KOMPAS.com — Sakti Parantean sering merasa gemas pada tahun-tahun yang lalu. Gara-garanya, film masih lebih sering dipandang sebagai etalase kebudayaan ketimbang industri, utamanya oleh pemerintah. Disanjung-sanjung sebagai salah satu sarana pendidikan, tetapi dukungan yang diterima kecil. Padahal, sebuah produksi film atau televisi bisa mendatangkan pemasukan yang tak kecil. Bahkan, yang beroleh penghasilan bukan hanya pekerja kreatifnya, melainkan juga penyedia jasa di lokasi pengambilan gambar, misalnya penjual makanan.
Akibat paradigma tersebut, industri audiovisual di daerah tidak berkembang sehingga para pekerja kreatifnya memilih pindah bidang. Sebagai sutradara, Sakti sering mengalami sendiri sulitnya mendapatkan kru lokal. Padahal, kalau melihat ajang Festival Film Dokumenter atau Eagle Award MetroTV, banyak talenta lokal yang bagus. Kekosongan pekerja di daerah ini membuat biaya produksi membengkak.
Tak mau problem yang dialaminya berkepanjangan, pria berusia 36 tahun ini pun membangun jaringan kreatif Hybrid! Fictionary tak lama setelah ia mendirikan perusahaannya, Fictionary Media Technology (FMT) pada 2002. Ia melibatkan 30 pekerja film—juru kamera, manajer produksi, penata rias—melalui 10 simpul di Yogyakarta, Denpasar, dan Malang.
"Mereka sangat antusias dari awal, walaupun selalu ada proses adjustment terutama dalam hal culture dan proses kerja," kata Sakti yang mulai berkecimpung di dunia film pada 1996 ini.
Melalui Hybrid!, tenaga-tenaga kreatif film di Indonesia juga bisa mendapatkan proyek yang internasional. Semisal ada rumah produksi dari luar negeri membutuhkan tenaga untuk keperluan shooting di Indonesia, jejaring Hybrid! Fictionary siap dipekerjakan. Sakti menilai, kerja sama dengan pihak luar negeri ini bisa menjadi sarana tukar-menukar ilmu serta membuka pintu sineas dan pekerja kreatif Indonesia berkiprah di panggung internasional.
Agus Darmawan, sutradara yang terlibat dalam Hybrid!, menyebut Sakti sangat inspiratif dalam jaringan kreatif tersebut. Dengan mempertemukan para pembuat film, yang terlibat bisa tahu banyak tentang pemetaan film dokumenter dan konten dalam fim Indonesia. “Setelah pulang, mereka menularkan ilmu ke komunitas masing-masing,” kata Agus yang bercita-cita mendirikan Children Film School.
Setelah Hybrid! berdiri, industri audiovisual di tiga kota itu pun makin menggeliat. Sakti sendiri menyebut pekerja audiovisual Indonesia layak optimistis karena peluang yang ada sangat banyak. Di depan mata, ada 54 stasiun televisi swasta dan nasional, serta 21.795 stasiun televisi asing. Sekiranya setiap tahun, 0,01 persen saja dari stasiun-stasiun televisi asing itu memesan acara berdurasi satu jam, akan ada 218 jam produksi dari Indonesia. Saat ini, misalnya, sudah ada production house Indonesia yang menyuplai program televisi untuk National Geographic atau Discovery Channel.
Langkah Sakti menggandeng tenaga kreatif lokal tak hanya membangkitkan semangat pekerja di daerah, tetapi juga mendatangkan keuntungan nyata bagi perusahaan Sakti, FMT. Tahun lalu, FMT berhasil membukukan pemasukan Rp 3 miliar. Tak kalah penting, terobosan kemitraannya berbuah kemenangan dalam ajang International Young Creative Entepreneur (IYCE) Screen Award 2008 di Inggris. Dewan juri menilai, Sakti mempunyai visi bisnis yang bisa menjawab tantangan sekaligus menghadirkan dimensi moral dan sosial dengan model infrastrukturnya.
Kemenangan Sakti antara lain mengantarkannya bekerja sama dengan seniman multimedia D-Fuse dan seniman-seniman lain Indonesia dalam proyek Video Mapping 3D di Museum Fatahillah, Jakarta, pada bulan Maret 2010. Saat itu, kolaborasi ini berhasil menghadirkan kehebohan karena membuat bangunan museum “pecah” berantakan.
Pencapaian Sakti lebih mengesankan lagi bila menilik latar belakangnya yang sejatinya sarjana ekonomi dari Curtin University, Australia. Ia mengawali kariernya di dunia film sebagai asisten produksi di beberapa film dokumenter Australia pada 1996. Ia sempat bekerja sebagai konsultan keuangan sebelum total di FMT pada 2002.
Nama FMT ia pilih karena punya keyakinan, suatu saat, media audiovisual akan multiplatform atau bergabung dengan internet. “Orientasi FMT murni komersial, tapi dengan pendekatan kualitas sebaik mungkin dengan anggaran yang ada,” kata Sakti.
FMT memproduksi iklan, program televisi, film dokumenter, dan jasa logistik. Dengan film The Art of Deception (2008), FMT menjadi pemasok Indonesia pertama untuk stasiun Al Jazeera. Setahun sebelumnya, FMT juga menjadi perusahaan Indonesia pertama yang memasok program untuk MTV. Sementara itu, film mereka, A Different Jakarta (2007), meraih Special Jury Mention Award dalam Festival Film Dokumenter.
Saat ini, Sakti terlibat dalam acara Indonesia Got Talents bersama Indosiar dan Freemantle Media. Agar fokus, ia melepaskan pengelolaan FMT kepada staf lapis keduanya.
Namun, ia menyebut komitmennya untuk menghadirkan pekerja audiovisual yang bisa diperhitungkan tak akan surut sampai kapan pun. Melalui Hybrid!, ia tengah mengincar sekitar 6.000 gedung bioskop di daerah yang kini terbengkalai. Ia ingin mengubah bangunan-bangunan ini menjadi laboratorium film para pekerja film lokal. Dananya antara lain dari hadiah kemenangannya dari IYCE sebesar Rp 138 juta. Dua kota yang akan dijadikan proyek percontohan adalah Cimahi dan Yogyakarta. (British Council)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.