Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Igun, Lawan China dengan Kreativitas

Kompas.com - 26/07/2009, 08:31 WIB

KOMPAS.com — Gunawan (42) mencelupkan kuas ke dalam glasir berwarna kuning yang diwadahi baskom di hadapannya. Lempung kering kecoklatan di tangan kirinya pun menanti untuk diwarnai. Setengah langkah lagi lempung kering itu akan merupa kerajinan keramik dengan harga tinggi di pasaran.

Gunawan yang akrab dipanggil Igun mengelola usaha Elina Keramik dengan sepupunya, Elina Farida (45), sejak tahun 1996. Dari mulanya sekadar coba-coba, kini usaha itu mampu meraup omzet lebih dari Rp 10 juta per bulan. Puluhan orang terlibat di sana.

”Hambatan usaha keramik ialah persoalan bahan baku dan pemasaran. Kemauan dan kerja keras menjadi kunci untuk lolos dari segala kesulitan,” ujar Igun.

Di tengah krisis finansial saat ini, Igun mengaku tidak mengalami banyak kesulitan. Sebab, pasar produknya masih lokal. Meskipun bersaing dengan produk impor dari China yang lebih murah, produk kerajinan keramik Igun punya pasar dan pelanggan tersendiri.

Igun menghadapi krisis finansial dengan berkaca dari pengalaman krisis moneter 1997. Puluhan usaha kerajinan keramik di Bandung gulung tikar. Namun, Elina Keramik mati-matian bertahan. Mobil dan harta benda pribadi Igun dan Elina pun dikorbankan. ”Jika saat itu kami menyerah, entah bagaimana nasib pekerja kami menggantungkan hidup pada usaha ini,” tuturnya.

Untuk menyiasati utang yang menumpuk, Elina Keramik menjadi rekanan PT Sucofindo. Perlahan-lahan, utangnya pada perusahaan induk berhasil dilunasi. Pada saat daya beli masyarakat tumbuh pada tahun 2000-an, Elina Keramik pun tinggal tancap gas meningkatkan produksi dan pemasaran.

Elina Keramik yang awalnya hanya memiliki satu mesin pembakar keramik (baker) dari utang Rp 4,5 juta, kini bisa menambah dua pembakar ukuran sedang dan besar.

Elina Keramik aktif mengikuti pameran, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk memasarkan kreasinya. Dubai, Malaysia, Jepang, China, dan Afrika Selatan didatangi untuk berpameran.

Puluhan pesanan datang setiap bulannya, baik untuk keperluan suvenir pernikahan, hiasan di hotel, maupun perkakas makan di sejumlah rumah makan di Bandung.

Produk Elina Keramik dijual dari harga belasan ribu rupiah untuk pin keramik mungil sampai guci dan peralatan makan mewah senilai jutaan rupiah.

Kekuatan desain

Keuletan manajemen pun diimbangi dengan kreativitas desain. Persaingan terberat ialah dengan produk keramik China yang sudah punya pasar luas. China unggul dengan produk massal dan harga yang murah. Untuk satu set cangkir keramik beserta poci, misalnya, dijual Rp 60.000. Satu set kerajinan yang sama buatan Elina Keramik dijual Rp 150.000. ”Kami berani menjual dengan harga lebih tinggi karena keunggulan desain,” kata Igun.

Meski pasar lebih terbatas, kekuatan desain menjadi pertimbangan konsumen tetap membeli produk Elina Keramik. Sejumlah desain Elina meraih penghargaan. Seperti desain daun tumpuk yang meraih penghargaan Indonesia Good Design.

Inspirasi desain datang dari berbagai penjuru, baik dari pekerja maupun pemilik usaha. Daun yang jatuh akibat tertiup angin bisa menjadi inspirasi yang menarik.

Sejumlah ide yang tak lazim sering kali membuat produk Elina laku di pasaran. Desain katak di dalam mangkuk, salah satunya yang laris di pasaran. Begitu juga papan nama keramik berbentuk daun yang menempel di tembok rumah.

Keberanian mencoba adalah syarat berkembangnya desain. Tak jarang Igun meminta pekerjanya membuat desain yang mereka inginkan. Kegagalan desain adalah jalan menuju desain berikutnya yang lebih baik.

Keramik Elina dibentuk dengan teknik cetak, putar, dan buatan tangan. Lempung yang telah dibentuk dan didesain, selanjutnya dikeringkan selama dua sampai tiga hari. Untuk memperoleh lempung, ia setiap bulannya membeli secara khusus dari pabrik di Tangerang.

Setelah itu, lempung dibakar setengah matang lalu diwarnai. Langkah terakhir ialah mengeringkan keramik yang diwarnai dan membakarnya lagi sampai matang. Suhu pembakaran harus disesuaikan dengan jenis lempung. Untuk lempung liat merah, misalnya, harus dibakar hingga suhu 900 derajat celsius. Untuk porcelain memerlukan suhu 1.300 derajat celsius.

Harga gas yang fluktuatif pun cukup menyulitkan usahanya. Gas amat diperlukan dalam pembakaran keramik. ”Kami pernah membeli satu tabung gas Rp 100.000 dari harga awal Rp 70.000. Padahal, untuk dua sampai tiga kali pembakaran diperlukan minimal dua tabung,” kata Igun. Dalam sehari ia rata-rata membakar keramik tiga atau empat kali.

Pengembangan pekerja

Jatuh bangunnya usaha yang dipikul bersama antara pekerja dan pemilik usaha menjadikan keduanya mitra sekaligus keluarga. Sebagian besar pekerja telah bekerja sejak Elina Keramik berdiri. Masa kerja rata-rata tujuh sampai sepuluh tahun.

Gaji pegawai minimal Rp 1 juta atau disesuaikan dengan tingkatan pekerjaan dan lama bekerja. Besaran gaji itu di atas upah minimum kota Bandung yang Rp 950.000.

Setiap pekerja pun, kata Igun, memperoleh bonus dari setiap keuntungan pesanan. Mereka juga mendapat tambahan bonus akhir tahun dan bantuan biaya kesehatan.

Elina Keramik secara rutin membuka diri sebagai tempat praktik siswa sekolah menengah kejuruan di Kota Bandung. Bahkan, sejumlah mahasiswa desain seni rupa Institut Teknologi Bandung pernah berpraktik di sana.

Igun mengatakan, Elina Keramik sengaja menempatkan diri sebagai pusat pelatihan kerajinan keramik. Alasannya, dengan makin banyak siswa yang mengerti dan menguasai keramik, kerajinan itu akan makin berkembang. ”Munculnya pesaing baru justru mewarnai dunia kerajinan keramik dan membuat pasar hidup,” ujarnya.

Igun mengharapkan perhatian pemerintah terhadap usaha kerajinan keramik, terutama untuk ketersediaan bahan baku dan bahan bakar. Pemerintah harus menanggapinya. (Rini Kustiasih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com