Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pelajaran Kebangkrutan Silicon Valley Bank

Kebangkrutan bank di markas raksasa teknologi ini menjadi kegagalan terbesar bank Amerika Serikat sejak krisis global tahun 2008.

Berdiri pada 1983, SVB adalah perbankan dengan spesialisasi perusahaan rintisan atau startup teknologi.

Dalam portfolionya, bank ini menyasar tiga segmen, yakni: perusahaan startup, modal ventura, dan perusahaan ekuitas yang mendukung startup.

SVB telah beroperasi di 29 kantor di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Irlandia, Denmark, Swedia, China, India, Israel, dan Hongkong.

SVB melayani hampir setengah dari perusahaan teknologi dan ilmu pengetahuan yang didukung lebih dari 2.500 perusahaan modal ventura dunia.

Kejutan bagi Wall Street

Berita kebangrutan SVB merupakan kejutan bagi pasar Wall Street dan Pemerintahan AS atas keruntuhannya yang mempertanyakan kemampuan bank menopang laju pertumbuhan yang cepat dari industri teknologi.

Dari berbagai analisis perbankan dinyatakan bahwa bank tersebut mengambil terlalu banyak simpanan korporasi, dan terjerat oleh pemberian suku bunga tinggi. Bank juga terlalu banyak menyimpan uang tunai dari perusahaan rintisan (start-up).

Silicon Valley Bank melakukan apa yang dilakukan sebagian besar pesaingnya: menyimpan sebagian kecil dari tabungannya dalam bentuk tunai, dan menggunakan sisanya untuk membeli utang jangka panjang seperti obligasi Treasuri.

Penyebab utama SVB bangkrut adalah sebagai dampak kenaikan suku bunga Federal Reserve, Bank sentral Amerika Serikat (AS).

Akibat kenaikan suku bunga acuan The Fed melemahkan momentum saham teknologi yang selama ini menjadi keuntungan Silicon Valley Bank. Suku bunga tinggi juga mengikis nilai obligasi jangka panjang yang dimiliki SVB.

Suku bunga tinggi the Fed

Silicon Valley Bank terjebak dalam kebingungan ketika Federal Reserve AS, yang ingin melawan laju inflasi yang cepat, mulai menaikkan suku bunga.

Investasi yang dulunya aman terlihat jauh kurang menarik karena obligasi pemerintah lebih menarik dan lebih banyak peminat.

Serta merta pendanaan SVB awal juga mulai menyusut, menyebabkan klien mulai menarik uang mereka. Untuk memenuhi permintaan nasabahnya, bank harus menjual sebagian investasinya dengan diskon besar.

Pada Jumat pagi (10/3), perdagangan saham SVB di-suspend dan regulator sektor keuangan di California juga sudah turun tangan menutup bank dan menempatkannya dalam kurator di bawah Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).

Ini berarti SVB sudah dinyatakan sebagai bank gagal, dan FDIC akan mengganti uang deposito nasabah SVB. Maka, berakhirlah riwayat hidup SVB.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah kebangkrutan SVB akan merembet ke negara lain? Atau ke bank lainnya? Ini yang masih menjadi pertanyaan investor.

Yang jelas tidak akan merembet ke Indonesia. Di samping karena tidak ada exposer SVB ke nasabah Indonesia atau perbankan Indonesia, kondisi makroekonomi kita juga tidak terpengaruh.

Kolapsnya bank terbesar kedua di Amerika Serikat (AS) Silicon Valley Bank (SVB) berdampak besar bagi pasar pasar AS, tetapi tidak dengan Indonesia.

Likuiditas di Tanah Air masih memadai di tengah adanya pengetatan likuiditas global. Fundamental makro ekonomi domestik yang solid, pertumbuhan ekonomi meningkat, inflasi rendah, dan perbankan Indonesia masih sustainable untuk menopang pertumbuhan kredit.

Sementara itu, data kinerja makro ekonomi seperti tingkat cadangan devisa yang masih sangat memadai. Per Februari 2023, Bank Indonesia (BI) telah membukukan cadangan devisa Indonesia mencapai 140,3 miliar dollar AS.

Tidak perlu panik terhadap kejadian SVB, namun tidak ada salahnya berjaga-jaga jika ada situasi memburuk di sektor keuangan global. Aktifkan semua protokol krisis dan tingkatkan koordinasi sektor keuangan, mudah-mudahan kita belum terlambat untuk selalu tetap waspada.

https://money.kompas.com/read/2023/03/13/112135326/pelajaran-kebangkrutan-silicon-valley-bank

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke