 49 Perjalanan Kereta Api pada 28-31 Maret

Long Weekend, KAI Tambah 49 Perjalanan Kereta Api pada 28-31 Maret

Whats New
Ini Sejumlah Faktor di Indonesia yang Mendorong CCS Jadi Peluang Bisnis Baru Masa Depan

Ini Sejumlah Faktor di Indonesia yang Mendorong CCS Jadi Peluang Bisnis Baru Masa Depan

Whats New
ITMG Bakal Tebar Dividen Rp 5,1 Triliun dari Laba Bersih 2023

ITMG Bakal Tebar Dividen Rp 5,1 Triliun dari Laba Bersih 2023

Whats New
Kemenaker Siapkan Aturan Pekerja Berstatus Kemitraan, Ini Tanggapan InDrive

Kemenaker Siapkan Aturan Pekerja Berstatus Kemitraan, Ini Tanggapan InDrive

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke