Jika mengacu data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), nominal pembayaran utang pemerintah tidak sebesar yang disebutkan JK. Namun demikian, nominal pembayaran utang pemerintah memang terus meningkat.
Berdasarkan data APBN, pada 2019 pemerintah mengeluarkan dana Rp 362,7 triliun untuk pembayaran dan cicilan utang. Jumlah tersebut terus meningkat, di mana pada 2022 nilainya mencapai Rp 467,5 triliun.
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan, fenomena tersebut memang perlu menjadi perhatian pemerintah. Namun demikian, Ia menilai, hal itu belum terlalu mengkhawatirkan.
"Ini meningkat memang karena siklusnya debt servicing sedang terjadi saja," kata dia, kepada Kompas.com (26/5/2023).
Lebih lanjut dia menyebutkan, secara umum nominal pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah masih aman. Hal ini juga diikuti dengan besaran utang pemerintah yang dinilai masih aman dari segi komposisi, tenor, dan profilnya.
Sebagai informasi, sampai dengan akhir April 2023 nominal utang pemerintah tercatat sebesar Rp 7.849,89 triliun. Jika dilihat berdasarkan komposisinya, 89,26 persen dari total utang pemerintah merupakan Surat Berharga Negara (SBN).
"Semuanya masih dibawah kebanyakan negara lain dan masih di bawah threshold internasional untuk GDP (produk domestik bruto) per kapita kita," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Institute Pieter Abdullah menyebutkan, nominal pembayaran utang bukan menjadi tolak ukur bahaya atau tidak kondisi keuangan pemerintah. Terdapat berbagai aspek lain yang perlu diperhitungkan.
Menurut dia, dalam mengukur bahaya atau tidak kondisi keuangan suatu negara perlu dipertimbangkan juga aspek lain seperti aset, pendapatan, serta PDB negara. Dalam hal ini, seiring dengan meningkatnya nominal pembayaran utang, berbagai aspek tersebut turut meningkat.
"Saya melihat utang pemerintah saat ini dalam keadaan aman-aman saja. Tidak ada masalah dengan utang pemerintah," tuturnya.
Pernyataan dengan nada berbeda disampaikan oleh Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. DIa menyebutkan, nominal pembayaran utang pemerintah saat ini sudah cukup besar, dan akan membebani pendapatan negara.
"Tahun depan, pada saat pemilu beban bunga utang yang harus dibayar bisa menembus Rp 500 triliun. dan itu artinya akan banyak menghaibskan banyak pendapatan negara," katanya.
Selain nominalnya yang terus merangkak naik, Bhima juga menyoroti potensi pembayaran bunga yang lebih besar. Hal ini seiring dengan kenaikan suku bunga agresif yang terjadi di global. Dengan tingkat suku bunga acuan global yang lebih tinggi, pemerintah disebut perlu melakukan penyesuaian terhadap tingkat suku bunga SBN untuk menarik minat investor.
"SBN suku bunganya relatif tinggi sektira 6-7 persen. Dan Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat SBN yang tertinggi di negara Asia Tenggara, bahkan lebih tinggi dari Filipina," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah sempat mengatakan, pengelolaan pembayaran utang pemerintah masih terjaga dan sudah sesuai dengan strategi pembiayaan yang dimuat dalam APBN. Dalam pengelolaan pembayaran utang, bendahara negara bilang, salah satu indikator yang diperhatikan oleh pemerintah ialah terkait tenor dari portofolio pembiayaan yang dilakukan.
"Kalau kita lihat dari data-data dan pengelolaan utang setiap tahun, kita tahu beberapa utang ada jangka waktunya, jadi kita pasti untuk yang tempo maupun pembyaran utang sudah dalam APBN," kata dia, di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (23/5/2023).
https://money.kompas.com/read/2023/05/26/180744526/besaran-pembayaran-utang-pemerintah-terus-meningkat-perlu-perhatian-khusus