Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ekonomi Oranye dan Larangan Impor Baju Bekas

Maknanya, perlu ada akselerasi yang harus dikejar. Pelarangan usaha impor baju bekas adalah momentum penting untuk menata ulang usaha perdagangan di Indonesia secara umum dan isu kewirausahaan secara khusus.

Polemik ini, telah membuka mata kita untuk menatap lebih jauh dan luas terhadap tren dan kecenderungan usaha yang telah berlangsung di berbagai belahan dunia. Tanpa terasa, sejatinya, dunia telah memasuki satu era baru ekonomi, yaitu ekonomi oranye.

Ekonomi Oranye

Secara umum, ekonomi oranye (orange economy) adalah sebuah model produksi di mana komoditas (barang dan jasa) memiliki nilai intelektual (intellectual value) karena lahir dari ide, gagasan dan kepakaran tertentu dari sang penciptanya. Dengan kata lain, ini adalah segala bentuk bisnis yang berakar dari kreativtias, melibatkan ragam aktivitas seperti seni, budaya, penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Badan Internasional UNESCO telah mendorong negara-negara di dunia untuk melirik dan membangun prioritas dan pengembangan komoditas berbasis kreativitas ini.

Charles Landry dan Franco Biancini dalam laman en.unesco.org menyatakan, kreativitas adalah lintasan pemikiran yang membolehkan: thinking a problem afresh and form first principles; experimentation; originality; the capacity to rewrite rules, to be unconventional; to discover common threads amid the seemingly disparate; to look at situations laterally and with flexibility. This way of thinking encourage innovation and generate new possibilities.

Artinya, diperlukan cara pandang baru dalam membangun bisnis, memilih jenis usaha, memperdagangkan komoditas, dan mengajak konsumen menikmatinya.

Restrepo dan Marquez (2015) mengingatkan bahwa dasawarsa ke depan adalah eranya ekonomi oranye. Artinya, era kreativitas telah dimulai. Inilah kebangkitan ekonomi yang (1) tidak menggantung diri pada sumber daya alam, tetapi lebih kepada aset tidak berwujud (intangibles asset); dan (2) mengutamakan pemikiran kreatif dan inovatif.

Hasil dari ekonomi oranye adalah produk kreatif berupa audiovisual, kerajinan, desain, media baru serta seni visual dan pertunjukkan, dan jasa kreatif berupa periklanan, arsitektur, budaya dan rekreasi serta penelitian dan pengembangan.

Restrepo dan Marquez (2015) menjelaskan geliat industri kreatif dunia telah melibatkan lebih dari 144 juta pekerja di seluruh dunia, memiliki nilai ekonomi lebih dari 4,29 triliun dolar AS, memiliki nilai ekspor 649 miliar dolar dan berkontribusi. Artinya, ini adalah geliat baru produktivitas dunia yang bahkan belum pernah diprediksi sebelumnya.

Makna lainnya, ini adalah zaman baru di mana produk dan layanan yang dilirik adalah yang berbasis kreativitas dan inovasi kelas dunia, sehingga mampu memenuhi standar kualitas global. Aset terpenting pada jenis ekonomi ini adalah mentalitas dan intelektualitas, yang mampu menghasilkan serangkaian kreativitas dan inovasi.

Pertanyaannya, mampukah pelaku UMKM Indonesia masuk dalam lingkar dalam, serta menjadi pihak yang diuntungkan dengan hadirnya ekonomi oranye? Lalu, mampukah pemerintah membangun ekosistem usaha yang memampukan para pelaku UMKM naik kelas menjadi pelaku bisnis di level ekonomi oranye.

Jawabannya jelas mampu. Sebab sektor usaha/bisnis dapat terus diedukasi dan didampingi. Para pelaku industri dapat terus dikawal dalam meningkatkan kapasitasnya, baik secara mentalitas maupun intelektualitas.

Proses evaluasi program tidak dapat lagi dianggap sebagai proses penghabisan anggaran, tetapi menjadi wadah untuk memacu lahirnya inovasi baru yang mampu menghasilkan proses yang jauh lebih efektif (ringkas, cepat) dan efisien (murah, tidak boros).

Apa saja yang harus berbasis inovasi? Semua hal tentunya, dari hulu ke hilir, dari edukasi ke implementasi. Hal ini penting agar tercipta akselerasi, baik akselerasi pembelajaran maupun pengejawantahannya.

Kasali (2014) mengingatkan bahwa pernyataan terkenal Charles Darwin yaitu ‘survival of the fittest’ dalam karyanya The Origin of Species, telah sepatutnya diubah menjadi ‘survival of the fastest’. Siapa yang paling cepat (berubah, bertindak, berkolaborasi, berkarya) adalah yang menang. Sebaliknya, mereka yang lamban serta malas berubah akan punah.

Polemik baju impor bekas sudah lebih dari cukup hadir sebagai tamparan keras untuk menata ulang akselerasi edukasi industri dalam negeri. Jadi, sudah saatnya akselerasi dilakukan.

Cara Pandang

Dunia yang terus berkembang pesat jelas memerlukan ketelitian dan kejelian dalam memandangnya. Mengapa? Karena cara pandang menentukan cara kita bersikap dan berperilaku.

Ragam perspektif untuk memandang sebuah situasi secara lebih positif telah hadiri silih berganti, seperti Poulin (2005) dengan konsep strengths based approach (berfokus pada potensi dan kekuatan), Whitney & Trosten (2007) dengan konsep appreciative thinking (melihat sisi terbaik dan tidak mencari kesalahan), Deming melalui theory of profound knowledge (teori empat lensa) dan lain-lain, yang telah memberikan bekal bagi pengelola negara untuk ‘memandang ulang’ potensi usaha, bisnis, dan perdagangan dalam negeri.

Jadi, melalui cara pandang baru berbasis kekuatan, kita dapat mulai melihat bahwa warga Indonesia pada umumnya dan pelaku usaha pada khususnya, adalah sumber potensi. Ini ibarat tambang emas yang belum diolah.

Ragam pembekalan dan pendidikan untuk mengolah ‘emas’ ini menjadi pelaku wirausaha bermental baja dan berintelektual perlu terus dilakukan. “Aura” kewirausahaan perlu menjadi nafas utama di berbagai sektor.

Alih-alih memandang jumlah penduduk Indonesia sebagai beban yang harus ditanggulangi, pandanglah penduduk Indonesia ini sebagai potensi pelaku usaha berbasis intelektualitas yang akan menghasilkan ragam kreativitas dan inovasi komoditas. Jangan lupa, jumlah penduduk yang melimpah, sejatinya adalah juga potensi pasar yang melimpah.

Mental Wirausaha

Osborne dan Plastrik (1997) telah menyentak mata dunia dengan konsepnya yang bertajuk reinventing government. Konsep ini telah membelalakkan mata dunia terkait bagaimana sebuah negara seharusnya dikelola.

Buku legendaris berjudul Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, telah banyak menyadarkan kita tentang arti penting wirausaha. Secara umum, konsep ini mengajak kita membangun negara dengan semangat wirausaha.

Praktik kewirausahaan pada umumnya adalah praktik yang benar-benar fokus pada efisiensi dan efektivitas kerja, karena sumber daya (material, finansial serta kapital lainnya) yang biasanya sangat terbatas. Artinya, tanpa efisiensi, habislah seluruh peluang untuk bertahan dan berkembang.

Ketika aura kewirausahaan telah merasuk ke dalam ragam dimensi pembangunan, ide, gagasan, dan kreativitas usaha akan terbangun dengan baik. Ekosistem usaha juga akan terus mendukung inovasi komoditas yang hadir. Diharapkan, dari kematian satu usaha baju bekas impor, dapat lahir seribu usaha baru.

https://money.kompas.com/read/2023/03/24/125404926/ekonomi-oranye-dan-larangan-impor-baju-bekas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke