Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompleksnya Dampak Flu Burung di Indonesia

Kompas.com - 17/01/2009, 09:52 WIB

WABAH virus flu burung di Indonesia memiliki dampak multikompleks, mulai dari ekonomi, ketahanan dan keamanan pangan, kesehatan masyarakat, sosial budaya, politik, serta psikologi. Karena itu, penanganan flu burung di Indonesia berbeda dengan negara lain.

Demikian pandangan pakar unggas dari Universitas Gadjah Mada yang juga anggota panel ahli Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza, Charles Rangga Tabbu, Jumat (16/1) di Jakarta.

Menurut dia, karena berdampak multikompleks, cara pemusnahan total seperti di Jepang, Inggris, Jerman, Belanda, Italia, dan Amerika Serikat tidak bisa dijalankan.

Bagi Indonesia yang ekonominya lemah seperti negara negara-negara Afrika, pemusnahan unggas secara total (stamping out) jika dipaksakan akan mengganggu ketahanan pangan karena unggas merupakan sumber gizi.

Bagi masyarakat desa, unggas memiliki nilai ekonomis, kerap menjadi ”tabungan”. Sebagai budaya, ketika mengawinkan anak, orangtua kerap menghadiahkan ayam.

Dampak kesehatan masyarakat jelas karena virus flu burung mematikan. Adapun dampak psikologis, peternak unggas yang terserang flu burung bisa stres dan jantungan.

Dampak politik, terkait kebijakan perdagangan internasional karena AS kerap mendesak Indonesia melakukan pemusnahan total. Jika dilakukan, Indonesia akan impor paha bawah dari AS.

Terlalu banyak risiko dan kendala bila melakukan pemusnahan total. Karena itu, Indonesia memilih vaksinasi dan pemusnahan terbatas.

Pada pemusnahan total, jika ada kasus, unggas pada radius satu kilometer dimusnahkan, sampai radius tiga kilometer ada pemeriksaan serologi. Jika positif, dimusnahkan lagi.

Selain itu, penanggulangan flu burung di Indonesia termasuk terlambat. Pertama kali ditemukan unggas terserang flu burung Agustus 2003, tetapi saat itu pemerintah masih mengira penyakit tetelo.

Pemerintah baru mendeklarasikan enam bulan setelahnya. Saat itu sebaran virus sudah meluas sebab sistem peternakan belum terstruktur rapi. ”Perangkat diagnosis juga belum ada,” katanya.

Contoh negara lain

Indonesia juga perlu mencontoh penanggulangan flu burung di sejumlah negara tetangga, di antaranya Thailand.

Peneliti dari Tropical Disease Diagnostic Center (TDDC) Universitas Airlangga, drh CA Nidom, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu, menyatakan, Thailand berhasil mengendalikan penyebaran virus flu burung dengan pemusnahan massal.

Pertama muncul kasus tahun 2003, Pemerintah Thailand segera memusnahkan populasi unggasnya. Selanjutnya dibentuk satuan tugas lintas sektor dari pusat hingga daerah. ”Ada komitmen bersama lintas departemen, pemda, dan masyarakat,” kata Nidom.

Pemerintah Thailand juga merestrukturisasi peternakan dengan menata usaha peternakan di semua sektor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Thailand bekerja sama dengan Osaka University untuk memetakan sebaran virus flu burung di negara itu. Sementara itu, di Vietnam, upaya pengendalian flu burung adalah dengan mengubah perilaku masyarakat. Masakan dari darah bebek tidak lagi ada.

Nidom optimistis Indonesia juga bisa berhasil mengendalikan flu burung jika pemerintah tegas menjalankan program dan jelas orientasinya, mau melindungi nyawa manusia atau industri peternakan, menganggap flu burung sebagai masalah nasional atau internasional. (MAS/EVY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Mulai Hitung Kebutuhan Formasi ASN di IKN

Kemenhub Mulai Hitung Kebutuhan Formasi ASN di IKN

Whats New
BEI: Eskalasi Konflik Israel-Iran Direspons Negatif oleh Bursa

BEI: Eskalasi Konflik Israel-Iran Direspons Negatif oleh Bursa

Whats New
IHSG Turun 1,11 Persen, Rupiah Melemah ke Level Rp 16.260

IHSG Turun 1,11 Persen, Rupiah Melemah ke Level Rp 16.260

Whats New
IPB Kembangkan Padi 9G, Mentan Amran: Kami Akan Kembangkan

IPB Kembangkan Padi 9G, Mentan Amran: Kami Akan Kembangkan

Whats New
Konsorsium Hutama Karya Garap Proyek Trans Papua Senilai Rp 3,3 Triliun

Konsorsium Hutama Karya Garap Proyek Trans Papua Senilai Rp 3,3 Triliun

Whats New
Kementerian PUPR Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syaratnya

Kementerian PUPR Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syaratnya

Work Smart
Juwara, Komunitas Pemberdayaan Mitra Bukalapak yang Antarkan Warung Tradisional Raih Masa Depan Cerah

Juwara, Komunitas Pemberdayaan Mitra Bukalapak yang Antarkan Warung Tradisional Raih Masa Depan Cerah

BrandzView
Rupiah Melemah Tembus Rp 16.200 Per Dollar AS, Apa Dampaknya buat Kita?

Rupiah Melemah Tembus Rp 16.200 Per Dollar AS, Apa Dampaknya buat Kita?

Whats New
Dollar AS Tembus Rp 16.200, Kemenkeu Antisipasi Bengkaknya Bunga Utang

Dollar AS Tembus Rp 16.200, Kemenkeu Antisipasi Bengkaknya Bunga Utang

Whats New
Bawaslu Buka 18.557 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Prioritas Kebutuhannya

Bawaslu Buka 18.557 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Prioritas Kebutuhannya

Whats New
Ingin Produksi Padi Meningkat, Kementan Kerahkan 3.700 Unit Pompa Air di Jatim

Ingin Produksi Padi Meningkat, Kementan Kerahkan 3.700 Unit Pompa Air di Jatim

Whats New
Kemenhub Buka 18.017 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Rinciannya

Kemenhub Buka 18.017 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Rinciannya

Whats New
Melalui Pompanisasi, Mentan Amran Targetkan Petani di Lamongan Tanam Padi 3 Kali Setahun

Melalui Pompanisasi, Mentan Amran Targetkan Petani di Lamongan Tanam Padi 3 Kali Setahun

Whats New
Konflik Iran-Israel Bisa Picu Lonjakan Inflasi di Indonesia

Konflik Iran-Israel Bisa Picu Lonjakan Inflasi di Indonesia

Whats New
Kartu Prakerja Gelombang 66 Resmi Dibuka, Berikut Persyaratannya

Kartu Prakerja Gelombang 66 Resmi Dibuka, Berikut Persyaratannya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com