”Kami tidak ingin kerja sama itu diperpanjang. Indonesia harus mengambil alih semua operasionalisasi PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum),” kata anggota DPRD Sumatera Utara, Fadly Nurzal, dalam diskusi tentang pentingnya nasionalisasi PT Inalum, di Medan, Sabtu (11/12).
Diskusi tersebut juga dihadiri Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait, Direktur Industri Material Dasar Logam Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur I Gusti Putu Suryawirawan, dan mantan Direktur Bisnis PT Inalum Hasrul Hasan.
PT Inalum mulai beroperasi tahun 1982. Kini, posisi saham Indonesia 41,12 persen dan Jepang memegang saham 58,88 persen. Kerja sama tersebut akan berakhir pada 2013.
Fadly menjelaskan, kesepakatan Indonesia-Jepang pada awal beroperasinya PT Inalum telah menjebak Indonesia. Sebab, ternyata warga di sekitar PT Inalum tidak sejahtera karena hasil dari perusahaan tersebut banyak dibawa keluar negeri.
Untuk itu, DPRD Sumut menyiapkan panitia khusus yang akan mengkaji pentingnya nasionalisasi PT Inalum agar bermanfaat untuk Sumatera Utara. ”Selanjutnya, pemerintah dapat mengubahnya menjadi perusahaan badan usaha milik negara,” ujar Fadly.
Suryawirawan menilai nasionalisasi PT Inalum bukan hal terpenting. Yang perlu ditekankan itu kemanfaatannya, seperti hidupnya industri hilir, penyerapan tenaga kerja, dan menjadi pemicu untuk pemanfaatan sumber daya lokal. ”Kalau untuk pengembangan industri itu perlu nasionalisasi, maka nasionalisasi itu memang penting,” tuturnya.
Hasrul menggambarkan, Indonesia sangat potensial sebagai penyuplai aluminium dunia. Anehnya, saat ini industri di Indonesia masih impor bahan aluminium.
Padahal, cadangan bauksit (bijih aluminium) Indonesia mencapai 350 juta ton dan ditaksir mampu memenuhi kebutuhan aluminium di Asia Tenggara selama 50 tahun. ”Sayangnya, nilai tambah industri berbasis aluminium Indonesia dinikmati negara lain dan kita harus impor,” ujarnya.