Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yanti Isa, Ikut Lomba Masak Pakai KTP Ibu

Kompas.com - 13/10/2008, 07:15 WIB

Wanita 41 tahun ini pemilik 3 perusahaan makanan. Selain memasok bumbu untuk industri makanan, ia juga mengelola lebih dari 200 outlet chicken crips di seluruh Indonesia. Ibu 2 anak, Hasya Ghassani (12) dan Tsania Mahrani (10,5), ini juga aktif menulis buku tentang kewirausahaan dan menjadi public speaker.

Bagaimana awalnya Anda membuka Magfood?
PT Magfood Inovasi Pangan (MIP) berdiri tahun 2001, bergerak di bidang Food Seasoning and Product Development. Kita membuat bumbu aneka rasa untuk industri-industri makanan. Klien kita antara lain pabrik bakso, mi instan, keripik, kerupuk, biskuit, dan sebagainya.  MIP juga menerima jasa one stop shopping pengembangan produk baru dari A-Z untuk industri makanan, mulai dari mencarikan merek, membuat produk, hingga set up pabriknya. Target pasar MIP sebetulnya perusahaan skala menengah. Tapi perusahaan kecil pun kita layani sepanjang mereka punya moral dan menginginkan produk yang berkualitas. Di Indonesia, industri makanan kan, ada yang punya moral ada yang enggak. Yang enggak contohnya industri yang produknya dikasih boraks, formalin, dan sebagainya. Jadi, kita sangat selektif memilih klien atau konsumen.

Selain itu?
Selain itu kita juga punya PT Magfood Red Crispy (MRC) yang menjual menu chicken crips. Dulu, MRC bermain di segmen kaki lima dengan gerobak (counter). Setahun berdiri, langsung punya 150 outlet, lho, sampai akhirnya total ada 270 outlet. Dari 270 outlet, 40 di antaranya bertipe kafe, sementara sisanya tipe gerobak dan becak.
Dulu kita pioner, tapi saya lihat kok, kompetisinya lama-kelamaan padat banget. Saya pikir, strateginya harus diubah, diupgrade. Segmentasi franchisee-nya juga harus diubah. (Tahun 2006, Yanti pecah kongsi dengan teman bisnis pendiri Magfood dan mengambil alih semua saham di Magfood.) Ternyata berat di segmen itu, karena orang bersaing harga, tidak melihat kualitas. Jadi, akhirnya kita banting setir. Market itu mulai kita tinggalkan karena terlalu crowded.

Lantas?
Ya, kita bikin pasar sendiri. Saya lihat peluangnya banyak. Saya lihat orang punya uang, punya waktu, ingin binsis, tapi nggak tahu mau bisnis apa. Kriteria dan kualifikasi franchisee saya ubah. Ini kan menyangkut business opportunity. Saya melihat, pengembangan bisnis ke depan lebih baik dengan merk baru, tapi dengan strategi yang beda. Bisnis itu kan, masalah moral, kepercayaan, komitmen.
Akhirnya, sejak 2007 saya bikin Magfood Amazy (MA) yang lebih fokus pada segmen pasar anak dan remaja dengan tampilan outlet lebih eksklusif dan cozy serta harga jual produk lebih kompetitif. Harganya memang lebih mahal dan segmen lebih tinggi, tapi dengan perubahan segmen ini, kita menuntut diri kita untuk bekerja lebih profesional, SOP kerja juga lebih total. Alhamdulillah, setelah jalan setahun, kini sudah ada 30 outlet MA yang bisa bersaing dengan 270 outlet MRC yang sudah lebih dulu ada.

MRC sendiri masih tetap jalan?
Masih. Tapi karena sekarang ada 2 MRC di pasaran (salah satunya dijalankan oleh mantan teman kongsi Yanti), lebih baik saya bikin merek baru dengan MA itu. Secara hukum, MRC milik kita, cuma kalau ada yang mau bergabung menjadi franchisee (member), kita sodorkan konsep MA.

Dari sisi konsep, apa beda MA dengan MRC?
Yang jelas penampilan, harga jual dan target marketnya beda. Produknya sama meskipun terus ada pengembangan. MA punya beberapa menu andalan, seperti Ayam Saus Keju. Tepung krispi kita juga khusus yang sulit ditiru kompetitor. Bumbu MA tidak dijual bebas. Para member membeli dari kita.

Apa syarat kalau mau jadi franchisee di MA?
Syaratnya orang yang mau bergabung dengan kita tak cuma harus punya uang, yang lebih penting adalah mau terjun ke lapangan. Harus mau melayani orang, pokoknya service oriented. Mereka juga harus orang yang sabar, karena bisnis ini adalah bisnis ngumpulin uang receh. Omzetnya paling “cuma” sekitar Rp 1-1,5 juta sehari. Tapi kalau di luar Jawa bisa Rp 10 juta per hari, tiga bulan sudah balik modal.

Bagaimana proses pendirian sebuah outlet?
Kalau ada yang berminat, saya akan mengirim orang untuk melakukan survei. Tak cuma survei lokasi tapi juga survei kompetisi, harga, bahan baku, dan sebagainya. Dari situ kita akan membuat strategi harga jualnya. Harga jual tiap-tiap daerah memang berbeda, tergantung pasar, bahan baku, kompetitornya. Tapi kita punya range harganya.
Kita memang bergerilya, kebanyakan di kota-kota kecil. Setiap membuka outlet, saya memang enggak pernah investasi besar. Targetnya, minimal 10 bulan sampai setahun sudah balik modal. Kuncinya di return of investement.

Kunci sukses bisnis Anda apa, sih?
Saya memulai bisnis ini dari nol, dari modal hanya Rp 10 juta. Kantornya pun waktu itu masih di rumah. Ini memang bisnis receh, tapi bisa menghasilkan miliaran rupiah. Salah satu contohnya, para member (franchisee) itu juga belanja kantung, minyak, sambal, bumbu ke kita.
Prinsip saya, di bisnis ini saya mengembangkan orang, bukan bekerja day to day. Kuncinya adalah membangun orang, membangun team, membangun sistem. Pengalaman menjadi profesional selama 15 tahun sangat membantu saya.
Sebelum di Magfood, saya pernah beberapa kali berbisnis, tapi enggak selalu berhasil. Contohnya di bisnis investasi pasif, saya gagal. Cuma jadi penanam modal, tapi malah gagal. Sepertinya, kalau bisnis, saya harus bisa mengontrol.
Bisnis juga harus kreatif, harus punya kunci yang enggak gampang ditiru kompetitor, tapi operasional di lapangan harus mudah. Kasarnya orang yang enggak bisa masak pun jadi jago masak di sini, karena semuanya ada standardnya.

Omong-omong, sebelum aktif di Magfood, Anda bekerja dimana?
Sebelumnya, selama 15 tahun saya bekerja sebagai profesional. Saya punya keahlian di bidang product development, business development dan brand management. Saya murni orang bisnis. Cuma waktu itu bisnisnya punya orang lain. Hehe. Tanggung jawabnya sih, sama, cuma kalau di bisnis sendiri, saya berusaha tidak menjalankan operasional.
Dari awal berbisnis, urusan operasional saya serahkan ke orang, saya delegasikan. Saya membuat sistem yang kuat. Misalnya di MIP, saya punya punya bagian research and development (R & D). Setiap hari, sample rasa dikirim ke rumah dan saya sendiri yang ngetes. Saya punya banyak klien industri makanan. Salah satu contoh, ada pabrik keripik singkong yang ingin bikin keripik rasa balado yang pedes banget. Kita bikinkan mereka formula eksklusif. Saya ikut ngetes, tapi soal keputusan tidak melibatkan saya, karena sudah operasional. Saya cuma dapat laporan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com