Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas Berikan Penghargaan kepada Lima Cendekiawan Berdedikasi

Kompas.com - 24/06/2009, 22:31 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke-44 yang jatuh pada hari Minggu (28/6) nanti, harian Kompas akan memberikan penghargaan kepada lima cendekiawan yang dianggap berdedikasi.

Mereka adalah Prof Dr Saparinah Sadli (81), Prof Emeritus Dr Ir Sjamsoe’oed Sadjad MSc (78), Liek wilardjo (70), dr Kartono Mohamad (70), dan Prof Maria SW Soemardjono (66). Kelimanya adalah kolumnis yang artikelnya sering menghiasi halaman opini Kompas, dan sampai saat ini masih terus mengabdikan dirinya pada dunia ilmiah meski usianya boleh dibilang sudah sepuh.

Pemberian penghargaan akan dilakukan dalam sebuah acara di Hotel Santika Jakarta, Kamis (25/6) besok. Berikut adalah gambaran singkat tentang siapa para cendekiawan itu.

Prof Hc Liek Wilardjo
Menilai Liek Wilardjo (70) harus utuh. Hanya menilai dari “pandangan  pertama” bisa salah sangka karena akan terkesan kaku, nyaris tanpa ekspresi, dan irit bicara. Namun, dengan menyimak tulisan-tulisannya di media massa dan penuturan orang-orang yang sudah lama berinteraksi dengan guru besar Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga ini barulah tergambar secara lengkap sosok cendekiawan yang utuh dan interdisipliner itu.

Spesialisasi yang ditekuni secara serius oleh ilmuwan kelahiran Purworejo, 24 September 1939, itu adalah fisika dan matematika. Akan tetapi, tulisan-tulisannya juga tentang filsafat ilmu, etika, pendidikan sains, bahasa keilmuan, dan telaah lintas agama, yakni bidang-bidang yang juga diminatinya.

Prof Maria SW Soemardjono
Usianya sudah menginjak 66 tahun, tetapi Bu Maria belum kehilangan daya kritisnya. Bahkan untuk hal-hal kecil.

Ketika berlangsung sesi pemotretan di kebun belakang rumahnya yang asri di Yogya, misalnya, Guru Besar Hukum Agraria UGM itu beberapa kali mempertanyakan apa manfaat gaya dan kemudian juga segera ingin tahu hasilnya. "Memang saya begitu. Selalu bertanya apa pun," katanya.

Di usianya yang senja, Bu Maria yang pensiun tahun lalu itu masih sangat sehat. Pikiran jernih dan mampu menanggapi berbagai permasalahan aktual yang terjadi di negara ini. Bukan hanya masalah pertanahan yang sudah menjadi spesialisasinya, tetapi juga info aktual terakhir tentang persidangan Bupati Sleman yang kini dalam proses pengadilan.

Prof Dr Saparinah Sadli

Sejarah mencatat ketokohan Prof Dr Saparinah Sadli (81) dalam berbagai peristiwa penting yang menjadi tonggak perjuangan perempuan untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Dia adalah sosok ilmuwan dan pekerja hak asasi manusia yang tak pernah pensiun.

Perjalanannya yang panjang dan penuh, teguh dan kukuh, adalah perpaduan antara ‘kebetulan-kebetulan yang bermakna’, dorongan teman, sahabat dan suami, serta kehendak untuk terus belajar dan bekerja. “Setiap orang selalu dalam proses menjadi,” ujar Bu Sap – begitu ia disapa.

Meski sudah sepuh, Bu Sap saat ini masih membantu Fakultas Psikologi UI dan Program Pascasarjana Kajian Wanita UI, yang dirintisnya sejak tahun 1989. Ia juga aktif di Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), terus menulis dan saat ini menjadi anggota tim peneliti tentang gender dan kesehatan reproduksi (kespro) dalam buku pelajaran SD, SMP, dan SMA. Hobi barunya, mencari bunga di Pasar Bunga Rawa Belong juga menjadi bagian dari kegiatan rutinnya.

dr Kartono Mohamad
Ia seorang dokter, tetapi tulisan-tulisannya tentang banyak hal kritis dan tajam. Mungkin ada pihak yang tersinggung. Namun, contoh-contoh di lapangan serta data yang dipaparkan dalam tulisan itu sulit dibantah. Begitulah dr Kartono Mohamad (70) menulis.

Dokter kelahiran Batang, Jawa Tengah, 13 Juli 1939, ini sudah menulis untuk Kompas sejak 1972. Tidak kurang dari 234 tulisannya dimuat di harian Kompas. Isi tulisannya terutama menyangkut persoalan kesehatan dalam arti luas. Selain persoalan kebijakan kesehatan, pelayanan kesehatan, medis, dan obat-obatan, profesi dokter, etika kedokteran dan layanan rumah sakit juga diulasnya. Kartono mampu menjelaskan kepada pembaca, duduk persoalan dari suatu peristiwa secara jernih.

Persoalan yang rumit bisa dipaparkan secara sederhana sehingga mudah dimengerti pembaca. Begitulah Kartono. Cita-citanya sejak awal memang ingin  meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara menyeluruh. ”Menulis sangat membantu pemahaman masyarakat terhadap persoalan-persoalan kesehatan,” kata Kartono.

Bukan cuma menulis artikel di media massa, Kartono juga menulis sejumlah buku kesehatan, termasuk aspek hukum dan etika profesi kedokteran. Dokter  lulusan Universitas Indonesia 1964 ini juga sempat praktik melayani kesehatan masyarakat. Selain itu juga mengajar Etika di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta (1992-1996), serta menjadi Redaksi Pelaksana Majalah Ilmu Bedah Ropanasuri, dan Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Medika.

Prof Emeritus Dr Ir Sjamsoe’oed Sadjad MSc
Insinyur Pertanian yang satu ini tidak pernah putus berbagi pengetahuan. Meskipun pionir dalam ilmu dan teknologi benih di Indonesia—dia memimpin laboratorium benih IPB mulai 1 Januari 1964—tetapi pembaca harian Kompas mengenal Prof Sadjad melalui pikirannya yang menyentuh berbagai aspek pertanian: sosial, ekonomi, dan politik. Tulisan pertamanya di Kompas, tahun 1977, tentang peran para pengelola air.

“Saya tidak pernah berhenti menyampaikan paradigma saya. Sebagai ilmuwan saya teknolog, tetapi pikiran saya yang divergen tidak dibatasi tembok laboratorium,” kata Prof Sadjad (78).

Dia memilih media massa sebagai sarana menyampaikan pikirannya. Minat dan perhatiannya luas karena ketika belajar di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang IPB), Prof Sadjad harus menulis empat skripsi: dua skripsi mayor bidang politik pertanian dan agronomi, serta dua skripsi minor di bidang  usaha tani dan peternakan.

Menurut Prof Sadjad, pertanian harus dilihat sebagai proses industri karena dalam mengolah lahan, petani melakukan sistem manajemen dan memerlukan aset, yaitu tanah yang bisa hak milik atau sewa, modal, dan proses yang menghasilkan produk. Nyatanya, petani tidak pernah diajar memiliki mental industriawan, dan dia mengakui, pada dirinya pun pemikiran itu datang belakangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com