Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Banding? Tuhan Benci "Lho"!

Kompas.com - 25/11/2010, 09:23 WIB

KOMPAS.com  Akhir tahun selalu menjadi ajang bagi anggota dewan, baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD), jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding.

Berkaca pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, perjalanan yang dibiayai uang rakyat itu lebih cocok disebut plesiran. Hasil perjalanan nyaris tidak berguna buat rakyat. Sebaliknya, anggota dewan yang kerap menyebut diri terhormat itu bangga atas wisata plus plus ke luar negeri. Jalan-jalan dapat, uang saku apalagi.

Baru-baru ini, anggota DPR melakukan perjalanan ke beberapa negara Eropa. Padahal, jauh hari sebelum plesiran studi banding itu, berbagai kelompok rakyat sudah mengecam. Namun seakan tuli, menganggap suara-suara itu memekakkan telinga, dan membutakan mata, para wakil itu bergeming dengan keputusannya.

Konon kabarnya, saat kunjungan ke Turki, para wakil itu plesiran menikmati tari perut yang erotis. Kabar itu tentunya membuat geram rakyat di Tanah Air. Wajar apabila anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok lembaga swadaya masyarakat atau mahasiswa melakukan demo di depan gedung DPR atau melempari mobil pimpinan DPR dengan telur.

Perbuatan orang-orang pusat itu tentu saja menginspirasi orang daerah. Sejak 22 sampai tanggal 29 November 2010, sebanyak 15 anggota DPRD Riau berada di Swiss. Plesiran itu berbalut mempelajari masalah transportasi dan pertanian di negara yang terkenal itu sebagai penghasil jam tangan dan cokelat itu.

Persoalannya, perjalanan anggota DPRD Riau itu terkesan diam-diam. Media kecolongan. Bahkan, ketika ditanya wartawan, Ketua DPRD Riau Johar Firdaus mengaku tidak tahu ke mana anggotanya berangkat, tujuan keberangkatan, dan berapa dana yang dihabiskan. Namun, Johar mengakui bahwa belasan anggota DPRD Riau memang tengah berada di Eropa.

Perkembangan terbaru menunjukkan, keberangkatan ke Swiss itu merupakan kelompok pertama. Pada tanggal 1 Desember 2010, bakal ada kelompok lebih besar menuju Belanda dan Perancis.

Sama seperti di Jakarta, berbagai elemen masyarakat langsung bersuara tajam menanggapi keberangkatan itu. Koran Tribun Pekanbaru yang mengumpulkan suara masyarakat memuat suara kekecewaan bercampur sikap apatis.

Kecewa karena setiap tahun anggota dewan berangkat ke luar negeri, tetapi tidak ada hasil buat rakyat. Tahun 2010, anggaran plesiran DPRD Riau bernilai sekitar Rp 3,5 miliar. Mengapa anggota dewan gemar menghambur-hamburkan uang rakyat? Bukankah uang itu lebih baik dipakai untuk membangun sekolah atau prasarana desa yang lebih menyentuh kebutuhan.

Ada pula yang bernada apatis. Mereka sudah tidak peduli dengan kelakuan wakil rakyat itu. Terserah dewan mau berbuat apa, toh suara rakyat tidak pernah didengar. Yang membuat program jalan-jalan mereka, yang membuat anggaran mereka, dan yang membuat gol program itu juga mereka. Prinsip dewan hanya satu, dari kami, buat kami untuk kami.

Tujuan studi banding

Ada kelompok yang mencoba menganalisis tujuan keberangkatan. Taruhlah anggota DPRD Riau memang benar-benar bekerja belajar tentang pertanian dan transportasi di Swiss.

Pertanyaannya, apakah metode atau pola pertanian empat musim yang canggih di Swiss cocok diterapkan petani Riau yang masih tradisional? Bukankah lebih baik belajar pertanian ke Sumatera, tetangga terdekat Riau yang iklimnya sama dan lebih dahulu maju soal pertanian. Mengapa tidak belajar pertanian kepada Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur yang dikenal memiliki pola dan metode paling baik di Indonesia.

Soal transportasi, apanya yang mau dipelajari? Yang perlu dibenahi di Riau adalah sarana dan prasarana transportasi yang minim. Untuk itu tidak perlu jauh-jauh. Cukup ke Jakarta saja. Malah di Jakarta dapat bonus mempelajari penyebab kemacetan agar di Riau tidak muncul persoalan sama pada masa mendatang.

Wisata

Uniknya, Mukhniarti, salah seorang anggota DPRD Riau, sepert dikutip Tribun Pekanbaru, membantah apabila perjalanan mereka sekadar jalan-jalan. Menurut anggota Fraksi Partai Demokrat itu, banyak yang dapat diambil dari Swiss. Misalnya, kereta gantung di lokasi wisata Swiss dapat diaplikasikan di Danau Buatan (sebuah waduk kecil di Kota Pekanbaru). Lho, katanya tujuan ke Swiss belajar tentang transportasi dan pertanian?

Lalu mengapa sekarang bicara tentang wisata? Studi banding atau wisata? Ternyata benar dugaan masyarakat, perjalanan itu cuma plesir. Kalau cuma soal kereta gantung, tidak perlu ke Swiss, cukup ke Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta atau ke Tenggarong di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Masih soal wisata, anggota DPRD Riau periode 2004-2009 pada tahun 2008 pernah melakukan plesiran studi banding ke Mesir dan Perancis dengan dalih mempelajari pariwisata. Mengapa sekarang ada perjalanan pariwisata lagi? Mengapa setelah perjalanan tahun 2008 itu tidak ada pariwisata Riau yang berkembang? Apanya yang dipelajari dari Mesir dan Perancis dulu?

Uniknya lagi, sebagian dari anggota DPRD Riau yang berangkat ke Swiss itu ternyata bukan berasal dari komisi yang membidangi soal pertanian dan transportasi. Jadi, buat apa orang-orang itu ikut? Weleh-weleh.

Sanksi dan kecam

Jajak pendapat tentang keberangkatan anggota DPRD Riau juga dilakukan oleh Solidaritas Wartawan untuk Transportasi (Sowat) Riau. Hasilnya, nyaris 100 persen responden memberikan respons negatif. Johny Setiawan Mundung, salah seorang tokoh pemuda Riau, menyatakan bahwa partai anggota dewan yang berangkat itu harus memberikan sanksi.

Kalau partainya tidak mau memberi sanksi, masyarakat yang harus memberikan hukuman dengan tidak memilih lagi sang dewan dan partainya pada pemilu mendatang. Menurut Mundung, haram hukumnya memilih anggota dewan dan partainya itu.

Hariansyah Usman, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau, juga mengecam keberangkatan anggota DPRD Riau itu. Kaka, demikian panggilan akrab Hariansyah, mengatakan, semestinya, anggota DPRD Riau lebih peduli persoalan lingkungan hidup di Riau yang termasuk paling amburadul di Indonesia.

Jajak pendapat

Kalau saja dilakukan jajak pendapat di seluruh Indonesia tentang studi banding anggota DPR atau DPRD ke luar negeri, hampir pasti suara rakyat yang tidak setuju lebih banyak daripada yang setuju. Kalau tidak percaya, silakan lembaga survei besar di Jakarta melakukannya.

Sebenarnya, rakyat Indonesia sudah muak dan tidak ingin wakilnya ke luar negeri lagi. Warga di mana saja sudah bersuara tidak. Namun, mengapa DPR dan DPRD tetap membandel. Tidakkah anggota dewan sadar bahwa adagium politik mengatakan vox populei vox dei yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan.

Mengapa anggota DPR/DPRD itu tidak mau mendengar suara Tuhan? Kalau mau dibuat sebuah analogi, plesiran anggota dewan ke luar negeri ibarat cerai pada hukum Islam. Perceraian adalah sah, tetapi merupakan perbuatan yang dibenci Tuhan....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com