Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Skenario di Balik Divestasi Newmont

Kompas.com - 07/04/2009, 08:38 WIB

Oleh: Doty Damayanti

Pemerintah mengklaim telah memenangi arbitrase kasus divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Pemerintah menyatakan bahwa panel arbitrase memutus NNT bersalah karena telah lalai dalam melakukan divestasi sebesar 17 persen dari saham yang ada.

Dalam pengumuman resmi pada hari Rabu (1/4), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyampaikan garis besar putusan arbitrase internasional, yang menurut dia, pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia.

Ada lima poin putusan yang dihasilkan, yaitu panel memerintahkan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) melaksanakan ketentuan Pasal 24 Ayat 3 kontrak karya, menyatakan bahwa NNT telah melakukan pelanggaran perjanjian, memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7 persen kepada pemerintah daerah. Adapun untuk tahun 2008 sebesar 7 persen kepada Pemerintah RI.

Semua kewajiban tersebut di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Panel arbitrase juga menyatakan bahwa saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan urusan PT NNT.

PT NNT diperintahkan untuk mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase dalam perkara tersebut dalam tempo 30 hari. Dalam keterangan yang sangat singkat itu, Menteri ESDM sama sekali tidak menyinggung bahwa panel hanya mengabulkan bagian kedua dari tuntutan Pemerintah Indonesia. Arbitrase menolak gugatan pemerintah mengakhiri kontrak karya PT NNT. Kontrak NNT berlaku sampai 2027.

Sementara, pada hari yang sama, Newmont Mining Corporation, induk perusahaan NNT di Denver, Amerika Serikat, mengeluarkan pernyataan resmi tentang putusan arbitrase yang mengatakan pemerintah tidak berhak memutus kontrak.

Pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di hari yang sama, Newmont juga mengajukan gugatan atas pemerintah. Proses arbitrase berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner).

Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default.

Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi.

Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.

Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya, belumlah fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak. Kondisinya akan berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50 persen lebih. ”Panel menggunakan hukum yang berlaku di Inggris. Mengacu pada aturan itu, maka ganjaran yang diberikan yang seminimal mungkin,” kata Joseph.

Namun, ia mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi kontrak karya, terminasi bisa dilakukan jika perusahaan tidak sanggup memperbaiki kesalahan sampai batas waktu yang diberikan.

Direktur Eksekutif Reforminer Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kisruh divestasi yang berujung pada arbitrase itu sebenarnya menunjukkan dua hal. Pertama, potret ketidakberdayaan pemerintah atas rezim kontrak karya. Kedua, berkuasanya investasi asing bermodal besar. ”Untuk menyatakan NNT lalai melakukan divestasi saja, pemerintah harus maju ke arbitrase, dan justru panel menolak tuntutan utama soal memutus kontrak,” kata Pri Agung.

Bentuk kontrak atau perjanjian menempatkan posisi pemerintah dan perusahaan pertambangan berada sejajar. Kontrak dengan perusahaan multinasional selalu memasukkan klausul penyelesaian melalui arbitrase internasional. Kontrak tidak tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia kecuali arbitrase menyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait harus mematuhi hasil putusan.

Merunut sejumlah divestasi perusahaan pertambangan asing, yang memperoleh manfaat dari divestasi adalah kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Sebagai contoh, divestasi saham PT Freeport Indonesia yang jatuh ke tangan pengusaha Aburizal Bakrie dan Bob Hasan. Bakrie juga menangguk keuntungan dengan menadah saham PT Kaltim Prima Coal yang menjadikan konsorsium perusahaan pertambangan batu bara terbesar di Indonesia, BUMI Resources. Tambang Batu Hijau, di Nusa Tenggara Barat, yang dikelola oleh NNT, menghasilkan emas dan tembaga.

Direktur Indonesia Coal Society Singgih Widagdo menilai, pelaksanaan divestasi saham perusahaan tambang asing masih jauh dari semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar. Sejauh ini, divestasi tidak pernah benar-benar dimanfaatkan untuk mengelola sendiri kekayaan tambang. ”Apabila pemerintah serius, seharusnya dari awal badan usaha milik negara didorong membeli saham tersebut. Kalau itu dilakukan dari dulu, sekarang kita sudah punya BUMN tambang yang besarnya sama dengan perusahaan multinasional,” ujar Singgih.

Ia mencontohkan BUMN tambang asal Brasil, Companhia Vale do Rio Doce (CVRD), yang menjadi salah satu perusahaan tambang kelas dunia.

Dari catatan Kompas, dalam kasus divestasi NNT, pemerintah pusat sebagai pihak pertama yang punya hak untuk membeli saham, menyatakan tidak memiliki dana. Hak pembelian saham yang mulai ditawarkan tahun 2006 itu kemudian diberikan kepada pemerintah daerah, yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat. Pemda jelas tidak memiliki kemampuan sendiri untuk membeli saham NNT tahun 2006 dan 2007 yang jika digabungkan mencapai 400 juta dollar AS. Pemda melalui badan usaha milik daerah kemudian menggandeng pihak swasta, yaitu BUMI dan Trakindo.

Proses divestasi semakin ruwet dengan masuknya pihak swasta. Trakindo adalah mitra lama Newmont dalam mengelola tambang Batu Hijau, sedangkan BUMI dipandang Newmont sebagai kompetitor yang akan mengancam posisi pemegang saham utama NNT jika terus diberi kesempatan ikut dalam divestasi.

Komposisi saham NNT sebanyak 20 persen dimiliki oleh PT Pukuafu Indah yang tercatat sebagai bagian dari 51 persen saham nasional, 35 persen Sumitomo, dan 45 persen Newmont Mining Corporation. Untuk melindungi posisinya, NNT menawarkan skema pinjaman lunak kepada pemda, bahkan memakai alasan bahwa saham yang didivestasikan itu dalam posisi dijaminkan kepada sejumlah bank asing. Artinya, siapa pun yang membeli saham NNT, tidak bisa menjual sahamnya, sampai utang NNT itu lunas.

Semua langkah itu dilakukan NNT yang menginterpretasikan bahwa jika swasta sudah mulai ikut, proses divestasi harus dilakukan melalui mekanisme B (business) to B murni. NNT ingin bisa memilih badan usaha swasta yang sejalan dengan rencana pengembangan bisnisnya dan bisa memberi penawaran paling maksimal atas nilai saham yang akan dijual. Isu-isu semacam ini tidak diatur secara detail dalam kontrak.

Hal ini, menurut salah satu saksi yang ikut dalam sidang arbitrase, menjadi salah satu argumentasi Newmont kepada panel arbitrase.

Pengamat pertambangan, Ryad Charil, menilai ada skenario tertentu di balik putusan arbitrase. Ia memperkirakan keruwetan atas pelaksanaan divestasi masih berpotensi pasca-arbitrase. Isu asal dana pihak ketiga, status saham yang digadai, juga isu-isu lain masih akan muncul. ”Menarik untuk dilihat, siapa yang menalangi dana pembelian saham untuk pemda, apakah pemerintah pusat memakai haknya untuk mengambil saham yang ditawarkan NNT,” kata Ryad.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com