Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenapa Tiket Pesawat ke Luar Negeri Lebih Murah?

Saya sebenarnya agak enggan menjawabnya. Karena yang seharusnya menjawab adalah pemerintah, dalam hal ini teman-teman di Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.

Mereka, sebagai regulator, yang menetapkan tarif batas atas dan batas bawah penerbangan ekonomi di dalam negeri, dengan formulasi yang juga sudah mereka tetapkan.

Berdasarkan tarif dari pemerintah itulah maskapai nasional kemudian menetapkan harga tiketnya untuk rute dalam negeri.

Jadi kalau mau dibandingkan antara harga tiket dalam negeri versus tiket ke luar negeri dengan waktu terbang yang hampir sama, misalnya antara Jakarta – Batam dengan Jakarta Singapura, Jakarta – Kuala Lumpur dengan Jakarta – Medan, atau yang paling jauh Jakarta – Jayapura dengan Jakarta – Tokyo, ya tentunya yang harus dibandingkan adalah tarif yang ditetapkan pemerintah dengan tarif yang ditetapkan maskapai luar negeri atau maskapai kita yang terbang ke luar negeri.

Tarif merupakan bagian terbesar dari harga tiket, sekitar 70 persen-80 persen. Komponen lainnya adalah biaya layanan di bandar udara atau passenger service charge (PSC).

Untuk tiket di dalam negeri, masih ditambah pajak (PPN), asuransi dan biaya tambahan (surcharge kalau ada). Jadi memang ada perbedaan antara tarif dalam negeri dan luar negeri.

Jika masih penasaran, baiklah, mari kita coba telusuri, kira-kira kenapa harga tiket ke luar negeri lebih murah.

Biaya-biaya

Pertama tentu terkait biaya-biaya yang diperhitungkan dalam formulasi harga tiket. Tiket dalam negeri, formulasinya pakai sistem “borongan”, perhitungannya berdasarkan pesawat yang paling banyak beroperasi saat itu, yaitu narrow body Boeing 737.

Kalau maskapai ternyata memakai pesawat jenis lain seperti A320, akan dianggap sama. Namun kalau maskapai memakai pesawat lebih besar seperti B777 atau A330, akan dilakukan penyesuaian.

Selanjutnya, dari formulasi biaya-biaya tersebut akan dikalikan dengan jarak rutenya. Sehingga tarif antara Jakarta – Medan berbeda dengan Jakarta – Surabaya karena jaraknya berbeda.

Soal formulasi tarif ini, silahkan dibuka Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 20 tahun 2019.

Sedangkan untuk tarif luar negeri, karena tidak diatur pemerintah, maka maskapai yang mengatur sendiri.

Pengaturannya tentu disesuaikan dengan pesawat masing-masing, apakah memakai pesawat B737, B777, A320, A330 atau lainnya. Dengan demikian, akan diperoleh angka tarif yang lebih detail.

Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah komponen-komponen tarifnya seperti, misalnya, avtur, sewa pesawat, biaya perawatan dan perbaikan, biaya suku cadang, gaji personel dan lain sebagainya. Hampir semua biaya itu memakai acuan mata uang dollar AS.

Jadi tergantung dari nilai tukar mata uang masing-masing negara asal maskapai terhadap dollar AS. Semakin besar nilai tukarnya, tentu semakin besar juga biaya-biaya yang akan timbul.

Misalnya, harga avtur, bisa Anda bandingkan harga di luar negeri dengan di dalam negeri. Silahkan bandingkan sendiri, antara kurs Rupiah terhadap Dollar AS dengan Dollar Singapura, Ringgit, Yen dan lainnya terhadap Dollar AS.

Tidak itu saja, untuk menekan biaya perawatan dan perbaikan pesawat, di luar negeri sangat mudah dan sangat cepat untuk mendapatkan suku cadang.

Di Indonesia, untuk impor suku cadang masih memakan waktu lama karena banyak aturan yang harus dipenuhi. Akhirnya banyak pesawat yang terlalu lama parkir di bengkel dan tidak bisa dipakai cari duit.

Peak season – low season

Sebenarnya, kalau mau jujur, tiket ke luar negeri banyak juga yang mahal. Namun maskapainya dapat lebih fleksibel menjual tiketnya karena tidak ada batasan tarif bawah dan tarif atas.

Jadi dalam satu penerbangan, mereka bisa menjual tiket sangat murah, di sisi lain juga bisa menjual tiket sangat mahal. Tergantung hukum pasar permintaan dan penawaran saja.

Seperti juga di Indonesia, dalam satu penerbangan kelas ekonomi itu harga tiketnya bervariasi, dari yang paling bawah sampai yang paling atas. Strategi ini disebut strategi sub-class.

Penerbangan luar negeri dapat menerapkan hukum pasar karena mereka berasal dari negara yang biasanya lebih banyak berbentuk kontinen. Terdapat moda transportasi lain yang menjadi substitusi seperti, misalnya, kereta api dan jalan tol.

Di Indonesia, dalam skala nasional, itu belum bisa diterapkan. Karena bentuk negara kita kepulauan sehingga penerbangan menjadi jenis transportasi yang sangat dibutuhkan untuk pergi dari satu pulau ke pulau lain dengan cepat.

Ada transportasi laut, tetapi waktu tempuhnya sangat lama dan terkadang juga terkendala cuaca sehingga tidak bisa berlayar.

Jadi pemerintah masih memilih untuk mengatur tarif penerbangan ini. Terutama untuk menjaga konektivitas secara nasional.

Persaingan sempurna seharusnya sudah bisa diterapkan di Pulau Jawa- Bali, dan mungkin ditambah Sumatera karena sudah terdapat jalan tol dan kereta api.

Dalam persaingan sempurna itu, akan terasa perbedaan antara musim ramai (peak season) dengan musim sepi (low season).

Di musim ramai, maskapai akan menjual tiket sangat tinggi, di musim sepi maskapai akan banyak memberikan harga promo sehingga pesawatnya tetap terisi penumpang.

Di luar negeri, hal ini sudah biasa terjadi. Sehingga kita sering mendapati maskapai luar negeri menjual tiket promo dengan melakukan travel fair dan promosi lainnya.

Penumpang juga bisa menyesuaikan. Jika ingin wisata dengan tiket murah, cari tiket promo walaupun harus mengikuti aturan main yang ditetapkan maskapai yang menjualnya.

Iklim bisnis

Sekarang mari kita lihat dari sisi iklim bisnis penerbangan. Di luar negeri itu, terutama di negara-negara maju, hampir tidak ada maskapai atau group maskapai yang menguasai mutlak bisnis penerbangannya. Pasti ada persaingan adil antarmaskapai yang diatur oleh pemerintahnya.

Tentu saja di tiap negara ada maskapai besar dan kecil, tetapi yang besar tidak sampai bisa menguasai pangsa pasar lebih dari 50 persen karena sudah akan dianggap sebagai monopoli. Kecuali maskapai itu milik negara dan digunakan untuk membantu rakyatnya.

Jika ada maskapai swasta yang monopoli, maka pemerintahnya pasti akan segera melakukan evaluasi dan mencegah agar tidak terjadi.

Karena kalau sudah monopoli, bukan hanya masyarakat yang susah, tapi pemerintah juga akan susah untuk mengaturnya.

Maskapai yang monopoli akan menjual tiket seenaknya dan pelayanannya juga seenaknya karena masyarakat tidak punya pilihan lain.

Maskapai yang monopoli juga punya kecenderungan tidak patuh pada aturan pemerintah, karena mereka seperti memegang kartu truf. Kalau mereka berhenti beroperasi, maka negara itu akan goncang karena transportasinya terganggu.

Jadi sebelum terjadi monopoli pasti sudah dicegah dulu oleh pemerintah. Misalnya dengan memperbaiki peraturannya atau dengan strategi lainnya sehingga iklim bisnis kembali menjadi stabli dan adil.

Dengan iklim bisnis yang baik dan persaingan sempurna, maskapai akan selalu berusaha beroperasi seefektif dan seefisien mungkin sekaligus memberikan pelayanan yang paling baik kepada penumpang. Dan itulah yang terjadi di penerbangan luar negeri.

Memang agak rumit jika membahas perbedaan harga tiket dalam negeri dan luar negeri. Banyak aspek yang terlibat, sehingga seharusnya untuk menyelesaikannya juga harus secara nasional.

Seperti untuk menekan biaya-biaya operasional itu, maka keputusan komprehensif skala nasional harus dilakukan. Misalnya terkait harga avtur, kurs rupiah terhadap dollar AS, proses pengadaan sparepart dan lainnya.

Selain itu juga harus dikaji ulang strategi penerbangan nasional. Termasuk di dalamnya mengkaji ulang konektivitas penerbangan yang saat ini hanya bertumpu di Jakarta sebagai super hub.

Serta strategi menghadapi penerbangan-penerbangan dari negara lain, seperti misalnya dari Singapura dan Malaysia.

Jika kita melihat peta, sesungguhnya Singapura dan Malaysia masih di dalam Indonesia. Jarak Jakarta-Singapura dan Jakarta – Kuala Lumpur, masih lebih dekat dibanding dengan jarak Jakarta – Aceh, apalagi dengan jarak Jakarta-Makassar atau Jakarta -Jayapura.

Jadi wajar kalau warga Jakarta lebih banyak liburan ke Singapura, Kuala Lumpur bahkan ke Jepang atau ke Korea dari pada ke Maluku atau Papua, karena jaraknya jauh, waktu perjalanan lama dan tiketnya mahal.

Jika ingin memperbaiki hal itu, mari kita duduk bersama, membahas strategi penerbangan nasional. Jangan cuma mengeluh, menekan dan menyalahkan maskapai atau meminta masyarakat untuk wisata ke dalam negeri saja. Padahal tiket wisata ke luar negeri lebih murah.

https://money.kompas.com/read/2023/03/24/092341226/kenapa-tiket-pesawat-ke-luar-negeri-lebih-murah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke