Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dunia Hadapi Perang Kurs

Kompas.com - 22/10/2010, 10:14 WIB

SEOUL, KOMPAS.com — Negara-negara anggota Kelompok 20 (G-20) dalam pertemuan akhir pekan ini di Korea Selatan akan menegaskan sikap untuk tidak berlomba-lomba memerosotkan mata uangnya.

”Disadari perang kurs akan merugikan semua pihak dan bisa mengarah pada perang dagang,” kata Wakil Menteri Keuangan Korea Selatan Yim Jong-yong di Gyeongju, Kamis (21/10/2010).

Kini muncul fenomena pelemahan dollar AS di bawah par, yang sudah mulai menggelisahkan sejumlah negara, mulai dari Korea Selatan, Kolombia, Brasil, Afrika Selatan, hingga Singapura. Mata uang dollar AS melemah terhadap semua mata uang kuat dunia, termasuk ASEAN.

Hal ini mengkhawatirkan sejumlah negara, yang mulai mengeluhkan kinerja ekspor akibat makin mahalnya barang mereka dalam denominasi dollar AS. Sebaliknya, perang kurs bisa menaikkan impor.

Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Pascal Lamy turut mengingatkan bahaya perang kurs. Ekspor yang melesu, diikuti serbuan impor, bisa membuat sejumlah negara melakukan retaliasi dengan menerapkan hambatan pada impor.

Hal ini, kata Lamy, bisa menyebabkan distorsi perdagangan global, salah satu mesin pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva di Brasilia, Rabu, turut berteriak soal perang kurs. Ia meminta G-20—Brasil juga menjadi anggota—memerhatikan perang kurs ini.

AS dan Uni Eropa menuduh China membuat kurs yuan berada di bawah nilai wajar untuk mendongkrak ekspor. China menjawab agar kelemahan ekonomi AS, yang ditandai dengan defisit anggaran dan perdagangan, jangan dijadikan alasan untuk mengambinghitamkan China.

Di harian Inggris, The Financial Times, edisi 20 Oktober, Arvind Subramanian meminta AS jangan menyudutkan China. Subramanian, peneliti dari Peterson Institute for International Economics and Centre for Global Development, mengatakan, China tidak akan menjadi korban perang kurs. Para korban perang kurs adalah negara-negara yang terbuka lebar terhadap aliran modal.

Subramanian menyarankan AS jangan bertindak sepihak, tetapi menekankan perundingan untuk solusi. Ia mengatakan, AS dan Uni Eropa adalah korban dari kebijakan mereka sendiri yang mengutamakan konsumsi ketimbang berproduksi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com