KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Salin Artikel

FOMO

SEORANG teman dinilai rekan-rekannya sebagai penderita fear of missing out (FOMO), yakni merasa takut “ketinggalan”, baik terkait pergaulan, berita, maupun tren terbaru. Ia akan merasa sangat kecewa jika melihat teman-temannya menghadiri acara tertentu, tetapi ia sama sekali tidak tahu karena tidak diajak.

Dalam dunia pekerjaan, hal ini pun bisa terjadi. Di tengah kemudahan membuat grup WhatsApp terkait dengan aktivitas pekerjaan ataupun proyek tertentu, mereka yang menderita FOMO akan stres bila tahu bahwa ia tidak tergabung di dalam grup tersebut.

Penderita FOMO memang tidak ingin ketinggalan berita apa pun, baik yang berhubungan langsung dengan dirinya maupun tidak.

Apakah hal tersebut merupakan gejala kehidupan modern? Apakah ini gejala penyakit jiwa atau apakah ini suatu alarm yang mengingatkan kita tentang sesuatu? Bagaimana kita memutuskan siklus kebutuhan ini?

Medsos dan FOMO

Bila Anda merasa FOMO, coba pertanyakan diri Anda, apakah gejala ini muncul setelah era media sosial (medsos) atau sebenarnya sudah berjalan cukup lama meskipun dalam bentuk yang berbeda? Apakah Anda sering memaksakan diri untuk mengikuti berbagai acara yang sebenarnya tidak dinikmati, tetapi khawatir ketinggalan gosip-gosip terbaru dari acara tersebut?

Apakah Anda sering kecewa dan terus memikirkan situasi ketika tidak diundang untuk berpartisipasi dalam suatu acara ataupun kegiatan? Kehadiran medsos memang membuat perasaan FOMO semakin intens. Akan tetapi, bisa saja perasaan tersebut sudah terjadi sebelumnya.

Love and belonging berada dalam level tiga pada teori hierarki kebutuhan Maslow setelah kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, seperti makanan, berpakaian, tempat berlindung, dan kebutuhan akan rasa aman dengan memiliki pekerjaan, kesehatan, ataupun sumber dana lainnya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perasaan terhubung dengan orang lain dapat menurunkan tingkat stres, bahkan meningkatkan daya tahan tubuh. Sebaliknya, rasa keterasingan membuat manusia merasa terancam sehingga membuat sistem saraf menjadi gelisah dan menumbuhkan rasa ketidaknyamanan dalam diri kita.

Mereka yang mengalami FOMO kemudian berusaha untuk mencari pelepasannya melalui medsos. Kita kerap merasa senang ketika di-tag atau di-mention oleh teman di medsos. Perasaan serupa muncul ketika ada orang yang menyukai postingan kita dengan memberikan tanda like dan memberikan comment. Rasa senang ini pun turut meningkatkan hormon dopamin kita.

Sayangnya, semakin intens kita ingin mencari rasa senang dengan cara tersebut, lama-kelamaan justru semakin meningkatkan kecemasan ketika tag, like, dan comment itu tidak ada.

Rasa itu kemudian berkembang sampai kita merasa bahwa hidup orang lain lebih menyenangkan daripada diri kita. Kita pun terdorong untuk terus membuka medsos demi melihat-lihat kehidupan orang lain. Di sinilah lingkaran setan bekerja sampai menjadi sebuah ketergantungan yang sulit dilepaskan.

Apalagi, perputaran informasi saat ini bergerak begitu cepat dan terus berubah-ubah. Hampir mustahil bila kita ingin selalu update dengan beragam informasi terbaru. Menambah frekuensi penggunaan medsos justru akan menambah tingkat kecemasan kita.

Hasil penelitian mengatakan bahwa rata-rata manusia dewasa muda menghabiskan 147 menit sehari untuk bermain medsos. Inilah yang menyebabkan kita selalu update dengan segala kejadian di dunia, termasuk hal-hal yang dilakukan orang lain, mulai dari sahabat, rekan kerja, tetangga, hingga tokoh-tokoh publik.

Banyak juga yang kemudian tidak ingin merasa ketinggalan dengan ikut mendokumentasikan dan menyebarkan setiap aktivitasnya. Bahkan, sampai tidak memikirkan dampak postingan yang dilakukannya terhadap keselamatannya. Hal ini dilakukan hanya agar dirinya merasa sebagai bagian dari aktivitas lingkungan sosialnya.

Walaupun citra kehidupan orang di medsos tidak menggambarkan kehidupannya secara utuh karena biasanya yang ditampilkan hanya bagian terbaiknya saja, kita tetap sulit menghentikan pemikiran yang membandingkan diri dengan orang lain.

Penulis sekaligus ahli filsafat Montesquieu mengatakan, “If one only wished to be happy, this could be easily accomplished; but we wish to be happier than other people, and this is always difficult, for we believe others to be happier than they are.”

Social comparison memang destruktif untuk rasa well-being kita. Para penderita FOMO umumnya terus berfokus ke luar dirinya sehingga tidak pernah mengolah dirinya sendiri. Bahkan, mereka sering kali kehilangan sense of self yang autentik. Mereka sibuk membandingkan kehidupan nyatanya dengan kehidupan sosial media orang lain, sampai akhirnya merasa terasing dalam dunianya sendiri.

Mengubah fokus dan lebih bersyukur

Meskipun sadar hal ini membuat hidup kita semakin menderita, mengubah kebiasaan dan pikiran kita tidaklah mudah. Penulis buku Happiness by Design: Change What You Do, Not How You Think, Paul Dolan, mengatakan bahwa kebahagiaan terletak pada alokasi perhatian kita.

Apa yang kita fokuskan akan memengaruhi tingkah laku dan kebahagiaan kita. Bila bisa mengurangi fokus pada hal-hal yang membuat galau dan sebenarnya tidak penting, kita memiliki ruang lebih besar untuk memikirkan hal-hal yang penting bagi kita.

Jadi, bagaimana kita bisa mengalihkan perhatian kita menghindari adiksi Montesquieu, sedangkan hidup kita terasa membosankan dan monoton? Start your day with learning, not scrolling.

Pandanglah sekeliling Anda. Apakah masih ada hal yang belum Anda syukuri? Rumah? Pekerjaan? Keluarga? Teman? Bayangkan bila hal-hal ini diambil dari kita, bagaimana perasaan kita? Oleh karena itu, syukuri dan nikmatilah apa yang saat ini berada dalam genggaman kita.

Pada dasarnya, rasa bersyukur adalah kunci kebahagiaan. Semakin seseorang bersyukur, semakin ia kebal terhadap depresi, kecemasan, dan rasa iri.

Meskipun sense of belonging memang merupakan salah satu kebutuhan manusia, kita tidak selalu perlu be connected. Sesekali kita memang perlu tahu apa yang terjadi dengan orang-orang di sekeliling kita, tetapi sesekali menikmati kesendirian, asyik juga.

“Yang menarik adalah kekuatan dan dampak dari medsos… Jadi, kita harus mencoba menggunakan medsos dengan cara yang baik." - Malala Yousafzai

https://money.kompas.com/read/2023/03/25/075800126/fomo

Terkini Lainnya

Bagikan artikel ini melalui
Oke