Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pabrik Gula,Riwayatmu Kini

Kompas.com - 18/11/2010, 08:41 WIB

Oleh M SAID SUTOMO

Industri pergulaan nasional menghangat akhir- akhir ini. Tulisan Adig Suwandi dengan judul Amalgamasi Pabrik Gula, Mengapa Dipersoalkan? (Kompas Jatim, 15/10/2010) lebih bersifat apologis dan berkeluh kesah tentang kondisi pabrik gula yang telah lama menjadi spesialisasi atensinya.

Pertanyaan mendasar bagi publik adalah mengapa bangsa kita ini hanya mengelola dan mengembangkan warisan penjajah Belanda seperti pabrik gula (PG) yang pada awal kemerdekaan RI menjadi perusahaan terbesar di Asia Tenggara, tapi kini menjadi terpuruk? Di mana letak kesalahan pengelolaannya?

Industri pergulaan nasional kini telah kehilangan kepercayaan dari petani, pemegang saham (pemerintah), dan konsumen. Celakanya konsumen tradisional lebih mengenal gula jawa, sedangkan konsumen modern lebih mengenal gula impor dibanding gula produk PG.

Bagaimana caranya membangun lagi kepercayaan-kepercayaan yang telah lenyap itu? Sayangnya, tulisan Adig Suwandi tak mengulasnya. Bahkan, menyimpulkan bahwa PG mengalami kesulitan struktural. Argumen ini ini sering kita dengar dari manajemen BUMN dan BUMD. Kesulitan struktural itu seharusnya dijadikan tantangan bukan- nya dijadikan sebagai rintangan dan ancaman. Sebab, Jika para petani tebu berhadapan dengan pabrikasi gula, juga mengalami kesulitan struktural manajemen PG yang selalu menjadi rintangan untuk memperoleh keun- tungan.

Pertimbangan pilihan antara petani tebu dan konsumen, baik konsumen akhir maupun konsumen antara atau pe- laku usaha adalah sama, yaitu atas pertimbangan pilihan mana yang lebih menguntungkan. Bedanya, para petani lebih menekankan pada pertimbangan keuntungan harga jual dari hasil pertaniannya (output), sedangkan pilihan konsumen atas pertimbangan keuntungan harga beli yang paling murah dengan kualitas produk barang/gula dan pelayanannya yang lebih baik (input).

Apakah industri pergulaan nasional kita telah memberikan output kepada para petani tebu seperti yang diharapkan sehingga para petani berlomba-lomba menanam tebu sebagai tanaman primadonanya? Dan apakah industri pergulaan nasional kita telah memberikan input kepada konsumen pada umumnya seperti yang diharapkan?

Jika tidak, tak perlu ditangisi mengapa sejak tahun 1997 para petani tebu petani tidak mau menanam tebu. Mereka beralasan takut terhadap penjarahan dan pembakaran tanaman tebu karena adanya huru-hara politik dan sosial yang terjadi saat itu. Mulai kurun waktu itu sebagian besar PG, terutama milik BUMN/PTPN, tidak mempunyai lahan sendiri selain memperolehnya dari petani dengan cara bagi hasil atau menyewa.

Tidak jelas

Awal tahun 2000-an semua BUMN dan BUMD mulai membuka diri mempelajari prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) berikut model- model organisasinya, kemudian secara bertahap menerapkan sebagai regulasi internalnya, tapi anatomi organisasi PG sampai saat ini belum mengalami perubahan berarti. Buktinya ting- kat rendemen dalam industri pergulaan, terutama PG, sering menjadi sesuatu yang tidak jelas.

Beberapa penelitian menunjukkan, keengganan para petani menanam tebu bukan hanya karena petani tidak tahu pasti tingkat rendemen tebu yang sebenarnya (meskipun secara formal disebutkan bahwa petani melalui wakilnya dapat memeriksa tingkat rendemen). Namun, para petani mengetahui adanya ”permainan” tingkat rendemen , terutama bila PG berhadapan dengan pengusaha tebu bebas (cukong).

Ada kesan PG memberi tingkat rendemen yang wajar, bahkan lebih tinggi kepada cukong. Sebaliknya, memberi tingkat rendemen rendah untuk tebu petani. Jadi, krisis kepercayaan para petani kepada pabrik gula telah berlangsung lama.

Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan inefisiensi industri pergulaan nasional terutama di lingkungan PG. Pertama, rendahnya keandalan (profesionality) sumber daya manusia pengelola PG. Kedua, menuanya infrastruksur pabrikasi PG. Ketiga, kurangnya jaringan komuni- kasi dan informasi kemitraan usaha secara intens dengan para petani. Ketiga faktor ini di lingkungan industri pergulaan nasional telah kehilangan kepercayaan publik

Pertanyannya, dari mana kita harus memulainya? Tentunya bukan dengan cara proteksi pasar atau dengan proteksi kewajiban petani menanam tebu dengan menggunakan kekuasaan. Cara-cara seperti ini tak akan pernah dapat mendewasakan industri pergulaan nasional.

PT Telkom bisa dijadikan contoh. Dulu kebesaran PT Telkom diramalkan tinggal kenangan, tapi setelah pasar dibuka ternyata mampu bersaing di pasar global.

Inefisiensi karena ketidak- profesionalan sumber daya manusia sudah waktunya ditebas habis. Inefisiensi di pabrika- si sudah waktunya dibongkar tuntas. Dan inefisiensi di sektor kemitraan usaha dengan para petani sudah waktunya dibabat rata. Karena inefisiensi akan menjadi beban anggaran negara, pada gilirannya membebani rakyat.

Maka, kesulitan struktural jangan dijadikan kambing hitam dan nama BUMN jangan jadi beban. Konsumen dan para petani punya pilihan, tentunya pengelola PG juga punya pilihan: tetap bertahan di PG atau tidak? Jangan sampai peribahasa ”ada gula ada semut” dipelesetkan orang menjadi ”ada gula banyak tikus”.

M SAID SUTOMO Ketua Yayasan LembagaPerlindungan Konsumen (YLPK) Jatim

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com