Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghapus Subsidi Energi, Kebijakan Salah Kaprah

Kompas.com - 14/01/2010, 17:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan energi nasional tidak boleh didasarkan pada asumsi yang tidak tepat. Keinginan sebagian kalangan untuk menghapus subsidi didasarkan pada anggapan bahwa pencabutan subsidi itu akan mengatasi persoalan ekonomi Indonesia dan dianggap sesuai dengan semangat perundang-undangan yang berlaku. ”Hal tersebut tidak tepat,” demikian pendapat Mukhtasor, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari Unsur Pemangku Kepentingan/Pakar Lingkungan Hidup, Kamis (14/1/10).

Salah satu alasan yang mendorong orang ingin menghapus subsidi adalah data intensitas energi, yaitu angka yang menunjukkan besarnya energi yang diperlukan untuk menghasilkan satuan pendapatan kotor secara nasional. Intensitas energi Jepang pada tahun 2009 adalah 70 TOE/Juta USD. Artinya, untuk menghasilkan pendapatan kotor nasional atau product domestic bruto (PDB) senilai 1 juta USD, Jepang membutuhkan konsumsi energi senilai 70 ton minyak ekivalen (TOE). Jika angka tersebut dibandingkan dengan intensitas energi Indonesia senilai 382, berarti Indonesia membutuhkan energi yang jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan oleh Jepang untuk menghasilkan pendapatan nasional yang sama.

Mukhtasor menambahkan, ”Data intensitas energi berbagai negara tersebut tidak boleh dimaknai linier dan menjadi alasan dihapuskannya subsidi”. Menurut pria yang kini juga sebagai Executive Director ICEES (Indonesian Center for Energy and Environmental Studies) ini, perbandingan tersebut tidak tepat karena keadaan keenergian masing-masing negara berbeda-beda. Lain Jepang lain Indonesia. Elektrifikasi di Indonesia masih rendah, hanya 65 persen. Sehingga energi masih banyak dibutuhkan untuk konsumsi langsung masyarakat. Pasokan energi untuk sektor produktif masih kurang. Prioritas energi untuk kebutuhan dalam negeri masih rendah. Listrik belum cukup mendukung kebutuhan pertumbuhan industri. Banyak proposal industri di luar Jawa gagal ditindaklanjuti karena tidak ada pasokan listrik.

”Konsumsi energi per kapita Indonesia juga sangat rendah, data tahun 2006 hanya 0,3 TOE per person. Bandingkan dengan Jepang yang mencapai 2,8 TOE per person. Jadi angka-angka tadi tidak dapat menjadi pembenaran bahwa rakyat Indonesia adalah konsumen energi yang boros dan karenanya subsidi harus dihapus. Sebaliknya, hal tersebut justru menunjukkan kurang efektifnya strategi pengelolaan energi. Industri yang umumnya padat energi tidak cukup mendapat pasokan listrik atau gas. Industri tidak mudah tumbuh, sehingga pendapatan nasional tidak banyak. Beban persoalan ini tidak boleh dialihkan ke pundak rakyat yang menerima subsidi, padahal pengelolaan energinya belum tepat,” kata Mukhtasor.

Di sisi lain, pencabutan subsidi bukan semangat peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang energi mengamanatkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi bagi masyarakat tidak mampu. Harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan. Ini berarti bahwa harga energi harus mencerminkan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan biaya konservasi serta keuntungan yang dikaji berdasarkan kemampuan masyarakat dan ditetapkan oleh Pemerintah.

”Dengan demikian, prinsip keekonomian berkeadilan itu tidak dapat diterjemahkan secara sederhana dengan mencabut subsidi. Hal yang lebih penting adalah realokasi subsidi, baik sasaran penerimanya maupun prioritas subsidi berdasarkan jenis energinya. Masyarakat tidak mampu harus dipastikan mendapatkan pasokan energi minyak, gas dan listrik sesuai dengan kebutuhan dasar. Kedua, energi yang ramah lingkungan seperti energi surya dan panas bumi lebih berhak mendapatkan insentif atau subsidi daripada energi kotor seperti minyak dan batubara. Untuk kondisi sosial ekonomi Indonesia saat ini, mencabut subsidi energi adalah kebijakan salah kaprah,” tandas Mukhtasor.


 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com