Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu Lagi Layanan KA Harus Mati

Kompas.com - 21/04/2010, 14:12 WIB

KOMPAS.com Selamat jalan “Parahyangan”, demikian kalimat itu meluncur dari mulut banyak orang. Tentu orang ini begitu terikat dengan “Parahyangan”. Parahyangan di sini maksudnya bukan Tatar Sunda Parahyangan, melainkan Kereta Api Parahyangan jurusan Jakarta-Bandung PP. Dalam waktu kurang dari dua pekan lagi, jalur Jakarta-Bandung yang sudah lebih dari 40 tahun lalu dilayani KA Parahyangan akan ditutup total.
    
Sejak Tol Cipularang dibuka sekitar lima tahun lalu, KA Parahyangan makin tenggelam. Meski harga tiket bisnis sudah didiskon hingga Rp 20.000, lebih banyak gerbong kosong yang harus jadi tanggungan PT Kereta Api (Persero) yang merugi hingga Rp 36 miliar per tahun. Maka dari itu, PT KA pun tetap melihat jalur ini tak lagi menguntungkan sehingga perlu ditutup.
    
Tol Cipularang dan menjamurnya travel Jakarta-Bandung PP yang makin menjemput calon pelanggan, dengan waktu tempuh yang makin pendek, menjadi idola baru komuter Jakarta-Bandung dan Bandung-Jakarta. “Padahal dari sisi harga, lebih mahal dibandingkan kereta,” ujar Ketua Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Aditya Dwi Laksana, menjawab Warta Kota, beberapa waktu lalu.
    
Aditya tentu menyayangkan keputusan PT KA yang langsung menghentikan pengoperasian kereta legendaris tersebut. “(KA) Parahyangan itu punya historis sendiri. Kereta itu mengalami masa jaya pada akhir 1980-an dan awal tahun 1990-an, sampai ada Tol Cipularang. Setelah itu, yang saya lihat, sudah ada berbagai langkah yang diambil pihak direksi, sampai mendiskon harga tiket bisnis secara besar-besaran. Namun, tetap saja, hal itu tidak mencapai okupansi yang diperlukan untuk menutup biaya operasi. Harusnya paling tidak 80 persen okupansi, tetapi ini hanya 50 persen. Jadi, direksi menetapkan untuk menutup jalur itu, diganti KA Argo Gede,” paparnya.
    
Tentu saja penggemar KA Parahyangan tetap ada. Maka dari itu, sebaiknya PT KA tidak menutup secara total, tapi bertahap, misalnya dengan mengurangi frekuensi. Jika awalnya lima kali sehari, misalnya, maka kini menjadi hanya tiga kali. Bisa pula dengan hanya mengoperasikannya pada akhir pekan (Jumat, Sabtu, dan Minggu) serta Senin ketika jumlah orang ke Bandung dan Jakarta biasanya meningkat.       
    
Terkait keberadaan Tol Cipularang, menurut Aditya, sebenarnya yang terkena dampak tak hanya KA Parahyangan, tapi juga bus antarkota Jakarta-Bandung. Pembangunan jalan tol seperti Cipularang, menghubungkan kota, pada akhirnya juga akan menambah kisah jalur kereta api yang mati.

“Ini akan memperlihatkan bahwa transportasi yang di negara maju makin berkembang, di Indonesia makin banyak yang mati. Moda itu kalah oleh moda lain karena pembangunan jalur dan jalan yang tidak mempertimbangkan jalur transportasi kereta api yang sudah ada sejak zaman Belanda,” tutur Aditya.
    
Demikianlah jika pemerintah tak punya political will dalam upaya mengembangkan moda transportasi ramah lingkungan, massal, dan terjangkau kantong masyarakat.
    
Padahal tak lama berselang, PT KA, dalam hal ini divisi Pelestarian Benda dan Aset Bersejarah, baru saja memperkenalkan pada khalayak tentang wisata sejarah sepanjang jalur Jakarta-Bandung menggunakan KA Parahyangan. “Memang, wisata itu bisa diganti oleh KA Argo Gede, tapi secara finansial kan tidak tergantikan. Harga tiket Parahyangan dan Argo Gede kan berbeda jauh,” tambah Aditya.
    
Harapan pengguna kereta api tentu saja bahwa jalur kereta api dan kereta api-nya bisa bertambah maju dan berkembang, bukannya malah makin banyak kisah memilukan, yaitu jalur mati dan stasiun mati. Tengok saja, sudah berapa banyak jalur dan stasiun mati karena PT KA merugi gara-gara masyarakat tergila-gila pada moda lain, kendaraan umum, yang bisa menaikkan dan menurunkan penumpang seenaknya? Di beberapa daerah, moda itu bahkan jadi biang kemacetan.
    
Pada tahun 1980-an, kereta api di Pulau Jawa mulai ditinggalkan penumpang dengan masuknya colt, begitu penumpang menyebut. Padahal maksudnya angkutan umum atau angkutan kota (angkot). Hanya, pada tahun 1980-an, entah siapa yang memasok mobil bermerek Colt ke pelosok Jawa, mengubah pola masyarakat dalam bertransportasi dan itu tak hanya terjadi di Pulau Jawa. Maka dari itu, satu demi satu, layanan kereta api pun dihentikan, jalur pun jadi dead railway, dan demikian pula stasiun. Di otak warga desa, colt adalah angkutan modern yang lebih enak.
    
Padahal, di negara maju mana pun di dunia ini, transportasi modern itu adalah kereta api; bukan colt, bukan angkot, bukan metromini, bukan kopaja, bukan bus yang semuanya sudah tak laik jalan karena menyebarkan asap gelap. Tindakan ini sangat tidak Go Green dan juga bikin jalanan di desa makin padat dengan akibat udara jadi makin kotor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com