Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan dan Empati terhadap Sesama

Kompas.com - 23/11/2010, 21:44 WIB

Oleh Hermawan Kartajaya (Founder & CEO, MarkPlus, Inc)
bersama Nastiti Tri Winasis (Chief Operations, MarkPlus Insight)

KOMPAS.com - Ada kejadian menarik beberapa tahun lalu ketika Inul Daratista “Si Ratu Ngebor” digunjingkan oleh masyarakat khususnya kalangan agamis (yang dipimpin justru oleh penyanyi dangdut senior) karena goyangannya dianggap merusak martabat perempuan Indonesia. Apa yang kemudian muncul adalah solidaritas perempuan dipimpin oleh penyanyi senior (Titiek Puspa) yang membela hak-hak Inul sebagai pekerja seni sekaligus perempuan biasa untuk tetap “maju terus dan pantang mundur” dalam berkesenian. Masih banyak juga kasus lainnya di masyarakat yang menunjukkan bahwa perempuan cukup berempati kepada kaumnya, apalagi bila mereka dalam posisi yang tertindas.

Dalam lima besar ciri-ciri kepribadian, perempuan mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding laki-laki dalam hal agreeableness (kecenderungan untuk mengasihi dan kerjasama) dan neuroticism (kecenderungan untuk merasa cemas. kemarahan dan depresi). Banyak survei yang membuktikan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya, sementara laki-laki lebih banyak menggunakan pikirannya sebelum bertindak. Maklumlah, perasaan menjadi lebih berkuasa dibanding pikiran bagi kaum perempuan dan ini sudah merupakan kodrat.

Salah satu bentuk empati sesama perempuan adalah melalui curhat. Perempuan tidak hanya saling curhat secara offline saat mereka saling bertemu, tetapi juga online melalui chatting. Aktivitas curhat dinilai cukup positif karena bisa meringankan beban pikiran mereka. Kepada siapa mereka biasanya curhat? Ternyata, mayoritas perempuan mempunyai teman dekat atau sahabat sesama perempuan sebagai tempat ideal untuk curhat.

Apa makna teman dan sahabat bagi perempuan? Dari hasil riset MarkPlus Insight pertengahan tahun 2010, sebanyak 64,5 persen dari 1.301 responden perempuan mengaku bahwa “teman dan sahabat merupakan tempat yang ideal untuk “curhat” baik hal-hal yang menggembirakan maupun menyedihkan; karena teman dan sahabat merupakan sosok yang mereka percayai (59,7 persen) dan partner ideal untuk diajak diskusi (10,7 persen). Teman dan sahabat merupakan orang yang sangat memahami si perempuan tersebut (9,0 persen). Bahkan, merupakan orang kedua setelah keluarga (4,4 persen) dan selalu ada untuk mereka (3,8 persen).

Laki–laki pada umumnya lebih agresif dan sistematis dibanding perempuan. Laki-laki lebih suka menganalisis dan mengeksplorasi sistem dan aturan, sementara perempuan lebih berempati melalui identifikasi perasaan orang lain. Mengapa bisa terjadi demikian? Ya, karena secara biologis laki-laki memiliki lebih banyak hormon testosteron yang mempengaruhi munculnya kecenderungan tersebut.

Terdapat bukti bahwa perempuan memiliki relatif lebih sedikit rasa agresivitas dibanding laki-laki, dan perempuan lebih mengekspresikan keagresifannya dengan cara verbal dan rasional. Nilai perempuan lebih tinggi pada aspek empati, di mana rasa empati meliputi orientasi terhadap orang lain, merasakan keprihatinan, dan penderitaan pribadi. Lebih ekstrem lagi, ternyata masih banyak manusia di dunia yang tidak tersentuh hatinya (bahkan cenderung tidak peduli pada saat melihat orang lain mengalami kesedihan). Hal ini ditemukan secara dominan pada laki-laki dibanding perempuan. Perempuan lebih mudah iba terhadap penderitaan orang lain (khususnya kaumnya) dibanding laki-laki. Namun demikian, langkah-langkah seperti itu kemungkinan besar bersifat subjektif dan empati mungkin lebih berkaitan dengan peran gender dan bukan seks.

Ada temuan menarik oleh para psikolog klinis di Jerman yang dikoordinir oleh Dr. Klaas Enoo Stephan dan disebut dengan istilah schadenfreude (yaitu pemindaian otak untuk menyelidiki reaksi terhadap sesuatu yang “menyentuh”, misalnya saat melihat orang lain menderita). Pengujian klinis secara ilmiah ini berusaha membandingkan bagaimana laki-laki dan perempuan bereaksi saat melihat orang lain sedang menderita. Jika yang kesusahan itu adalah orang yang disukai, area pada otak merespons rasa empati dan sedih, baik pada laki-laki maupun perempuan. Bedanya, perempuan tetap menunjukkan respons yang sama meski mengetahui bahwa yang sedang kesusahan itu adalah orang yang mereka benci. Sedangkan laki-laki menunjukkan aktivitas otak yang sebaliknya.

Meskipun responsnya berkurang, tetapi perempuan tetap memiliki perasaan empati. Berbeda dengan laki-laki yang perasaan empatinya ternyata tidak permanen. Lebih lanjut, hasil riset menunjukkan bahwa respons empati pada laki-laki terbentuk oleh kebaikan sikap orang lain yang dilihatnya.

Bagi perempuan, kebahagiaan bisa muncul karena empatinya terhadap sesama, dan berdampak luas pada sendi-sendi kehidupannya. Happiness creates higher incomes, stronger relationships, more friends, deeper social interactions, greater self-confidence, better physical health and a longer life.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com